Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Perhatian
Miranda baru saja tiba di rumah. Dengan wajah masam, ia melemparkan tas belanjaannya ke meja dengan kasar. Areta yang sedang duduk santai di sofa, langsung mengangkat alis, merasa ada yang aneh dengan sikap ibunya.
"Mama kenapa?" tanya Areta, bingung melihat raut wajah kesal Miranda.
Miranda mendengus keras. "Sayang, kamu tahu nggak tadi di supermarket, mama ketemu siapa?" tanyanya, bukannya menjawab.
"Ketemu siapa, Ma?" Areta menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ketemu Aqila!" jawab Miranda dengan nada penuh kebencian. Wajahnya memerah, matanya menyorotkan api kemarahan.
Areta terlihat terkejut. "Mama ketemu Aqila?"
"Iya! Kamu tahu nggak? dia itu kurang ajar banget! Dia nabrak mama sampai semua barang belanjaan mama jatuh. Anak itu memang benar-benar pembawa sial! Setiap ada dia, hidup mama selalu kena musibah!" geram Miranda, suaranya semakin meninggi.
Areta mengepalkan tangan, ikut marah. "Iya, Ma! Benar banget! Kenapa sih dia nggak mati aja? Dia nggak pantas hidup!"
Miranda menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Tapi kebenciannya terlalu besar untuk bisa diredam begitu saja. "Tapi yang bikin mama bingung, dia itu sekarang tinggal di mana? Sama siapa? Kan kita udah ngusir dia dari rumah. Harusnya dia itu jadi gelandangan sekarang. Tapi mama lihat tadi, dia malah kelihatan baik-baik aja. Bahkan jauh lebih baik daripada saat tinggal sama kita."
"Serius, Ma?" Areta mengernyitkan dahi. "Kok bisa?"
"Iya, serius! Mama lihat bajunya bagus, seperti pakaian mahal. Itu aneh banget! Apa mungkin sekarang hidupnya udah bahagia?" Miranda bertanya, suaranya dipenuhi rasa tak rela.
Areta menyipitkan matanya, tanda kebencian semakin membakar hatinya. "Kalau dia bahagia, aku nggak rela, Ma!"
Miranda mengetuk meja dengan jari-jarinya, tampak berpikir keras. "Mama juga nggak terima. Dia nggak boleh lebih bahagia dari kita."
Areta menghela napas panjang, lalu senyumnya mendadak muncul. "Tapi, Ma, daripada kita pusing mikirin Aqila, lebih baik mama dengar cerita aku."
"Cerita apa? Jangan-jangan ini tentang Daniel lagi?" Miranda melirik anaknya dengan pandangan bosan.
"Bukan, Ma. Ini lebih dari itu!" Areta menjawab dengan penuh semangat.
Miranda mengangkat alis, penasaran. "Apa?"
Areta mendekat ke ibunya, matanya berkilat penuh antusias. "Aku nemuin cowok yang jauh lebih ganteng dan kaya daripada Daniel!"
Miranda langsung terkejut. "Serius? Siapa dia?"
"Dosen baru aku, Ma. Pak Alvano. Udah lama aku mau cerita, tapi aku belum sempat. Dia itu orangnya tampan banget, pintar, dan yang lebih luar biasa lagi, dia anak pemilik kampus aku!"
Miranda tampak terkejut sekaligus terkesan. "Kamu serius? Wah, keren banget, Sayang!"
Areta mengangguk cepat. "Iya, Ma. Semua cewek di kampus tergila-gila sama dia. Termasuk aku." Senyumnya licik, membayangkan rencana yang mulai terbentuk di pikirannya.
Miranda ikut tersenyum lebar. "Kalau begitu, kenapa kamu nggak coba deketin dia aja? Kalau kamu bisa dapat dia, hidup kita bakal berubah total. Mama yakin, dia itu kaya banget!"
"Iya, Ma, aku juga pengen deketin dia. Tapi masalahnya, aku nggak tahu dia udah punya kekasih atau istri. Tapi gosipnya sih, dia masih sendiri. Jadi, aku rasa aku punya kesempatan," ucap Areta penuh percaya diri.
Miranda tersenyum licik. "Bagus, Sayang. Mama dukung kamu. Lagipula, kalau pun dia udah punya istri, apa salahnya? Kamu kan bisa rebut dia dari istrinya."
Areta tertegun, wajahnya berubah masam. "Apa? Mama mau aku jadi pelakor? aku nggak mau, Ma."
Miranda tertawa kecil, tak peduli. "Ah, Areta, zaman sekarang itu udah biasa. Yang penting, kita bisa hidup enak. Masalah jadi pelakor itu urusan belakangan."
"Tapi gimana sama Daniel, Ma?" tanya Areta, ragu.
"Alah, tinggalin aja si Daniel itu. Dia nggak kaya-kaya amat. Kamu harus fokus deketin dosen kamu itu. Ini kesempatan besar untuk kita," ucap Miranda mantap.
Areta mulai tersenyum, pikirannya perlahan menerima ide ibunya. Dalam hatinya, ia sudah merencanakan langkah berikutnya untuk mendekati Alvano.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Matahari sudah lama tenggelam, menyisakan remang-remang senja yang kini digantikan kegelapan malam. Alvano duduk di sisi ranjang, menatap wajah Aqila yang terlelap. Napasnya teratur, namun wajahnya masih tampak lelah setelah seharian bergulat dengan sakit di perutnya. Alvano mengusap lembut kepala Aqila, seolah ingin menyalurkan ketenangan.
"Semoga cepat sembuh, sayang," bisiknya pelan. Ia mengecup kening Aqila sekilas, senyuman kecil tersungging di bibirnya. Setelah memastikan Aqila nyaman dalam tidurnya, ia beranjak menuju meja kerja yang berada di sudut kamar.
Ia duduk di kursi, Alvano membuka ponselnya. Sejumlah pesan masuk menghiasi layar, tapi satu notifikasi menarik perhatiannya.
Ting!
Pesan dari Raka, sahabat dekat Alvano muncul di layar HP miliknya.
"Vano, nanti malam ketemuan yuk, di kafe biasa kita nongkrong."
Alvano langsung mengetikkan balasan, tapi sebelum mengirim, ia berubah pikiran dan menelpon Raka. Setelah beberapa detik, panggilan tersambung.
"Halo, Van!" suara Raka terdengar ceria di seberang.
"Halo, Ka. Tumben lo ngajak gue ketemuan? Ada apa?" tanya Alvano dengan nada datar, sambil memijat pelipisnya.
"Yaelah, Van. Tumben lo bilang? Biasanya juga gue sering ngajak lo ketemuan. Apa lo jadi pikun ya semenjak punya istri?" canda Raka, disambut dengan tawa kecil.
Alvano tersenyum tipis. "Lo tau lah posisi gue sekarang, Ka. Gue udah nggak bisa sebebas dulu. Sekarang gue udah punya Aqila."
Raka terkekeh. "Yah, lo bucin banget, sih! Lagian, kalau lo nggak mau ninggalin Aqila sendiri, kenapa nggak ajak dia sekalian? Lagi pula, sekarang ada Arga loh! Lo nggak mau ketemu dia? Jangan sampai dia sedih karena lo nggak datang."
"Arga?" Alvano mengangkat alis. "Dia di Jakarta sekarang?"
"Iya, Van. Dia baru balik. Katanya mau kerja bareng kita di kantor. Gue juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba pulang. Katanya sih bosan di luar negeri, capek diatur-atur sama omnya."
"Ooh gitu..." Alvano mengangguk pelan. "Tapi tetap aja, Ka. Gue nggak bisa ke sana."
"Loh, kenapa? Aqila nggak suka lo keluar malam?" tanya Raka penasaran.
"Bukan itu masalahnya."
"Terus apa dong?"
"Aqila lagi sakit, Ka. Gue nggak mungkin ninggalin dia sendirian. Gue harus jagain dia," jawab Alvano, nada suaranya penuh perhatian.
"Hah? Sakit apa? Jangan-jangan, masih ngerasa sakit gara-gara malam pertama ya?" goda Raka sambil tertawa lepas.
"Apaan sih lo, Ka! Nggak ada hubungannya sama itu," balas Alvano, kesal. "Dia sakit perut, Ka. Lagi datang bulan. Gue ngeliat dia kesakitan banget tadi."
Raka terdiam sesaat, lalu bersuara lagi. "Oh, yang bener? Terus, udah lo kasih obat?"
"Udah, Ka. Untungnya sekarang dia udah baikan. Tapi gue nggak mau ambil risiko ninggalin dia sendirian," jawab Alvano tenang.
Raka menghela napas. "Syukur deh kalau dia udah baikan. Yaudah, gue maklumin. Nanti gue bilang sama Arga kalau lo nggak bisa datang."
Alvano tersenyum kecil, merasa sedikit lega. "Iya, Ka. Sampein salam gue buat dia, ya. Lain kali kita pasti ngumpul."
"Siap, Van. Yaudah, gue tutup dulu, ya."
"Iya."
Sambungan telepon terputus.
Alvano meletakkan ponselnya, menghela napas panjang sebelum kembali melirik Aqila yang masih tertidur. Langkahnya kembali menuju ranjang, dan ia duduk di sisi istrinya. Di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, ia mengelus lembut rambut Aqila, memastikan kehadirannya selalu memberikan rasa aman bagi Aqila.
"Aku nggak akan biarkan kamu merasa sendirian, Qila," gumamnya, suaranya hampir seperti angin malam yang lembut.
Ia memandangi wajah Aqila yang terlihat begitu damai dalam tidurnya. Di dalam hati, Alvano akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini membuatnya bingung, perasaan yang ia pikir hanya sebatas rasa iba, ternyata telah berkembang menjadi cinta. Ia sempat ragu, mengira semua ini hanyalah simpati terhadap perjuangan Aqila. Namun kini, ia benar-benar yakin bahwa hatinya telah jatuh pada gadis itu. Perasaan itu bukan lagi keraguan, melainkan keyakinan yang tak dapat ia sangkal.
🌸🌸🌸🌸🌸
Tepat pukul delapan malam, Aqila tersentak. Ia terbangun dari tidurnya. Saat matanya terbuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah damai Alvano yang tertidur di sampingnya. Tangannya masih menggenggam erat tangan Aqila, seakan tak ingin melepaskannya. Aqila tersenyum kecil, hatinya hangat. Dalam pikirannya, Alvano benar-benar lelaki yang tulus, rela menemani dirinya bahkan hingga ketiduran seperti ini.
Aqila mencoba bangun perlahan, namun gerakannya malah membangunkan Alvano.
"Qila, kamu bangun? Kenapa? Perut kamu sakit lagi?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya langsung terjaga penuh perhatian.
Aqila menggeleng pelan dan tersenyum. "Nggak, Mas. Aku udah baikan kok. Sakitnya udah hilang," jawabnya lembut.
Mendengar itu, Alvano menghela napas lega. "Alhamdulillah, yaudah kalau gitu sekarang kamu makan dulu, ya? aku tau kamu pasti lapar," Alvano bersiap bangkit, tapi tangannya dicegah oleh Aqila.
"Mas, nggak usah repot-repot," ujar Aqila lirih, matanya penuh rasa bersalah.
Namun, Alvano menggenggam tangannya erat. " Sayang, Mas nggak merasa repot. Lagi pula kamu belum makan dari siang. Aku nggak mau kamu sakit lagi," ucapnya dengan tegas, namun tetap lembut.
Aqila tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh perhatian suaminya. "Iya, Mas, tapi aku belum lapar. Aku... aku mau mandi dulu," katanya pelan.
Alvano tampak sedikit bingung. "Tapi Qila, ini udah malam. Nggak baik mandi malam-malam. Mandinya besok pagi aja, ya?" sarannya dengan nada lembut.
Aqila menggeleng. "Aku nggak bisa, Mas. Aku lagi halangan. Aku nggak nyaman kalau nggak mandi sekarang," jawabnya sambil bersiap bangkit. Namun, saat itu juga ia merasakan sesuatu yang membuatnya terdiam. Celananya terasa basah. Dengan sedikit ragu, ia melirik ke dalam selimut. Wajah Aqila langsung memerah. Panik.
"Kenapa, Qila?" tanya Alvano, melihat perubahan ekspresi istrinya.
"Mas.. a.. aku.." Suara Aqila terdengar ragu, nyaris berbisik.
"Kenapa? Bilang ke Mas. Perut kamu sakit lagi?" tanya Alvano, kini semakin khawatir.
Aqila menggeleng pelan, tapi masih terdiam.
"Qila, jangan diam aja. Kamu bilang apa yang kamu rasain," desaknya.
Dengan sangat malu, Aqila akhirnya menjawab, "Mas... halangan aku tembus. Darahnya banyak banget. Sampai tembus ke sprei.." suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas bagi Alvano.
Alvano terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menyibak selimut mereka, dan benar saja, sprei serta selimutnya sudah ternoda merah.
"Maaf, Mas... Aku benar-benar lupa ganti pembalut tadi," ucap Aqila dengan suara penuh rasa bersalah.
Namun, Alvano hanya tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Sayang. Mas nggak marah. Sekarang kamu mandi dan ganti baju biar lebih nyaman, ya?" katanya lembut, membantu Aqila bangkit.
Mereka berjalan menuju kamar mandi, dan saat sampai di depan pintu, langkah Aqila terhenti.
"Mas ngapain ikut?" tanyanya sambil menatap heran.
" Mas mau nemenin kamu. Takutnya nanti, perut kamu sakit lagi," jawab Alvano khawatir.
"Mas... aku mandi, lho. Masa Mas mau ikut masuk?" wajah Aqila langsung memerah.
Alvano terkekeh pelan. "Ya nggak apa-apa, kita kan suami-istri. Nggak masalah kalau aku mau lihat kamu mandi, kan?" godanya sambil tersenyum jahil.
"Mas! A-aku.." Aqila makin gugup. Wajahnya semakin merah.
Melihat reaksi itu, Alvano tertawa kecil. "Aku cuma becanda, Qila. Kalau kamu mau mandi sendiri, nggak apa-apa. Tapi kamu yakin bisa sendiri?" tanyanya memastikan.
Aqila mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, Mas. Aku bisa kok."
"Ya sudah, sekarang kamu mandi. Lagi pula nanti, akan ada waktunya juga kita mandi bareng kalau kamu udah siap," ucap Alvano sambil menggoda, memasang senyum jahil yang langsung membuat pipi Aqila memanas.
"Mas Vano!" seru Aqila malu-malu sambil menutup pintu kamar mandi dengan cepat.
Alvano tertawa pelan sambil berjalan kembali ke kasur. Ia mulai melepas sprei yang kotor dan menggantinya dengan yang bersih. Sesekali ia tersenyum, merasa beruntung memiliki istri seperti Aqila, yang meski sering malu-malu, selalu membuat hatinya hangat.