Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Arnan pulang ke apartemen mewahnya setelah seharian sibuk bekerja. Meski siang tadi ia merasa sangat bahagia karena Anan. Bocah kecil menggemaskan itu bisa menjadi penambah penyemangatnya.
Mengingat Anan, senyum di bibir Arnan muncul. Segala tentang Anan sangat mengesankan bagi Arnan. Terutama maminya Anan yang begitu cantik dan sangat keibuan.
Senyum pria itu menghiasi bibirnya hingga membuat seseorang yang baru saja datang dari dapur menatapnya heran.
"Kenapa kamu senyum-senyum begitu, Nak?" Arnan yang tadinya masih melamunkan tentang Anan dan Fadila jaud tersentak kaget.
"Mama! Buat kaget saja." Senyum Arnan lenyap seketika.
"Makanya jangan melamun, pulang kerja bukannya mandi atau gimana gitu? Malah melamun sambil senyum-senyum lagi kamu. Apa jangan-jangan kamu sudah punya pacar, ya?" Wanita yang merupakan ibu kandung Arnan itu duduk di samping anaknya.
"Pacar apa? Aku gak punya pacar," ucap Arnan berdiri dari duduknya.
"Kalau kamu gak punya pacar ya bagus deh." Langkah Arnan terhenti dan berbalik melihat mamanya.
Biasanya mamanya itu akan selalu menyibukinya dengan menyuruh Arnan untuk menikah. Lalu kenapa sekarang malah mengatakan bagus saat ia bilang tak punya pacar?
"Memangnya kenapa, Ma?" Tanya Arnan penasaran.
"Mama, berencana mau jodohkan kamu kalau belum punya pacar." Santai wanita paruh baya itu.
"Gak! Aku gak mau di jodohkan." Arnan menolak usulan mamanya.
"Mama pengen cucu, Arnan! Umur kamu juga sudah 35 tahun. Masa belum kasih Mama cucu sama sekali." Marni menggerutu kesal pada anaknya.
"Zaki, sebentar lagi punya anak. Itu cucu Mama, kan?"
Marni mencebik semakin kesal pada putra sulungnya.
"Beda lagi kalau sama, Zaki. Mama, maunya cucu dari kamu."
"Bedanya apa, Ma? Kami sama-sama anak Mama."
"Kamu anak sulung Mama, jadi kamu harus kasih Mama cucu juga. Sebenarnya harus kamu duluan yang kasih Mama cucu, bukannya Zaki adik kamu." Marni kekeh pada pendiriannya.
Arnan menghela napas panjang, tidak akan pernah menang berdebat dengan mamanya kalau sudah membahas masalah cucu. Apa lagi selama ini semua keinginan wanita itu selalu di penuhi oleh papanya Arnan.
"Iya, nanti aku kasih Mama menantu plus cucu sekalian." Arnan berucap asal sembari berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Bukan asal ucap juga sih sebenarnya, Arnan hanya ingin mamanya tidak menjodohkannya. Apa lagi saat ini pria itu sedang dalam tahap pendekatan.
"Apa? Jangan bercanda, Arnan!" Marni menatap tajam putra sulungnya.
"Siapa yang bercanda, Ma?"
"Kamu serius? Jangan bilang kalau kamu hamili anak orang? Astaga, Arnan! Mama gak pernah ya ajari kamu berbuat buruk begitu. Kenapa kamu sampai lakukan hal keji itu, Nak?" Marni begitu shok dan histeris saat membenarkan opininya.
"Mama, apaan sih? Siapa yang hamili anak orang?" Sangkal Arnan tak kalah kaget mendengar ucapan mamanya yang di luar pemikiran.
"Ada apa ini? Mama, kenapa?" Seorang pria datang mendekat setelah keluar dari kamar.
"Pa, Arnan hamili anak orang." Kedua mata pria paruh baya itu melotot kaget mendengar kabar dari istrinya.
"Apa? Siapa yang kamu hamili, Arnan?" Simon menatap tajam putranya.
Arnan hanya memasang wajah malas kalau sudah begini. Memang dasar mamanya sangat suka membuat kehebohan.
"Gak ada yang hamili anak orang, Pa."
"Trus, tadi kamu bilang mau kasih Mama menantu plus bonus cucu. Apa maksudnya kalau kamu gak hamili anak orang?" Marni mencecar Arnan.
"Tapi gak berarti aku hamili anak orang Mama sayang." Arnan sungguh sangat menahan geramnya saat ini.
Ingin marah tidak mungkin, wanita yang menuduhnya itu adalah cinta pertamanya sebagai ibu.
"Katakan yang sebenarnya, Arnan." Arnan menatap papanya yang sudah berbicara tegas.
Menghembuskan napas panjang, Arnan berjalan mendekati kedua orang tuanya yang menatapnya dengan pandangan berbeda.
Simon menatap tajam putranya, sedangkan Marni menatap kaget dan shok pada Arnan.
"Aku suka sama janda, anaknya baru umur 3 tahun. Anaknya juga suka sama aku, bahkan panggil aku daddy." Arnan menjelaskan secara singkat.
"Apa? Janda? Kamu suka sama janda? Yang benar saja kamu, Ar?" Kaget Simon.
Sedangkan Marni tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Kamu gak bohongkan, Ar?" Menatap tajam Arnan untuk memastikan.
"Untuk apa bohong, Ma? Aku lagi berusaha untuk dapetin perhatian janda muda itu." Santai Arnan menjawab.
"Kenapa harus janda, Arnan? Apa gak ada gadis lagi sampai kamu harus sama janda?" Tanya Simon dengan wajah serius.
"Memangnya apa yang salah sama janda, Pa? Mereka juga sama dengan para gadis, hanya sudah gak perawan saja. Ada yang punya anak, ada yang tidak."
"Tetap saja dia bekas orang lain, Ar." Simon kekeh pada pendapatnya.
"Yang statusnya gadis juga banyak yang bekas orang lain. Bahkan sudah gak bersegel lagi meski di KTP masih singel. Mending janda, statusnya jelas. Lebih berpengalaman lagi." Kekeh Arnan pula.
"Kalau masalah pengalaman itu bisa di cari, Ar. Masa iya kamu mau sama janda sih?" Simon masih saja mendebat anaknya.
Hanya mendebat saja, tidak ada maksud menolak keinginan anaknya. Simon sudah lama tidak bertemu dengan Arnan, jaid ia merasa rindu untuk berdebat dengan anak sulungnya itu.
"Ehem ... Ehem ... Trus, kamu kenapa dulu mau sama janda juga?" Marni menatap suaminya santai.
Simon yang baru menyadari sesuatu langsung menoleh pada istrinya.
"Mama, ngomong sama siapa?" Tanya Simon pura-pura.
"Tuan Simon Arnolt." Kedua mata Marni melotot.
"Eh, hehehe ... Ada apa Mama sayang?" Simon yang sudah menyadari kesalahnnya mulai melakukan godaan untuk meluluhkan istrinya.
"Tadi bilang apa sama , Arnan? Kenapa pilih janda? Kenapa mau sama janda? Trus dulu status Mama apa sebelum nikah sama, Papa?" Marni melipat kedua tangannya di dada.
Simon menggaruk kepalanya sembari nyengir pada Marni.
"Maaf, Mama. Tadi itu cuma bercanda doang kok."
"Bercanda, ya? Tapi kok Mama lihatnya serius, ya?" Semakin terlihat garang wajah Marni.
"Gak ada yang serius kok, Ma. Mungkin tadi cuma perasaan Mama saja kali."
Simon berusaha lepas dari amukan istrinya. Sepertinya usahanya untuk berdebat dengan Arnan harus membuatnya berusaha keras membujuk sang istri.
Karena rindu berdebat dengan sang anak sampai membuat Simon lupa topik yang menjadikan sang istri kesal.
"Iya juga, ya. Itu cuma perasaan Mama doang. Tapi perasaan dulu Mama waktu di nikahi Papa, status Mama itu janda kan, ya? Cuma bedanya Mama sama pacarnya Arnan hanya di anak saja. Tapi Papa mau tuh sama Mama, bahkan gak bergeming walau gak di restui orang tua."
"Maaf, Ma." Simon mengakui kesalahannya sebelum ada kelanjutan kalimat istrinya.
"Haih ... Buah jatuh gak jauh dari pohonnya ternyata." Marni berjalan menuju dapur sembari menepuk pundak tinggi anaknya saat melewati Arnan.
Setelah Marni berlalu, Arnan menatap papanya dengan satu alis terangkat.
"Kenapa mau sama janda? Jawabannya karena janda lebih menggoda." Arnan meninggalkan papanya setelah mengejek.
"Dasar anak kurang ajar." Kesal Simon sembari menarik napas panjang.
Untung ia tidak sampai di suruh tidur di luar oleh istrinya tadi.
sangat mengecewakan Thor....
ambisi terlalu tinggi sampai tega menghancurkan rumah tangga anaknya....
😱😱