Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Terabaikan
Rara Maharani Putri berdiri di depan gerbang megah kediaman Wijaya, rumah yang pernah ia sebut sebagai "rumah", meski lebih sering terasa seperti penjara. Kali ini, ia tidak datang sebagai gadis yang takut dan tertekan. Ia datang untuk menuntut haknya. haknya sebagai anak kandung Rendra Wijaya dan bagian dari keluarga yang selama ini mengabaikannya.
Dengan langkah mantap, Rara mengetuk pintu besar itu. Seorang pelayan membukakan pintu dan terkejut melihat Rara berdiri di sana. “Nona Rara? Anda kembali?” tanyanya ragu.
“Aku ingin bertemu Ayah,” jawab Rara tegas, suaranya tanpa ragu.
Pelayan itu tampak bingung. “Maaf, Pak Rendra sedang tidak di rumah. Beliau ada pertemuan bisnis keluar kota. Besok baru kembali.”
Rara mengepalkan tangannya. Ia sudah mempersiapkan diri untuk konfrontasi itu, tetapi sekarang ia harus menunggu. “Kalau begitu, aku akan menunggu di sini. Ini rumahku juga, bukan?”
Pelayan itu tak berani menolak. Dengan enggan, ia mempersilakan Rara masuk. Rumah itu tak banyak berubah sejak terakhir kali ia pergi, tetapi kini Rara melihatnya dengan mata yang berbeda. Bukan rasa takut yang menyelimuti dirinya, melainkan tekad.
Kartika Wijaya, ibu tirinya, muncul dari lantai atas dengan ekspresi kaget bercampur tidak suka. “Rara? Apa yang kau lakukan di sini?Bukankah kau senang hidup di luar sana” tanyanya tajam.
Rara menatap Kartika dengan tenang. “Aku kembali untuk mengambil hakku sebagai anak kandung Ayah. Sebagai pewaris sah Wijaya group.”
Kartika tertawa sinis. “Hakmu? Kau bahkan tidak pernah dianggap penting oleh Ayahmu. Untuk apa kau mengklaim sesuatu yang bukan milikmu?”
Namun, kali ini Rara tidak terpengaruh oleh kata-kata Kartika. “Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan. Aku adalah anak kandung Rendra Wijaya, dan aku memiliki hak atas perusahaan itu. Kau tidak bisa menyingkirkan ku begitu saja.”
Kartika hendak membalas, tetapi suara langkah berat Rani, saudari tirinya, menghentikan percakapan mereka. “Ada apa ini? Kenapa dia di sini?” tanyanya dingin.
“Rani, aku tidak ingin berdebat. Aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tidak akan pergi sampai Ayah kembali. Aku akan bicara langsung dengannya,” kata Rara dengan tegas.
Rani memandangnya dengan tajam, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa jika Rara benar-benar memutuskan untuk kembali, situasinya bisa menjadi rumit.
Rara naik ke kamarnya yang dulu, yang entah bagaimana masih tampak utuh meski sudah lama tidak dihuni. Ia duduk di tepi tempat tidur, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu ini baru awal dari perjuangannya, tetapi ia bertekad untuk tidak mundur.
Di dalam dirinya, Rara merasa ada api yang menyala. api keberanian dan tekad untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ketika Rendra akhirnya kembali, ia akan menghadapi ayahnya, bukan sebagai gadis yang lemah, tetapi sebagai wanita yang siap menuntut tempatnya di dunia.
Setelah lama melamun dilamarnya, Rara turun kebawah dan melangkahkan kaki ke halaman besar kediaman Wijaya, ingatan masa kecilnya kembali menyeruak. Rumah besar itu selalu terasa dingin, tetapi ada satu sosok yang membuatnya merasa hangat di masa lalu yakni Bi Inah, pembantu rumah tangga yang selalu merawatnya dengan penuh kasih, bahkan ketika keluarganya mengabaikannya.
Rara mengetuk pintu rumah tempat dimana para pelayan tinggal, berharap menemukan keberanian yang sudah ia kumpulkan selama perjalanan. Tak lama, pintu terbuka, dan di sana berdiri seorang wanita tua dengan rambut yang mulai memutih dan wajah penuh kehangatan.
“Rara...?” suara Bi Inah terdengar bergetar, matanya melebar seolah tak percaya dengan siapa yang berdiri di depannya.
“Bi...” Rara tersenyum kecil, suaranya nyaris tercekat.
Bi Inah langsung memeluknya erat, tanpa memedulikan sopan santun atau protokol rumah mewah itu. “Ya Allah, Nak Rara. Kamu kembali! Bi Inah pikir kamu nggak akan pernah balik lagi ke rumah ini,” katanya sambil menangis bahagia.
Pelukan itu membuat Rara merasa aman, sesuatu yang jarang ia rasakan di rumah ini. Ia menepuk punggung Bi Inah pelan. “Aku juga ragu untuk kembali, Bi. Tapi aku harus melakukan ini.”
Bi Inah melepaskan pelukannya dan memandang wajah Rara dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Nak? Apa yang membuatmu kembali ke tempat ini?”
Rara menghela napas dalam. “Aku harus bertemu Ayah. Aku ingin menuntut hakku sebagai anaknya. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang, Bi. Ini saatnya aku berdiri untuk diriku sendiri.”
Mata Bi Inah berkaca-kaca. “Kamu memang selalu kuat, Nak Rara. Tapi hati-hati, ya. Orang-orang di sini... mereka tidak semuanya berpihak padamu. Bi Inah selalu mendoakan kamu, tapi hati-hati sama nyonya dan anaknya.”
Rara tersenyum lemah. “Aku tahu, Bi. Tapi aku sudah siap. Kali ini, aku tidak akan lari lagi.”
Bi Inah menggenggam tangan Rara erat, seolah memberikan kekuatan melalui sentuhannya. “Kalau ada apa-apa, Bi Inah di sini buat kamu, Nak. Kamu selalu seperti anak Bi sendiri. Kalau kamu butuh bantuan, panggil Bi.”
Rara merasa matanya mulai panas, tetapi ia menahan air matanya. Kehangatan dan dukungan Bi Inah menguatkan tekadnya. Meskipun ia tahu jalan yang akan dihadapinya penuh rintangan, ia merasa tidak sendirian lagi.
Malam itu, Rara tinggal di rumah besar itu, ditemani Bi Inah yang memastikan dirinya merasa nyaman. Di kamar kecil pembantu, mereka berbagi cerita, mengingat masa lalu, dan membicarakan langkah ke depan. Dalam hati, Rara merasa bahwa meskipun ia kembali untuk menuntut haknya, ia juga menemukan kembali satu hal yang hilang seorang sosok yang mencintainya tanpa syarat.