NovelToon NovelToon
Guruku Adalah Pacarku

Guruku Adalah Pacarku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dikelilingi wanita cantik / Crazy Rich/Konglomerat / Beda Usia / Teen Angst / Idola sekolah
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Grace caroline

GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.

******

"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.

Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.

"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.

"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"

Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"

"Tapi..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 19. Resmi Jadian

Tyas dan Kaesang tiba di depan rumah Tyas. Tanpa basa-basi, Tyas langsung membuka pintu dan masuk.

"Assalamualaikum, Yah, Bu, Tyas pulang. Ayo masuk, Kae," sapa Tyas sambil tersenyum, lalu mengajak Kaesang untuk masuk kedalam rumahnya.

Setelah sampai di ruang tamu, Tyas berhenti sejenak dan menoleh ke arah Kaesang yang mengikutinya dari belakang.

"Ehm, duduk dulu, Kae. Saya mau ganti baju sebentar sama ngambil buku-buku," ujar Tyas, suaranya hangat. "Mau minum apa? Biar saya buatin."

 

Kaesang menggeleng, senyum tipis menghiasi bibirnya. Sejak mengenal Tyas, senyum Kaesang memang tak pernah absen. Manis sekali.

"Nggak usah repot-repot Bu, Bu Tyas tinggal aja ke kamar, saya tunggu disini aja," kata Kaesang menolak.

"Loh, nggak repot kok," sahut Tyas sambil tersenyum. "Mau minum apa? Saya punya teh asli dari gunung, seger banget kalau dikasih es batu. Mau coba?"

 

Tyas bersikeras menawarkan minuman kepada Kaesang, bahkan sampai menyebut asal teh yang istimewa itu. Namun, Kaesang tetap menolak. Dia ingin segera kembali ke apartemennya dan mengungkapkan perasaannya.

"Nggak usah Bu, makasih. Saya belum haus kok. Ibu tinggal aja, nggak papa. Saya bakal tunggu di sini," Kaesang tetap menolak, hingga Tyas pun menyerah dan berhenti untuk menawarkan Kaesang minuman.

Huff ...

Tyas menghela napas, "Baiklah kalau kamu nggak mau. Saya tinggal dulu ya Kae. Kamu duduk dulu aja nggak papa." Kaesang mengangguk, dan Tyas pun beranjak menuju kamarnya.

Setelah kepergian Tyas, mata Kaesang menjelajahi ruangan. Dinding-dinding ruang tamu dihiasi berbagai foto, termasuk satu foto Tyas bersama keluarganya. Senyum terukir di bibir Kaesang. Tyas memang cantik, senyumnya pun begitu menawan.

Lalu pandangan mata Kaesang tiba pada sebuah bingkai foto di atas meja kayu di ujung ruangan. Sebuah foto yang terasa familiar. Langkahnya tergesa menuju foto itu, dan ketika sampai di sana, kejutan menghampirinya. Di dalam bingkai, terlihat seorang gadis dengan baju bergambar kupu-kupu dan kuncir dua, persis seperti gadis kecil yang pernah menjadi temannya dulu.

Kaesang gemetar meraih foto itu, menatapnya dengan saksama. Jantungnya berdebar tak karuan. Tak disangka, Tyas ternyata adalah Zarina, teman masa kecilnya yang dulu membuatnya tersenyum dan jatuh cinta. Entah itu beneran jatuh cinta atau tidak.

"J-jadi dia beneran kak Zarina?" Kaesang masih terpaku menatap foto masa kecil Tyas, hingga akhirnya Tyas muncul dan heran melihat Kaesang menatap kearah fotonya tidak berkedip.

Tyas menghampiri Kaesang, berdiri di sebelahnya. Tyas memalingkan wajahnya kearah foto yang di pegang Kaesang, setelah melihat foto itu senyum di bibir Tyas perlahan muncul. Foto itu mengingatkannya kepada Esa, teman masa kecilnya yang dulu sudah di anggapnya seperti adiknya sendiri.

"Itu foto saya waktu masih sepuluh tahun, Kae. Saya masih polos banget waktu itu. Gigi saya ompong, tapi saya nggak malu dan tetap tersenyum seperti itu," ujar Tyas, terkekeh pelan. Kaesang menoleh, matanya sendu menatap Tyas.

"Ibu cantik, senyum ibu sangat indah," celetuk Kaesang tanpa sadar.

"Apa Kae?" Tyas mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Wajah Kaesang langsung memerah, pipinya bersemu merah padam. Dia jadi salah tingkah, gugup bukan main. Tanpa sadar, dia memuji Tyas tepat di hadapannya. Padahal, dia memang ingin memuji, tapi berada di hadapan Tyas langsung membuatnya grogi sendiri.

"Eh nggak Bu, kita berangkat sekarang yuk. Ehm, orang tua ibu kemana, kok kosong?" tanya Kaesang, berusaha mengalihkan pembicaraan. Rasa gugupnya mulai merayap.

"Mungkin lagi luar Kae. Ayah saya kerja di kebun, kalo ibu ya mungkin lagi di warung. Yuk kita berangkat aja, nanti saya bakal kabarin mereka kalau saya lagi ada perlu sama kamu," jawab Tyas.

Kaesang mengangguk, lalu beranjak keluar rumah bersama Tyas. Pintu rumah dibiarkan terbuka, toh, saat dia datang tadi pun pintu sudah terbuka.

"Naik mobil aku aja, ya," kata Kaesang, membuka pintu mobilnya. Tyas mengangguk lagi, jantungnya berdebar kencang. Ia mendapati Kaesang sudah berada di balik kemudi, siap melaju.

"Sabuk pengamannya," kata Kaesang, meraih sabuk pengaman dan memasangkannya ke tubuh Tyas. Tyas tersipu malu, pipinya memerah. "Makasih," gumamnya.

Mobil melaju, membelah jalanan kota menuju apartemen Kaesang. Sesampainya di area apartemen, Kaesang memarkirkan mobilnya di basement. "Ayo, masuk," ajaknya, tangannya terulur untuk menarik Tyas keluar mobil.

Mereka menaiki lift, menuju ke lantai tempat apartemen Kaesang berada.

"Bagus banget, Kae, kamu tinggal disini?" Tyas berdecak kagum, matanya berbinar-binar sambil menoleh ke kanan dan kiri. Suasana di sekitarnya memang mewah, jauh berbeda dengan tempat tinggalnya yang sederhana.

Senyum Tyas merekah, dan Kaesang pun ikut tersenyum melihatnya. "Iya Bu. Ehm kita udah sampai, itu apartemen saya, yuk masuk," ajaknya, menunjuk ke pintu apartemen di ujung lorong.

Keduanya melangkah menuju apartemen. Kaesang membuka pintu dengan kartu akses, dan mempersilahkan Tyas masuk.

Begitu berada di dalam, Tyas kembali terkesima. Apartemen itu sungguh mewah, dan senyumnya tak henti-hentinya mengembang.

"Bu Tyas duduk dulu aja, saya mau ngambil buku saya dulu," kata Kaesang, meninggalkan Tyas menuju kamarnya. Sebenarnya, dia ingin mengatur detak jantungnya yang tak menentu dan menenangkan hatinya yang berdebar. Dia ingin mempersiapkan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya nanti.

Setelah mengambil buku yang memang sudah disiapkannya untuk olimpiade minggu depan, Kaesang kembali ke ruang tamu. Tyas sudah duduk di sana, kedua kakinya disilangkan dengan anggun. Hatinya berdesir lagi.

Kaesang mendekat dan duduk di samping Tyas. "Maaf Bu nunggu lama," kata Kaesang. Tyas menggeleng, tersenyum, dan menoleh ke arah Kaesang. "Nggak masalah Kae. Jadi apa dulu yang mau di bahas?" 

Kaesang buru-buru membuka buku catatannya, menunjukkan semua materi olimpiade minggu depan kepada Tyas. Mereka berdua langsung membahas materi-materi tersebut, bertukar pikiran tentang apa saja yang akan diujikan. Tyas dengan sabar membantu Kaesang memahami beberapa materi yang belum dikuasainya.

Setelah berlama-lama membahas olimpiade, Kaesang merasa deg-degan. Ini saatnya dia mengungkapkan perasaannya kepada Tyas. Walau tak yakin akan diterima, Kaesang memutuskan untuk akan mengatakan perasaannya sekarang.

"Bu Tyas ... ehm," Kaesang menarik napas dalam-dalam, jari-jarinya sedikit gemetar saat meraih tangan Tyas. Perlahan, Tyas menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Kaesang yang dipenuhi rasa gugup.

Sentuhan tangan itu terasa lembut, tapi dingin karena debar jantung Kaesang yang tak terkendali. Rasa gugup itu menggerogoti hatinya, membuat setiap kata yang ingin diucapkannya tersangkut di tenggorokan.

"Kenapa Kae?" tanya Tyas, tangannya masih erat digenggam Kaesang. Tatapannya menangkap keraguan di mata Kaesang, membuatnya penasaran. "Kenapa kamu gugup begitu?"

Kaesang menarik napas dalam-dalam, tekadnya untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tyas kembali berkobar.

"Bu Tyas," Kaesang memulai, suaranya sedikit gemetar. "Saya ... saya suka sama Ibu. Sejak pertama kali Ibu mengajar di sini, saya sudah ... jatuh cinta sama Ibu."

Wajah Tyas memerah. Ia tak menyangka Kaesang akan mengungkapkan perasaannya seperti ini. Ia berusaha bersikap tenang, namun jantungnya berdebar kencang.

"Ehm, Bu Tyas," Kaesang melanjutkan, "Apakah ... apakah Ibu bersedia menjadi pacar saya?"

Keringat dingin membasahi kening Kaesang. Jari-jarinya terasa membeku, tak berdaya menahan gejolak di hatinya. Tatapannya tak berani bertemu dengan mata Tyas, terbelenggu rasa gugup yang mencengkeram.

Tyas terpaku, matanya membulat mendengar pengakuan Kaesang. Selama ini, berada di dekatnya selalu membuatnya merasa nyaman, senyum Kaesang bagaikan sinar mentari yang menenangkan. Rasa nyaman itu memang ada, namun tak sampai pada rasa cinta. Hening menyelimuti mereka, menunggu jawaban yang belum terucap.

"Saya benar-benar suka sama anda, Bu. Anda mau kan menjadi pacar saya?" lagi Kaesang, mengangkat wajahnya dan menatap Tyas. Deg-degannya tak seganas tadi, tapi jantungnya masih berdebar kencang.

Dengan satu tarikan nafas panjang Tyas membalas. "Tapi saya gurumu, Kae. Saya cukup terkejut melihat kamu mengatakan semua ini. Saya menghargainya, tapi .."

Kaesang menarik tangan Tyas, mengajaknya berdiri. Tatapannya tajam, tertuju pada wanita dewasa di hadapannya. "Tapi karena anda lebih tua dari saya dan Anda adalah guru saya begitu?! Saya tidak peduli Bu dengan semua itu. Bagi saya Cinta adalah cinta, tidak memandang usia atau apapun. Jadi bagaimana, apa anda mau jadi pacar saya?" tanyanya, suaranya penuh harap.

Tyas terdiam, bingung. Kepalanya dipenuhi pertanyaan.

"Gimana, Bu?" Kaesang tak sabar menanti jawaban Tyas. Melihat ekspresi Kaesang, Tyas buru-buru menjawab, "Tapi saya nggak ada perasaan apapun sama kamu Kae. Saya hanya menganggap kamu murni sebagai murid saya saja, tidak lebih. Maaf, saya tidak bisa menerima cinta kamu." 

Duarrr!!

Kaesang terpaku. Seakan disambar petir, hatinya tersentak mendengar penolakan Tyas. Air mata mengalir perlahan, membasahi pipinya. Ia terduduk lemas di lantai, tak percaya pengakuan cintanya dibalas penolakan. Tyas berjongkok, tatapannya lembut tertuju pada Kaesang. Dengan perlahan, ia menghapus air mata yang membasahi pipi Kaesang.

"Maafin saya, Kae." ucap Tyas lirih.

Kaesang tidak berkata apapun atau menatap ke arah Tyas. Tapi dalam hati dia bersumpah untuk akan terus berjuang dan mendapatkan hati Tyas. Ia tak akan membiarkan Tyas bersama pria lain.

"Aku akan mendapatkan cintamu apapun yang terjadi!" janji Kaesang, perlahan pandangannya bertemu dengan mata Tyas. Tatapannya tajam, penuh tekad dan tujuan. Ia bersumpah pada setiap kata yang terucap.

*********

Beberapa minggu sudah berlalu sejak Kaesang pertama kali mengungkapkan perasaannya kepada Tyas di apartemennya. Ini adalah kali ketiga Kaesang memberanikan diri, dan lagi-lagi, hatinya tertolak.

Alasan Tyas memang masuk akal, tapi Kaesang tak menyerah. Dia bertekad untuk mendapatkan hati Tyas, apapun yang terjadi. Hatinya sudah terlanjur terpaut pada Tyas, tak bisa lepas sedetik pun.

Sampai hari ini, Kaesang masih bertahan di apartemennya. Walau kedua orang tuanya sudah mendesaknya untuk pulang, dia tetap teguh pada pendiriannya. Sore ini, Kaesang akan mengajak Tyas ke taman. Dia akan menjemputnya di rumah Tyas.

Sore harinya ...

Kaesang dengan gugup menunggu di luar rumah Tyas, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak percaya bahwa ia akan menemb4k Tyas lagi, setelah tiga kali ditolak. Tapi dia tidak bisa menahannya, perasaannya pada Tyas terlalu kuat untuk diabaikan.

Akhirnya, Tyas muncul di depan pintu, dengan ekspresi terkejut saat melihat Kaesang berdiri di sana. "Kae, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya terdengar bingung.

Kaesang menarik napas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya yang berpacu kencang. "A-aku ingin mengajak anda ke taman sekarang, apakah anda bersedia?" dia tergagap, matanya memohon pada Tyas.

Tyas ragu-ragu sejenak, alisnya berkerut berpikir. Akhirnya, dia mengangguk. "Oke, ayo kita ke taman. Saya butuh udara segar juga, seharian di sekolah bikin kepala pusing." katanya, senyum kecil tersungging di bibirnya.

Saat mereka berjalan ke taman yang lokasinya tidak jauh dari rumah Tyas, Kaesang tidak bisa tidak mencuri-curi pandang ke arah Tyas.

Ia terlihat cantik di bawah sinar matahari sore, rambutnya bersinar dan matanya berbinar. Ketika mereka tiba di taman, Kaesang membawa Tyas ke sebuah tempat terpencil di bawah pohon.

Mereka duduk di atas rumput, dengan suara kicauan burung sebagai latar belakangnya. Kaesang menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri untuk apa yang akan dia katakan.

"Bu Tyas, saya tahu anda pernah menolak saya, tapi saya tidak bisa menahan perasaan saya kepada anda. Saya sangat mencintai ibu lebih dari apapun di dunia ini, dan saya ingin anda menjadi kekasih saya," katanya, suaranya penuh dengan emosi.

Tyas menatap Kaesang, matanya berbinar teduh. Ia mengulurkan tangan dan meraih tangan Kaesang, menggenggamnya dengan lembut. "Kae, aku sangat menghargai perasaanmu padaku. Tapi, jujur saja, aku masih ragu. Aku takut nggak bisa menjadi pacar yang baik buat kamu. Umurku yang lebih tua juga membuatku khawatir, takut malah jadi beban buat kamu."

Kesabaran Kaesang mulai menipis. Mendengar penolakan Tyas yang terbungkus kata-kata berbelit, hatinya terasa sesak.

"Jadi intinya Ibu menolak cinta saya lagi?!" tanyanya, suaranya bergetar. Kaca-kaca mulai menyelimuti matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan cinta yang begitu dalam, namun tak berbalas.

Tyas perlahan mendekat, jari-jarinya menyentuh lembut pipi Kaesang. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, bibir Tyas menempel lembut di bibir Kaesang.

Ciu-man mereka perlahan melebur, penuh kelembutan, hingga akhirnya Tyas menarik diri, matanya masih terpaku pada Kaesang.

Kaesang tertegun sejenak, matanya terbelalak saat Tyas men-ci-um bibirnya. Namun, tak lama kemudian, sebuah senyum merekah di wajahnya. Ciu-man itu bagaikan jawaban atas semua pertanyaan, sebuah pengakuan yang tak terbantahkan. Tyas menerima cintanya.

"Jadi, kamu mau jadi pacar aku?" tanya Kaesang, suaranya sedikit gemetar.

Tyas mengangguk, pipinya memerah. "Apakah ciu-man tadi tidak cukup untuk mengatakan semuanya, Kae?" 

Kaesang nyengir lebar, senyumnya kayak orang menang lotre. "Makasih ya udah mau nerima perasaan aku. Nggak nyangka, ternyata aku bisa ngalamin yang namanya 'melayang di awan' beneran, hehehe ...

Tenang, aku bakal jagain kamu, sayang. Cintaku ke kamu tuh kayak nasi padang, selalu ada dan nggak pernah abis. Janji deh, aku nggak bakal ngecewain kamu, paling banter cuma ngelawak aja. Love you, Dear!" Kaesang ngomong sambil nyubit pipi Tyas, yang langsung melotot karena kesal.

Tyas terkekeh, "Nasi padang? Awas ya, kalo kamu ngecewain aku, aku langsung pesen nasi uduk! Biar kamu ngerasain gimana rasanya ditinggalin."

Dia nyubit balik pipi Kaesang, "Tapi aku masih nggak nyangka Kae kalo sekarang kita udah resmi jadian. Perasaan aku baru kemaren loh masuk di Genius High School, tapi sekarang aku udah resmi jadi pacar anak dari pemilik sekolah itu. Kae, kamu aslinya pelawak ya?" 

Kaesang mengerutkan kening, tangannya meraih tangan Tyas yang masih mencubit pipinya. "Kok pelawak sih? Nggak lah," protesnya sambil cemberut.

Tyas terkekeh kecil, senyumnya yang manis membuat wajahnya makin berseri. "Habisnya kamu selama ini tuh pendiam loh orangnya. Nggak banyak ngomong, nggak pernah senyum, terus cuek gitu ke semua orang. Kamu juga nggak punya teman lain selain Rudi ...

Tapi sekarang setelah kita jadian kok kamu lucu banget sih, jadi gemes aku." Tyas menarik tangannya dari genggaman Kaesang, terus cubit pipinya lagi.

Kaesang nyengir, "Ya, aku kan lagi belajar jadi pelawak. Lucu kan? Lucu kan? Coba ketawa lagi!"

Tyas tertawa terbahak-bahak, "Kamu tuh ya, ngakunya belajar jadi pelawak, tapi pelawaknya ngakak sendiri. Udahlah, aku tau kamu sebenarnya cuman malu-malu kucing. Tapi nggak apa-apa, aku suka kok." 

Kaesang mendekatkan wajahnya ke Tyas, membingkai wajahnya dengan tangannya. Tawa Tyas terhenti saat sentuhan lembut Kaesang mendarat di pipinya. Tatapan mereka bertemu, penuh makna. Perlahan, Kaesang mengecvp kening Tyas.

Cup!

Kaesang menarik diri, senyumnya merekah setelah kecvpan itu. "Kalau aku manggil kamu Dear nggak masalah kan? aku suka banget sama panggilan itu." katanya, matanya berbinar.

Tyas mengerutkan kening, "Dear? Kayak nama kue apa gitu ya? Tapi ya udahlah, terserah kamu aja. Asal jangan manggil aku gurita ya, ntar aku ilfeel."

Kaesang terkekeh, "Hahaha, gurita? Enggak lah, Dear. Kan kamu udah jadi 'cumi-cumi' aku. Hehehe. Ngomong-ngomong ada apa sama gurita? kok tiba-tiba kamu nyebut gurita?" tanyanya penasaran.

Tyas yang tadinya ceria langsung berubah sedih. "Maaf, itu... itu panggilan sayang dari mantan aku dulu. Aku jadi agak takut pacaran lagi karena dia. Maaf ya, aku nggak bermaksud mervsak hari jadian kita."

Kaesang meraih pundak Tyas, membuat wanita itu menoleh dan menatapnya. Mata mereka bertemu, dan Kaesang berkata dengan lembut, "Lupakan semua yang udah terjadi, ya. Sekarang kamu pacar aku, dan aku mau manggil kamu 'Dear' ... 

Aku janji bakal bikin kamu bahagia, dan nggak akan pernah nyakitin kamu. Aku akan menghapus semua luka di hatimu, Dear. Aku akan selalu ada buat kamu."

Kaesang langsung memeluk Tyas erat, dan Tyas membalas pelukannya. Air matanya perlahan menetes, membasahi pipinya.

Bersambung ...

1
Misnati Msn
Lanjut
◍•Grace Caroline•◍: makasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!