Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Salah Mengartikan Perasaan?
Justin menghentikan laju mobilnya sesaat setelah sampai di depan rumah Abigail. Ia tidak datang dengan tangan kosong. Ia juga membawa bunga yang akan ia persembahkan kepada Abigail, kekasihnya. Bagaimana ia bisa terlihat lebih romantis dari ini, atau apakah Abigail menginginkan lebih?
Justin sudah memastikan bahwa apa yang terjadi padanya di sekolah pagi itu akan menjadi buah bibir bagi orang-orang. Maka dari itu, ia berusaha menyiapkan banyak momen romantis. Beberapa kamera dan dirinya yang mencari pelataran luas, ia mencari kumpulan orang-orang untuk dijadikan ajang pamer tentang kekasihnya. Meskipun katanya, Abigail itu tidak ada yang bisa ia banggakan.
"Eh, Justin?" sambut Eliza dengan sumringah. Ia menyambut laki-laki berpakaian kasual di depannya. "Mau bertemu Abigail?"
Justin mengangguk sambil berkata, "Iya Tante."
"Saya sarankan untuk bagian pinggang saya, dress-nya dibesarkan sedikit. Beri ruang minimal tiga senti dari ukuran awal. Clara kan tahu, lingkar pinggang saya lumayan lebar. Maklumlah, sudah tua dan banyak tertutup lemak!" Customer Clara kali ini seorang ibu-ibu, tertawa di ruang jahit yang dilewati Eliza dan digunakan Justin untuk duduk diam sejenak menunggu Abigail selesai berdandan.
"Siap, Bu!" Clara kembali mengulang catatan yang lain. Ia sedikit tersenyum mendengar penuturan sang customer.
Ia menyimpan bunga di atas meja.
"Wah, kamu mau date ya sama kakak ini? Sebentar ya, dia sedang sibuk menyiapkan gaun untuk saya!"
"Bukan, Bu. Ia bukan pacar saya. Ia adalah pacar adik saya, Abigail!" kata Clara. Firasatnya mulai buruk. Begitupun dengan Eliza. Tetapi, keduanya masih tampak baik-baik saja di hadapan Justin.
Refleks seketika itu juga, sang customer langsung tersipu malu di hadapan Clara dan juga Justin. "Eh, saya tidak tahu,"
"Tidak masalah, Bu!"
Tidak lama kemudian, Abigail turun dengan dress-nya yang sangat cantik. "Justin, ayo!"
"Nah, itu Abigail,"
"Pulangnya jangan terlalu malam ya!" pesan Eliza. Ia tidak ingin putri bungsunya kenapa-kenapa.
Hmm, tetapi sepertinya tidak ada yang memperhatikan lebam di wajah Abigail. Mungkin karena sebagiannya tertutup oleh bedak?
"Ayo," Justin menggiring Abigail keluar dari rumahnya dan masuk ke dalam mobilnya. Sengaja ia menggunakan mobil karena malas jika harus naik motor dengan Abigail di belakangnya.
"Kita akan menghabiskan hari ini dengan sangat bahagia dan sempurna. Tetapi, harus kukatakan sekali lagi, bahwa semua di dunia ini, dan segala yang telah kulakukan adalah bukti cinta sempurnaku padamu."
"Okay!" Abigail tersipu malu mendengar segala penuturan Justin. Jadi benar, semua yang ia terima dari Justin adalah cinta? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Hanya saja, cara mengungkapkannya berbeda.
"Masih ngobrol sama cowok itu?" tanya Justin.
"Cowok mana?" jawab Abigail.
"Masa tidak tahu? Cowok yang kemarin itu ngobrol berdua, duduk pas lagi sama Yeon."
"Oh, itu," jawab Abigail, lalu ia menunduk. "Ia adalah customer-nya kakakku, yang tadi itu namanya Clara." Jawaban singkat yang dilontarkan Abigail.
Tidak lama kemudian, masih di depan rumah, dalam perjalanan menuju mall tempat mereka berbelanja, Justin mengelus pelan wajah Abigail yang lebam karena dirinya.
"Abigail,"
"Iya, sayang!"
Justin mengambil beberapa hiasan pita yang menempel di kepala Abigail. "Tidak perlu pakai ini. Kamu tidak cantik juga. Lagipula, ngapain? Buang. Jangan. So deh."
"Okay, maaf!"
Kemudian, mereka baru berangkat. Pada saat itu juga, Abigail merasa bahwa Justin terlalu mencintainya. Ia bahkan tidak rela dengan orang-orang yang melihat kecantikannya.
Saat mobil melaju, Justin berucap lagi. "Kamu kalau mencoba untuk tampil cantik di hadapan orang lain, kamu pikir apa?"
"Kamu cemburu?" tanya Abigail.
Justin tidak menjawab. Ia hanya berdehem kecil sebelum berucap lagi. "Kamu dapat satu pukulan dari aku, soalnya kamu terlalu bodoh."
"Satu pukulan adalah satu cinta," kata Abigail. Kemudian, Justin memberikannya di sela-sela laju jalan mobilnya. Pada saat itu juga, yang ada di pikiran Abigail adalah bahasa cinta dari Justin.
O0O
Pikirannya, angannya melayang. Perempuan itu mengisap rokok elektrik dari tangannya. Kepalanya sedikit pusing. Kemudian, ia terjatuh pingsan tepat di pelukan seorang laki-laki yang ia sudah duga bukan kekasihnya, Damian atau siapa pun itu. Laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya. Ia memperhatikan sorot matanya yang semakin lelah, lalu ia terjatuh pingsan.
Malam di Bar Club.
"Bawa dia ke kamar hotel," para stafnya mengangguk.
Tiga orang laki-laki berbadan tinggi, dengan perawakan yang sempurna, salah satunya mengambil tubuh perempuan itu secara sembarangan.
"Biarkan aku yang menggendong dia," teman laki-lakinya mengangguk. Ia kemudian menggendong tubuh perempuan itu dari tempat ia mabuk sampai ke parkiran tempat ia menyimpan mobilnya.
"Kenapa dia?"
"Sepertinya lelah."
"Peluk dia, tunggu sampai dia bangun!" perintah rekannya lagi.
Tatapan wajahnya mengarah ke tubuh sempurna perempuan itu. Kulit putih yang sangat sempurna, tubuh yang indah, dan segala bentuk keindahan yang Tuhan berikan pada perempuan ini memang sungguh luar biasa.
"Andai kamu jadi milikku!"
Rekannya yang sedang menyetir hanya bisa terdiam, menatap senyuman yang sebelumnya sepertinya belum pernah ia lihat dari temannya. Tangannya kemudian mengecup tangan halus perempuan itu. Ia berbisik pelan, "Tetap tidur, Anak Manis!"
Sesampainya di hotel, tubuh perempuan itu kemudian langsung dibaringkan di kasur di depannya. Semalaman ia mabuk, dan hari ini ia pingsan. Rekannya, Arga dan Rio, bergegas untuk mengambil minyak angin untuk mengembalikan kesadarannya.
Ya, Rio dan Arga, bersama perempuan yang pingsan di bar adalah Aurel, mantan kekasih Justin Damian Alexandra. Aurel, perempuan yang terkenal, kaya raya, dan baik hati. Ia memiliki aura positif yang lebih baik daripada mantan kekasihnya, Damian.
"Rio, Arga?" Setelah ia siuman, ia sadar bahwa tubuhnya dibawa ke sini. Kemudian, ia menatap bagian dadanya yang sedikit terekspose. Ia tidak mengingat apa pun saat pingsan karena memang tidak sadar. Hanya saja, ia teringat sesuatu.
"Kalian berdua ngapain di sini?" tanya Aurel panik.
"Kamu pingsan tadi. Ini minyak angin yang aku pakai untuk membuat kamu siuman," kata Arga. Kemudian, ia menyerahkan sebotol minyak angin.
"Eh, terima kasih Arga,"
Cowok itu kemudian mengangguk. "No problem,"
"Aku kenapa tadi?" tanya Aurel. Ia sedikit bingung karena tiba-tiba berada di kamar hotel.
"Tadi kamu pingsan. Mungkin tubuh kamu tidak kuat meminum terlalu banyak alkohol," Aurel terdiam mematung.
"Kenapa sayang? Kamu tidak pernah mabuk separah ini. Apa yang mengganggu pikiranmu?" Arga semakin mendekatkan tubuhnya ke hadapan Aurel.
"Iya, tidak biasanya, kamu itu. Makanya kita panik, terus membawa kamu ke sini. Untungnya ada kita berdua. Aman. Kita langsung mengobati kamu," pesan Rio.
"Terima kasih ya, kalian sudah baik sekali. Maaf aku jadi merepotkan," kata Aurel. Tanpa berpikir panjang, ia pun langsung bangkit dari tempat tidurnya.
"Tunggu dulu sayang," pesan Arga. Ia mendorong tubuh Aurel agar terjatuh kembali ke tempat tidurnya. Kemudian, ia berbisik setelah menemukan flashdisk yang menyimpan data dan masa lalu Justin.
"Kamu mencari ini?" tanya Arga lagi.