Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Pengkhianatan di Balik Istana
Matahari pagi bersinar lembut di atas Istana Lumina, tetapi suasana hati Radena tetap gelap. Ia berdiri di balkon kamarnya, buku Astralis terbuka di depannya. Teks dalam buku itu mengungkapkan lebih banyak misteri daripada jawaban, tetapi satu hal sudah pasti: sihir yang ia miliki, yang selama ini ia anggap sebagai beban, tampaknya memiliki hubungan dengan legenda tersebut.
Namun, pertanyaan terbesar masih menggantung di pikirannya: mengapa Frieden, seorang petualang yang entah dari mana, juga mencari Astralis? Dan lebih penting lagi, apakah ia bisa mempercayainya?
Ketukan lembut di pintu membuyarkan pikirannya.
“Masuk,” katanya tanpa berpaling.
Lady Melya melangkah masuk, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. “Yang Mulia, Raja Altheron ingin berbicara dengan Anda di ruang singgasana.”
Radena menghela napas, menutup buku itu dan meletakkannya di meja. “Apa yang ingin ayahku bahas kali ini? Tentang bagaimana aku tidak menjadi pewaris yang patuh?”
Melya ragu sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu, Yang Mulia. Tapi suasananya terasa... tegang.”
Radena menangkap nada cemas dalam suara Melya. Itu cukup untuk membuatnya berhati-hati.
Di ruang singgasana, Raja Altheron duduk dengan tegak di atas tahtanya, mengenakan jubah emas yang mencerminkan statusnya sebagai penguasa sihir terbesar di dunia. Wajahnya yang penuh kerut memperlihatkan ekspresi yang sulit ditebak.
Di depannya berdiri Lord Varion, penasihat kerajaan yang paling setia—atau begitulah ia dikenal. Radena tidak pernah menyukai pria itu. Senyumnya terlalu licik, dan cara dia berbicara seperti ular yang merayap di atas daun kering.
“Radena,” Raja Altheron memanggilnya ketika ia memasuki ruangan. Suaranya berat dan penuh wibawa. “Aku mendengar laporan bahwa kau menyelinap ke Perpustakaan Kuno tadi malam.”
Jantung Radena berdebar, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut. “Aku hanya mencari jawaban, Ayah. Ada sesuatu yang penting tentang sihir—dan tentang mimpi-mimpi yang aku alami.”
Raja Altheron mengernyit. “Mimpi? Lagi-lagi mimpi? Radena, kau tidak bisa terus-menerus membenarkan tindakannya dengan omong kosong seperti itu.”
Radena maju selangkah, tatapannya tajam. “Ini bukan omong kosong! Aku melihat sesuatu—atau seseorang—yang mengancam kita semua. Sihir di dalam diriku, di dunia ini, sedang terganggu.”
Lord Varion berbicara sebelum Raja sempat menjawab. “Yang Mulia, mungkin Putri Radena hanya butuh waktu untuk memahami tanggung jawabnya. Usianya masih muda.”
Radena memutar matanya. “Tanggung jawab apa yang kau maksud, Varion? Duduk diam sementara dunia di luar istana ini mulai runtuh?”
Varion tersenyum tipis. “Dunia ini aman di bawah perlindungan Raja Altheron. Apa yang terjadi di luar hanyalah kekacauan kecil yang tidak layak mendapatkan perhatian kita.”
“Tapi itu salah!” Radena membantah. “Aku membaca tentang Astralis. Jika senjata itu ada, kita perlu menemukannya sebelum jatuh ke tangan yang salah.”
Wajah Raja Altheron berubah muram. “Astralis hanyalah legenda. Kau seharusnya tidak menyibukkan dirimu dengan hal-hal seperti itu.”
Radena ingin membalas, tetapi sesuatu di dalam dirinya menahan. Ia menatap ayahnya dengan curiga. Bagaimana mungkin Raja Aelderia, yang tahu lebih banyak tentang sihir daripada siapa pun, bisa mengabaikan sesuatu yang sebesar ini?
Di Balik Tirai
Malamnya, Radena tidak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan ayahnya dan Varion. Ia merasa ada yang disembunyikan darinya. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk mencari jawaban, kali ini di ruang kerja Lord Varion.
Menjelang tengah malam, ia menyelinap keluar dari kamarnya, mengenakan jubah gelap untuk menyamarkan dirinya. Lorong istana sepi, hanya diterangi obor yang bergoyang tertiup angin.
Ketika ia tiba di depan pintu ruang kerja Varion, ia mengeluarkan tongkat sihirnya dan membisikkan mantra pelan, “Silentium.” Sebuah lapisan keheningan menyelimuti ruangan itu, memastikan bahwa tidak ada yang akan mendengar apa yang terjadi di dalam.
Pintu itu terkunci, tetapi Radena sudah memperkirakan hal itu. Dengan gerakan cepat, ia melantunkan mantra pembuka kunci: “Aperio.”
Suara klik pelan terdengar, dan pintu terbuka.
Di dalam, ruangan itu dipenuhi rak-rak buku dan dokumen yang tertata rapi. Meja besar di tengah ruangan tampak menjadi pusat perhatian, dengan peta dunia yang terbentang di atasnya. Namun, yang menarik perhatian Radena adalah sebuah gulungan kertas tua yang disimpan di bawah kaca.
Ia melangkah mendekat, membungkuk untuk membaca tulisan di atas gulungan itu.
“Astralis: Lokasi dan Kunci.”
Radena terkejut. Jadi Varion tahu tentang senjata itu—dan mungkin bahkan lebih dari yang ia akui.
Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di luar ruangan.
“Siapa di sana?”
Radena membeku. Itu suara Varion. Dengan cepat, ia memadamkan tongkat sihirnya dan bersembunyi di balik rak buku.
Varion masuk ke dalam ruangan dengan obor di tangannya, matanya memindai setiap sudut. Wajahnya terlihat lebih gelap di bawah cahaya obor, seperti topeng seseorang yang menyimpan rahasia kelam.
“Tidak ada yang boleh tahu tentang ini,” gumam Varion pada dirinya sendiri, mengambil gulungan kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.
Radena menggigit bibirnya, menahan rasa marah. Apa sebenarnya rencana pria ini?
Ketika Varion keluar dari ruangan, Radena menunggu beberapa detik sebelum akhirnya menyelinap keluar juga.
Ia kembali ke kamarnya dengan kepala penuh pikiran. Jelas bahwa Varion tahu lebih banyak tentang Astralis daripada yang ia akui. Dan jika ia benar-benar menyembunyikan sesuatu, maka Radena tidak bisa mempercayai siapa pun di istana ini—bahkan mungkin tidak juga ayahnya.
Namun, satu hal yang pasti: ia membutuhkan sekutu. Dan entah mengapa, pikirannya langsung tertuju pada Frieden.
Lady Melya melangkah masuk, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. “Yang Mulia, Raja Altheron ingin berbicara dengan Anda di ruang singgasana.”
Radena menghela napas, menutup buku itu dan meletakkannya di meja. “Apa yang ingin ayahku bahas kali ini? Tentang bagaimana aku tidak menjadi pewaris yang patuh?”
Melya ragu sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu, Yang Mulia. Tapi suasananya terasa... tegang.”
Radena menangkap nada cemas dalam suara Melya. Itu cukup untuk membuatnya berhati-hati.
Di ruang singgasana, Raja Altheron duduk dengan tegak di atas tahtanya, mengenakan jubah emas yang mencerminkan statusnya sebagai penguasa sihir terbesar di dunia. Wajahnya yang penuh kerut memperlihatkan ekspresi yang sulit ditebak.
Di depannya berdiri Lord Varion, penasihat kerajaan yang paling setia—atau begitulah ia dikenal. Radena tidak pernah menyukai pria itu. Senyumnya terlalu licik, dan cara dia berbicara seperti ular yang merayap di atas daun kering.
“Radena,” Raja Altheron memanggilnya ketika ia memasuki ruangan. Suaranya berat dan penuh wibawa. “Aku mendengar laporan bahwa kau menyelinap ke Perpustakaan Kuno tadi malam.”
Jantung Radena berdebar, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut. “Aku hanya mencari jawaban, Ayah. Ada sesuatu yang penting tentang sihir—dan tentang mimpi-mimpi yang aku alami.”
Raja Altheron mengernyit. “Mimpi? Lagi-lagi mimpi? Radena, kau tidak bisa terus-menerus membenarkan tindakannya dengan omong kosong seperti itu.”
Radena maju selangkah, tatapannya tajam. “Ini bukan omong kosong! Aku melihat sesuatu—atau seseorang—yang mengancam kita semua. Sihir di dalam diriku, di dunia ini, sedang terganggu.”
Lord Varion berbicara sebelum Raja sempat menjawab. “Yang Mulia, mungkin Putri Radena hanya butuh waktu untuk memahami tanggung jawabnya. Usianya masih muda.”
Radena memutar matanya. “Tanggung jawab apa yang kau maksud, Varion? Duduk diam sementara dunia di luar istana ini mulai runtuh?”
Varion tersenyum tipis. “Dunia ini aman di bawah perlindungan Raja Altheron. Apa yang terjadi di luar hanyalah kekacauan kecil yang tidak layak mendapatkan perhatian kita.”
“Tapi itu salah!” Radena membantah. “Aku membaca tentang Astralis. Jika senjata itu ada, kita perlu menemukannya sebelum jatuh ke tangan yang salah.”
Wajah Raja Altheron berubah muram. “Astralis hanyalah legenda. Kau seharusnya tidak menyibukkan dirimu dengan hal-hal seperti itu.”
Radena ingin membalas, tetapi sesuatu di dalam dirinya menahan. Ia menatap ayahnya dengan curiga. Bagaimana mungkin Raja Aelderia, yang tahu lebih banyak tentang sihir daripada siapa pun, bisa mengabaikan sesuatu yang sebesar ini?
Di Balik Tirai
Malamnya, Radena tidak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan ayahnya dan Varion. Ia merasa ada yang disembunyikan darinya. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk mencari jawaban, kali ini di ruang kerja Lord Varion.
Menjelang tengah malam, ia menyelinap keluar dari kamarnya, mengenakan jubah gelap untuk menyamarkan dirinya. Lorong istana sepi, hanya diterangi obor yang bergoyang tertiup angin.
Ketika ia tiba di depan pintu ruang kerja Varion, ia mengeluarkan tongkat sihirnya dan membisikkan mantra pelan, “Silentium.” Sebuah lapisan keheningan menyelimuti ruangan itu, memastikan bahwa tidak ada yang akan mendengar apa yang terjadi di dalam.
Pintu itu terkunci, tetapi Radena sudah memperkirakan hal itu. Dengan gerakan cepat, ia melantunkan mantra pembuka kunci: “Aperio.”
Suara klik pelan terdengar, dan pintu terbuka.
Di dalam, ruangan itu dipenuhi rak-rak buku dan dokumen yang tertata rapi. Meja besar di tengah ruangan tampak menjadi pusat perhatian, dengan peta dunia yang terbentang di atasnya. Namun, yang menarik perhatian Radena adalah sebuah gulungan kertas tua yang disimpan di bawah kaca.
Ia melangkah mendekat, membungkuk untuk membaca tulisan di atas gulungan itu.
“Astralis: Lokasi dan Kunci.”
Radena terkejut. Jadi Varion tahu tentang senjata itu—dan mungkin bahkan lebih dari yang ia akui.
Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di luar ruangan.
“Siapa di sana?”
Radena membeku. Itu suara Varion. Dengan cepat, ia memadamkan tongkat sihirnya dan bersembunyi di balik rak buku.
Varion masuk ke dalam ruangan dengan obor di tangannya, matanya memindai setiap sudut. Wajahnya terlihat lebih gelap di bawah cahaya obor, seperti topeng seseorang yang menyimpan rahasia kelam.
“Tidak ada yang boleh tahu tentang ini,” gumam Varion pada dirinya sendiri, mengambil gulungan kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.
Radena menggigit bibirnya, menahan rasa marah. Apa sebenarnya rencana pria ini?
Ketika Varion keluar dari ruangan, Radena menunggu beberapa detik sebelum akhirnya menyelinap keluar juga.
Ia kembali ke kamarnya dengan kepala penuh pikiran. Jelas bahwa Varion tahu lebih banyak tentang Astralis daripada yang ia akui. Dan jika ia benar-benar menyembunyikan sesuatu, maka Radena tidak bisa mempercayai siapa pun di istana ini—bahkan mungkin tidak juga ayahnya.
Namun, satu hal yang pasti: ia membutuhkan sekutu. Dan entah mengapa, pikirannya langsung tertuju pada Frieden.