"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asing
Dikta diam sejenak. Mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Varissa ke gelas jus jeruk miliknya yang kini hanya tersisa setengah. Sibuk berpikir dalam waktu sesingkat mungkin tentang apakah dia harus berterus terang atau justru menyimpan jawaban pertanyaan itu rapat-rapat.
"Ta? Kok bengong?" tegur Varissa canggung. Berada dalam ruangan luas, sepi dan setenang ini bersama seorang lelaki yang terus menganggu kinerja normal jantungnya sungguh memberi tekanan yang luar biasa terhadap dirinya.
Namun, kalian jangan salah paham. Maksudnya bukan berarti Varissa tidak merasa nyaman. Justru, sebaliknya. Saking nyamannya, ia mulai menumbuhkan perasaan lain yang seharusnya pantang ia pupuk sebelum palu hakim di pengadilan agama memotong batang yang sudah lebih dulu ia rawat bersama Erik.
"Haruskah ku jawab?" Ada gurat ragu dalam ucapan lelaki itu. Sepasang netra yang biasanya selalu menatap dingin tanpa ragu, kini malah berkedip cepat seraya seringkali cenderung menghindar.
Varissa mengangguk meski hati yang ia miliki semakin bertambah canggung.
Dikta menarik nafas panjang. Meraih jus jeruknya dan menghabiskan minuman sehat itu dalam sekali tenggak. Denting gelas yang menubruk permukaan pantry beralas granit mahal terdengar cukup nyaring ketika Dikta meletakkan gelas itu kembali.
"Aku selalu memantau kamu dari jauh semenjak Om Hadi meninggal dunia." Dikta berucap jujur sambil menundukkan kepala. Asyik menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya yang ia putar-putar agar bisa mengalihkan sedikit fokusnya.
Varissa meneguk ludahnya kasar. Mendadak tenggorokannya terasa sakit kala nama Ayahnya kini disebut kembali oleh seseorang. Rasanya sudah sangat lama Varissa tidak pernah mendengar nama itu selain dari mulut Dokter Imran dan Pengacara Reno. Bahkan, Erik saja tidak pernah mengungkit atau mengenang mendiang Ayah mertuanya sendiri.
"Dua hari sebelum Om Hadi meninggal, beliau telfon aku," lanjut Dikta kembali. Sesaat, ia menatap Varissa sebelum menundukkan kembali pandangannya.
"Beliau minta agar aku bisa gantiin dia buat jaga kamu. Jadi...," Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. "Aku mengirim beberapa orang untuk memantau kamu hampir 24 jam setiap hari. Mereka yang melaporkan kecelakaan kamu ke aku, sekaligus orang yang mengevakuasi dan mengantar kamu ke rumah sakit pagi itu."
Tangan kanan Varissa terkepal erat. Ia memalingkan wajah ke arah berlawanan. Menengadah ke atas demi menahan laju deras air mata yang mendadak keluar tanpa diminta.
"Lalu, kenapa kamu nggak datang ketika Papa meninggal, Ta?" tanya Varissa tanpa menatap wajah lelaki itu.
Dikta tersenyum tipis. "Aku datang," ucapnya yang sontak membuat Varissa menoleh kepadanya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Hanya saja, aku masih tahu diri untuk tidak mendekati kamu," lanjut pria itu dengan senyum menahan perih. "Aku tahu kamu masih membenciku. Dan, kehadiranku yang secara terang-terangan bisa saja membuat amarah kamu akan semakin meledak," imbuhnya.
Jemari lentik itu bergetar. Di usapnya airmata yang membasahi pipi sambil ikut tertunduk dalam. Varissa sadar akan kekeliruannya yang terlalu berlebihan dalam membenci Dikta. Padahal, jika dipikir-pikir, Dikta tak pantas mendapatkan itu semua. Hidup Varissa jauh lebih beruntung ketimbang lelaki yang sejak kecil sudah harus kehilangan segalanya.
Harta, orangtua dan saudara. Tak satu pun yang selamat dari tragedi kebakaran yang pernah menimpa rumahnya. Hanya Dikta satu-satunya yang selamat dari kejadian itu. Dan, orang-orang yang seharusnya bersimpati, justru mengutuk Dikta atas kejadian yang sudah pasti tidak pernah Dikta inginkan itu.
Lalu, suatu hari datanglah Ayah Varissa. Lelaki itu datang tanpa mencela seperti yang lain. Dia datang mengulurkan tangan. Menawarkan tempat berlindung yang baru kepada anak lelaki yang nyaris kehilangan asa. Bersikap masa bodoh dan menutup telinga ketika orang-orang disekitar mengatakan bahwa dia akan ikut terkena sial jika memelihara anak terkutuk itu. Yang ia lakukan hanya tersenyum. Menepuk pundak anak lelaki itu dan mengatakan bahwa dirinya bukan anak pembawa sial. Sebaliknya, dia adalah anak yang akan menaklukkan dunia. Tanpa ragu. Tanpa sinis sedikitpun.
"Kamu nggak harus menunaikan janji itu, Ta!" lirih Varissa penuh penyesalan. Sungguh! Dosanya di masa lalu terhadap Dikta benar-benar tidak sepadan dengan segala hal yang sudah Dikta lakukan untuknya selama ini.
"Papa sudah meninggal. Seharusnya kamu memilih mengejar kebahagiaan kamu sendiri dibanding harus kembali merepotkan diri mengurus dan menjaga aku."
"Ini mauku, Va!" tegas Dikta. Tatapan tajam itu kembali. Namun kali ini dengan wajah yang menampakkan emosi. Sama sekali tidak datar seperti biasanya.
Tak berselang lama, lelaki itu berdiri. Melangkah mendekati Varissa lalu memegang kedua bahu wanita itu. Mencengkram tanpa menyakiti sama sekali.
"Melanjutkan tugas Om Hadi untuk menjaga kamu adalah keputusanku sendiri. Bahkan, tanpa Om Hadi minta pun, pasti akan aku lakukan, Va. Jadi, lebih baik kamu diam. Biarkan aku melakukan hal yang aku mau untuk menjaga satu-satunya keluargaku yang masih tersisa. Oke?"
Hening. Varissa terdiam kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa menatap punggung lebar Dikta yang kini berjalan menjauh tanpa kuasa ia cegah. Keluarga? Apa rasa itu sudah menghilang?
*****
Pukul 2 siang, Varissa memutuskan pulang tanpa berpamitan. Bukan karena dia tak punya sopan santun. Hanya saja, pemilik apartemen itu sedang pergi entah kemana sedari tadi dan belum pulang juga. Lelah menanti, Varissa memutuskan menulis sebuah memo untuk Dikta dan menempelnya di pintu kulkas.
Ia berjalan keluar dari dalam lift ketika tiba di lobby apartemen. Tanpa ia sadari, sosok yang sedari tadi ia tunggu tengah bersembunyi di dekat meja resepsionis ketika keduanya hampir saja berpapasan. Dikta sengaja menghindar. Ia butuh ruang untuk sendiri demi meredakan amarah yang menggunung didalam hati.
Berhenti menjaga Varissa? Ayolah! Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa Dikta memikirkan kebahagiannya sendiri ketika sumber bahagia itu malah sedang tidak baik-baik saja? Karena bagi Dikta, kebahagiaan Varissa merupakan wujud dari kebahagiaannya juga.
"Dikta...," panggil seseorang setengah berteriak. Wanita dengan netra kehijauan yang beberapa waktu lalu sudah ia tolak malah muncul kembali.
"Michelle?"
"Ya, aku!" Michelle tersenyum.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Michelle selalu ceria dan periang. Mulutnya sedari tadi tak berhenti berceloteh sambil menghabiskan makanan ringan dan minuman soda yang disuguhkan Dikta untuknya. Tidak ada lagi pembahasan mengenai perasaan yang serius seperti kemarin. Hari ini, gadis itu datang tanpa membawa embel-embel apapun.
"Di telan dulu baru bicara lagi, Cel!" kata Dikta setengah sebal. Akhirnya gadis yang selalu Dikta panggil dengan sebutan 'Icel' itu tersedak gara-gara makan dan bicara dalam waktu yang bersamaan.
"Bawel, ih!" gerutu Michelle tak peduli.
Dikta hanya bisa menghela nafas. Michelle memang keras kepala dan selalu enggan mendengar kata-katanya.
Bel apartemen tiba-tiba berbunyi. Dengan sigap, Michelle bangkit dari kursinya. Berlari kecil hendak membuka pintu untuk tamu yang dipikirnya merupakan kurir makanan yang ia pesan beberapa saat yang lalu.
"Udah da...," Ucapan Michelle terputus. Ia mematung sambil menatap wajah sosok wanita cantik di hadapannya. Mendadak, sesuatu berdesir perih dalam dadanya. Ya, inilah wanita yang terlanjur memiliki hati Dikta sampai detik ini. Michelle tahu itu dan sangat memahami itu.
"Varissa?" Bibir mungil wanita berparas Eropa itu membuat Varissa semakin mengeratkan pegangannya pada tali tas jinjing yang ia genggam.