Silva, Marco dan Alex menjalin persahabatan sejak kelas 10. Namun, saat Silva dan Marco jadian, semuanya berubah. Termasuk Alex yang berubah dan selalu berusaha merusak hubungan keduanya.
Seiring berjalannya waktu, Alex perlahan melupakan sejenak perasaan yang tidak terbalaskan pada Silva dan fokus untuk kuliah, lalu meniti karir, sampai nanti dia sukses dan berharap Silva akan jatuh ke pelukannya.
Akankah Silva tetap bersama Marco kelak? Atau justru akan berpaling pada Alex? Simak selengkapnya disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pendekar Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19 (Tanpa Kabar)
Mobil Zea yang dikemudikan oleh Marco, meninggalkan area parkiran mall dan langsung menuju ke rumah Zea, karena sore nanti Zea ada latihan tennis dan dia tidak mau terlambat karena akan menjadi penilaian buruk baginya. Apalagi ini adalah penentuan siapa yang akan mewakili sekolahnya pada turnamen tenis antar SMA.
"Oh iya, Ze, aku mau kerumah pacar aku, mau ambil motor, soalnya tadi waktu ke mall bareng sama dia" kata Marco.
"Oke, tapi, kamu langsung kerumahku yah, biar menghemat waktu gitu, kalau misalkan balik kerumahmu lagi, nanti macet atau apa gitu, aku telat latihannya lagi" pinta Zea.
"Siap, nona Zea, hehehe..." Marco memberi hormat pada Zea sambil tertawa. Zea hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Selang beberapa saat, mobil Zea berhenti di depan sebuah rumah bercat abu-abu dengan pagar berwarna putih yang menjulang tinggi, yang merupakan rumah Silva. Marco pun turun dari mobil Zea dan memencet bel yang terpasang di tembok pagar. Sementara Zea bergegas pulang kerumahnya. Tak berapa lama, seseorang keluar dan membuka pintu pagar.
"Loh, den Marco kok sendirian aja? Non Silva, non Hilda sama non Flea mana? Kenapa gak bareng mereka?" Tanya bi Leli ART dirumah Silva.
"Iya, bi, mereka bertiga masih di mall, aku pulang duluan soalnya ada urusan yang harus aku selesaikan, makanya aku kesini mau ambil motorku, bi" Marco beralasan. Tentu saja dia tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi saat di mall. Bi Leli pun membuka pintu pagar dan Marco langsung mengambil motor miliknya yang dia parkir di garasi.
"Ya udah, bi, aku pamit yah, kalau nanti Silva pulang, bilang aku udah ambil motorku yah" pesan Marco. Bi Leli hanya mengangguk.
Setelahnya, Marco pun melajukan motornya perlahan menuju rumah Zea, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Silva.
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan, Marco sudah sampai di rumah Zea. Secara kebetulan, Zea pun baru turun dari mobilnya, yang menandakan bahwa Zea juga baru sampai dirumahnya.
"Eh, Marco, kamu udah nyampe aja, cepat banget sih" kata Zea.
"Iya, aku kan bawa motor, jadi bisa lewat jalan pintas, jadinya cepat sampai, kalau kamu kan naik mobil, otomatis harus lewat jalan besar, susah kalau mau lewat jalan pintas, jalannya sempit" terang Marco. Zea hanya mengangguk saja.
"Ya udah, yuk, masuk" ajak Zea seraya membuka pintu rumahnya. Marco mengikuti langkah Zea sambil membantu membawa belanjaannya.
"Ze, kamu jago pasti main tennis yah?" Tanya Marco.
"Kalau gak jago, gak mungkin kamu sampai ikut turnamen antar SMA" lanjut Marco yang memuji Zea.
"Gak juga kok, malahan aku masih amatiran, tapi, dengan rajin latihan perlahan aku bisa menguasai beberapa tehnik bermain yang diajarkan, akhirnya aku ikut turnamen ini deh, buat pengalaman aja" Zea tetap merendah.
"Karena aku punya cita-cita pengen jadi atlet tennis profesional seperti idolaku, Elina Svitolina" lanjut Zea.
"Aku doakan semoga apa yang kamu cita-citakan itu bisa tercapai yah" kata Marco.
"Amiiin...." Zea mengaminkan perkataan Marco.
......
Silva dan juga kedua sahabatnya memutuskan untuk kembali ke rumah Silva. Silva mengemudikan mobilnya dalam keadaan kesal dengan Alex. Hilda dan Flea memperingatkan Silva agar tetap fokus menyetir dan jangan sampai terbawa emosi karena rasa kesal yang dirasakan akibat perbuatan Alex tadi sewaktu di bioskop.
"Sil, kamu nyetirnya yang tenang dong, jangan kebawa emosi, aku tahu kamu kesal karena kejadian tadi, tapi, kalau kayak gini membahayakan kita juga loh" kata Hilda.
"Iya, Sil, kamu jangan gegabah, kamu harus tetap tenang, biar kita bisa sampai di rumahmu dengan selamat" Flea menimpali.
Silva pun menuruti perkataan dari kedua sahabatnya itu dan mencoba untuk tenang mengemudikan mobilnya, agar terhindar dari hal buruk yang bisa saja dialaminya.
30 menit kemudian, mereka pun sampai dirumah Silva. Flea dan Hilda bernafas lega karena mereka sampai dengan keadaan selamat dan tidak terjadi apapun. Silva membunyikan klakson mobilnya.
Bi Leli yang mendengarnya langsung berlari keluar dan membuka pintu pagar untuk anak majikannya itu. Silva pun masuk dan memarkirkan mobilnya di halaman.
"Bi, Marco udah ambil motonya belum kesini?" Tanya Silva saat baru keluar dari mobil.
"Udah, non, setengah jam yang lalu den Marco kesini ambil motornya, katanya dia sudah bilang sama non Silva untuk pulang duluan karena ada urusan yang harus diselesaikan" terang bi Leli, seperti yang dikatakan oleh Marco tadi.
"Ya udah, bi, makasih yah" jawab Silva. Bi Leli hanya mengangguk, lalu beranjak masuk kedalam rumah.
Silva, Hilda dan Flea melangkah masuk kedalam rumah dengan membawa belanjaan mereka masing-masing yang diturunkan dari mobil.
"Aku lihat dong, kamu beli apa sih tadi?" Tanya Hilda dan membuka isi kantong belanjaan milik Flea.
"Aku cuma beli celana panjang aja, kamu sendiri beli apa?" Flea berbalik bertanya, penasaran dengan belanjaan Hilda.
"Nih...." Hilda pun menunjukkan isi kantong belanjaannya. Kedua gadis itu sibuk dengan belanjaan yang mereka beli tadi. Sementara Silva sibuk mondar mandir sambil menempelkan handphonenya di telinganya, yang terus berusaha menelpon seseorang, tapi, seseorang yang dihubunginya tak kunjung menjawab panggilan dari Silva.
"Sil, kamu ngapain sih, mondar mandir terus dari tadi, ada apa?" Tanya Flea yang memperhatikan Silva. Namun Silva justru tidak menggubrisnya dan tetap sibuk menelpon.
"Duh, gimana ini udah berapa kali aku telpon, tapi, gak dijawab juga" Silva terlihat begitu gelisah.
"Sil, kamu nelpon siapa sih, kok gelisah banget gitu?" Flea kembali bertanya.
"Marco lah, siapa lagi coba!" Jawab Silva dengan agak lantang.
"Kok ngegas sih, Sil, biasa aja dong jawabnya. Aku tahu kamu kesal karena Marco gak jawab panggilan dari kamu, tapi, jangan lampiaskan ke aku juga kali" protes Flea.
"Eh, sorry, Fle, aku gak maksud" Silva langsung meminta maaf pada sahabatnya itu.
"Aku bingung nih, Fle, Da, Marco aku hubungi gak dijawab, gak biasanya dia seperti ini, kalau aku nelpon dia pasti langsung dijawab" Silva kini merengut.
"Apa jangan-jangan Marco marah lagi gara-gara kejadian tadi waktu di mall" tebak Hilda.
"Iya, bisa jadi tuh, Sil, kalau gak, gak mungkin dia buru-buru pergi gitu aja kan, dengan alasan ada urusan, fix itu marah si Marco" Flea menimpali.
"Terus aku harus gimana dong ini?" Tanya Silva dengan wajah cemberutnya.
"Kamu kerumahnya aja langsung, terus kamu jelaskan semua sama dia dan bilang aja yang sebenarnya, aku yakin Marco bakal ngerti kok" saran Flea.
"Kalau dia gak dengerin penjelasan aku, gimana" kata Silva lagi, yang merasa pesimis kalau saran dari Flea itu berhasil.
"Belum juga dicoba, Sil, udah langsung pesimis gitu, coba aja dulu" celetuk Hilda.
"Iya, benar tuh, dicoba dulu aja, baru bisa tahu hasilnya" Flea membenarkan ucapan Hilda. Silva menghela nafas dan akan mencoba mengikuti saran dari sahabatnya itu.
"Ya udah, kita berdua pamit yah, Sil, makasih loh untuk hari ini" Hilda pun berpamitan pada Silva.
"Iya, Sil, aku juga makasih udah ditraktir, dibelanjain pula" kata Flea. Flea dan Hilda pun beranjak pergi dari rumah Silva.