Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Nasi goreng bumbu cinta ala Mbak Sinta
Di jagat maya, berita tentang penangkapan Gunawan terus bergulir seperti bola salju yang kian membesar. Netizen, dengan segala keahlian mereka dalam menciptakan drama, terbagi menjadi dua kubu.
Kubu pro, yang percaya Gunawan adalah korban konspirasi, menyebut ini siasat kotor untuk menutupi kasus Jessica. Sementara kubu kontra, dengan tegas menuduh Gunawan sebagai polisi "pencitraan" yang akhirnya ketahuan belangnya. Komentar pun berhamburan. Ada yang serius, ada juga yang entah kenapa membahas promo tahu bulat lima ratusan.
Di sisi lain, jauh dari hingar-bingar jagat maya, rumah keluarga Arga mendadak terasa seperti sinetron drama keluarga. Sudah tiga hari Arga tidak keluar dari kamar. Pak Komar, ayahnya, mulai mondar-mandir di depan pintu kamar, menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
"Ini anak kenapa, sih? Jangan-jangan dia lagi sakit?" gumam Pak Komar, sambil mengetuk pintu pelan. "Arga, kamu nggak apa-apa, Nak? Ini Bapak bawain teh hangat, lho."
Tidak ada jawaban. Sunyi.
Bu Ratmi, yang duduk di sofa dengan wajah penuh kekhawatiran, berbisik pelan pada suaminya. "Pak, coba ketok lebih keras. Siapa tahu dia ketiduran."
Pak Komar menghela napas, lalu mengetuk pintu sedikit lebih keras. "Arga! Ini Bapak! Kalau kamu nggak keluar, teh-nya Bapak minum, lho!"
Tetap tidak ada jawaban. Kini kekhawatiran mereka makin memuncak.
Mbak Sinta, kakak perempuan Arga, yang sedang duduk dengan wajah cemberut, akhirnya berdiri. “Pak, Bu, minggir. Biar aku yang urus. Kalau adik satu-satunya ini sampai kenapa-kenapa, aku yang dituntut malaikat di akhirat nanti!”
Dengan langkah tegas, Mbak Sinta menghampiri pintu kamar Arga. Ia mengetuk pintu, kali ini seperti ingin mendobrak. "Arga! Kalau kamu nggak keluar dalam hitungan tiga, aku dobrak pintu ini!"
Pak Komar mencoba menenangkan. "Sint, jangan keras-keras. Ini adikmu, bukan maling ayam."
Namun Mbak Sinta sudah mulai menghitung. “Satu! Dua! Ti—”
Pintu kamar mendadak terbuka. Arga berdiri di ambang pintu dengan wajah kusut seperti zombie baru bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab, menandakan dia mungkin habis menangis.
"Apa, sih, Mbak? Aku nggak bunuh diri kok. Cuma lagi nggak pengen keluar aja," katanya lemas, lalu berjalan ke arah meja makan.
Semua terdiam, saling pandang, sebelum akhirnya Bu Ratmi membuka suara. "Alhamdulillah... Tapi, Nak, kalau nggak pengen keluar, kenapa nggak bilang-bilang? Ini Bapak sampe nyuruh tetangga siap-siap cari pinjaman ambulans!"
Arga hanya menggaruk kepala sambil mengambil segelas teh yang sudah dingin di meja. "Aku lagi mikir, Bu. Banyak yang harus aku renungin."
Mbak Sinta mendengus. "Renungin apa? Kamu itu cuma lagi malas makan, iya kan?"
Arga mendesah panjang. "Aku mikir gimana caranya aku balikin nama baik Pak Gunawan..."
Pak Komar menepuk pundaknya pelan. "Ya udah, sambil makan ya, Nak. Pikiran jernih itu datang kalau perut kenyang. Nasi goreng Mbak Sinta masih di dapur. Tapi kalau mau pesen pizza, bilang aja ke Ibumu."
Bu Ratmi menyahut dengan cepat, "Pak! Pizza itu mahal, lho! Lagi pula Mbak Sintanya masak nasi goreng pake cinta, biar Arga semangat lagi."
Mbak Sinta hanya mengangkat wajan dari dapur, sambil berkata datar, "Makan aja dulu, Ga. Urusan dunia jangan dibawa ke hati. Kita cari cara bareng-bareng nanti."
Arga tersenyum kecil, meskipun masih lemas. Dalam hatinya, ia tahu keluarga ini, dengan segala kehebohan mereka, adalah tempat terbaik untuk pulang.
...****************...
Dengan langkah berat dan wajah seolah menanggung beban seluruh dunia, Arga akhirnya keluar dari kamarnya. Rambutnya yang biasanya rapi sekarang terlihat seperti sarang burung, kaosnya kusut, dan celana pendeknya tampak seperti belum dicuci selama seminggu.
Melihat itu, Mbak Sinta yang duduk di ruang tamu langsung menaruh gelas tehnya. Sudah tiga hari dia menahan diri untuk tidak bertanya, tapi kali ini kesabaran sudah di ujung tanduk. "Arga," panggilnya dengan nada tajam, "kamu tuh kenapa nggak kerja-kerja? Jangan bilang kamu resign karena kalah taruhan nonton bola, ya?"
Pak Komar dan Bu Ratmi, yang sedang duduk di sebelah Mbak Sinta, langsung menoleh tajam. Mereka sudah mengira macam-macam—mulai dari Arga diputus pacarnya sampai dugaan Arga ikut MLM ilegal.
Arga menghela napas panjang, lalu duduk di kursi dengan ekspresi lelah. "Aku nggak resign, Mbak," katanya datar. "Aku di-skors."
Ruangan langsung hening seperti di adegan film horor. Pak Komar dan Bu Ratmi saling pandang, sebelum akhirnya Pak Komar memecah keheningan dengan suara pelan, "Skors? Maksudnya, kamu dipecat, Nak?"
Arga langsung menggeleng. "Bukan, Pak. Skors. Artinya aku cuma dihukum sementara. Tapi... ya ada bonusnya. Gaji dipotong enam bulan. Terus setelah itu, aku nggak lagi kerja di bareskrim, tapi dipindah ke lalu lintas."
Sekali lagi, keheningan menyelimuti ruangan. Kali ini diiringi dengan suara gelas Mbak Sinta yang jatuh ke lantai, untungnya nggak pecah. Bu Ratmi spontan mengucap, "Astaghfirullah!" disusul oleh Pak Komar yang refleks mengangkat tangan ke kepala.
"Kamu... dipindah ke lalu lintas?" suara Bu Ratmi bergetar. "Yang di pinggir jalan itu, Nak? Yang harus berdiri lama-lama di panas?"
"Iya, Bu," jawab Arga dengan nada pasrah. "Yang di pinggir jalan itu."
Pak Komar menghela napas panjang, lalu meraih segelas teh di meja. "Nak, Bapak ini bukan merendahkan kerjaan lalu lintas, ya. Tapi dari investigasi kriminal ke ngatur macet... ini kan kayak dari detektif ke tukang parkir. Kamu yakin?"
Mbak Sinta yang sejak tadi terdiam akhirnya angkat bicara. "Arga, kamu ngapain sampe di-skors? Jangan-jangan kamu nabrak mobil atasan, ya? Atau bikin kasus salah tangkap lagi kayak waktu itu?"
Arga hanya menatap Mbak Sinta dengan lelah. "Aku mukul atasan, Mbak. Gara-gara dia fitnah Pak Gunawan."
Seketika semua orang di ruangan itu mengucap "Astaghfirullah!" bersamaan, seperti paduan suara dadakan.
"Astaghfirullah, Arga! Mukul atasan? Kamu pikir ini sinetron laga?" seru Mbak Sinta sambil memelototinya. "Kamu tuh polisi, bukan preman pasar!"
Bu Ratmi memegang kepala dengan kedua tangannya. "Ya Allah... Kenapa anakku ini begini, Pak? Ini kerja keras kita selama bertahun-tahun nyekolahin dia jadi sia-sia!"
Pak Komar, yang biasanya lebih tenang, kali ini juga ikut frustrasi. "Arga, kamu nggak bisa mikir panjang, ya? Mukul atasan tuh sama aja cari mati! Lagian, kamu tuh polisi. Masa kalah sama emosi?"
Arga hanya tertunduk. "Aku nggak tahan, Pak, Bu. Dia fitnah Pak Gunawan, orang yang selalu ngajarin aku jadi polisi jujur."
Pak Komar menatapnya dengan tajam. "Nak, jadi polisi jujur itu penting, tapi jangan bodoh juga. Kamu tuh harus belajar main strategi, bukan main tangan. Kalau kamu terus begini, cita-cita kamu jadi kepala polisi cuma tinggal angan-angan!"
Mbak Sinta hanya mendengus. "Cita-cita jadi kepala polisi? Lha, jadi kepala pos lantas aja udah untung!"
Arga hanya menghela napas panjang, mencoba meredam emosi. Sementara itu, Bu Ratmi tiba-tiba berdiri dan masuk ke dapur. Saat kembali, dia membawa sepiring nasi goreng.
"Udah, makan dulu, Nak," katanya lembut, tapi nadanya tetap penuh teguran. "Perut kenyang, otak waras. Nanti kita pikirin bareng-bareng gimana kamu bisa bangkit lagi."
Arga menatap nasi goreng itu dengan ekspresi bingung. Tapi akhirnya dia tersenyum kecil. "Iya, Bu. Makasih."
Mbak Sinta hanya menggeleng sambil bergumam. "Habis ini aku bikin grup keluarga di WhatsApp. Kalau Arga bikin ulah lagi, langsung aku tag di grup!"
...****************...