(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Alasan
Sudah seminggu lebih Erga susah tidur, entah mengapa matanya enggan terpejam. Erga hanya bisa tidur ketika waktu menunjukkan 2-3 dini hari. Sebenarnya Erga tidak mengerti dengan dirinya, mengapa ia jadi sudah tidur belakangan ini? Yang terpikirkan olehnya adalah setiap kali ingin tidur seolah ada sesuatu hal yang menghalanginya.
Belum lagi nafsu makan Erga yang berkurang setiap harinya. Meskipun setiap hari neneknya membuat sarapan, ia selalu memuntahkannya hingga perutnya merasa lega. Paling tidak Erga hanya makan 1 kali sehari, itu pun jika ia benar-benar ingin makan. Jika tidak berselera maka Erga seharian tidak akan makan, tak peduli dengan perutnya yang keroncongan.
Akhir-akhir ini pun Erga merasakan kepalanya sedikit pusing, kadang merasa sangat kelelahan juga. Maka dari itu Erga memutuskan untuk keluar dari Club Buku dan memilih eskul bulu tangkis. Yah, memang eskul bulu tangkis lebih melelahkan ketimbang Club Buku. Tapi, Erga senang menjalaninya. Selain karena kondisi fisiknya terasa lemah, Erga juga sedang tidak ingin berurusan dengan Ameeza. Perempuan cerewet itu terlalu banyak bicara dan kepo. Meski ia sedikit tak faham dengan tingkah Ameeza yang mendadak seolah mengkhawatirkannya.
Lalu soal ia yang membolos pelajaran pagi itu, Erga hanya ikut-ikutan saja. Awalnya Erga memang menolak, tapi entah dorongan dari mana akhirnya Erga mau ikut. Yang terpikirkan di kepalanya saat itu adalah 'Ingin melepas penat' tapi begitu Ameeza memergokinya dan teman-teman lainnya, perempuan itu seakan benar-benar menganggap Erga adalah berandalan sekolah. Ia jadi benci akan tatapan tajam yang tersirat peduli itu.
Erga menatap lama jam tangan hitam yang memang sudah tidak bagus lagi, melihat jam tangan ini membuatnya bernostalgia lagi. Matanya terpejam sesaat, sebelum suara jeritan dan teriakan yang menyerukan nama Ameeza membuat Erga membuka mata sepenuhnya.
Erga tetap tak acuh dengan itu, ia memilih berjalan mendekati loker kelas 10 yang tak jauh dari situ. Erga meletakkan sesuatu di lokernya lantas menutup dan menguncinya kembali.
Disaat yang bersamaan ketika Erga akan keluar dari tempat loker kelas 10, Ameeza dengan posisi badan menyamping tanpa di duga berbelok secara mendadak ke tempat loker kelas 10 yang membuat keduanya tak sempat mengerem kaki masing-masing dan berakhir keduanya bertabrakan dan jatuh.
Oke, jangan membayangkan adegan romantis atau apapun. Sebab keduanya jatuh bersamaan dengan posisi Erga yang berbaring berada di bawah dan Ameeza yang berada di atas dengan posisi duduk tepat di perut Erga.
Mendengar suara teriakan para perempuan yang mengejarnya terdengar semakin jelas membuat keduanya tersadar. Ameeza buru-buru berdiri, lantas bersembunyi di balik loker yang terletak paling ujung. Sedangkan Erga tak mampu berdiri, ia hanya bisa duduk dengan bersandar pada loker di belakangnya. Perutnya masih terasa sakit.
Suara derap langkah itu berhenti tepat di samping Erga. "Eh ... lo lihat Ameeza gak? Cewek kelas 10 MIPA 2, adiknya Angga sama Izzi?"
Kepala Erga tertoleh sebentar pada segerombol perempuan yang nampak menunggu jawaban darinya. Erga hanya merespon dengan menggeleng.
"Oke, deh."
Segerombol perempuan tersebut sudah hilang. Ameeza keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Erga yang masih terduduk. Ameeza sedikit membungkukkan badannya. "Sakit banget?"
Pertanyaan dari Ameeza tak mendapat respon. Erga berdiri dari duduknya melewati Ameeza yang hanya bisa menahan kesal.
Ameeza melirik jam tangannya, ternyata masih pagi. Jadi, kesempatan untuknya agar bisa mengamuk sepuasnya. Tanpa basa-basi Ameeza melangkah dengan lebar mendekati Erga, ia lantas menarik Erga kembali ke tempat loker kelas 10 secara paksa. Namun, Erga memberontak dengan menepis tangan Ameeza. Kesabarannya seakan benar-benar diuji, Ameeza benar-benar emosi. Ia berniat menarik lengan kanan Erga, namun hasilnya justru Ameeza tanpa sengaja menarik tas Erga yang disandang di pundak sebelah kanan. Hingga tas tersebut terpental cukup jauh.
Erga berbalik bersamaan dengan Ameeza yang berlari mendekati sebuah kertas yang tak jauh dari tas laki-laki itu.
"Surat pengunduran diri?" tanya Ameeza menatap Erga dengan tatapan sulit diartikan.
Erga mengambil tasnya yang ada di lantai dan merebut kertas yang ada digenggaman Ameeza.
...-oOo-...
Semburat jingga muncul bersamaan dengan Erga yang keluar dari salah satu ruangan. Kepala Ameeza refleks memandang Erga yang keluar dari ruangan itu, yah ruangan Bahar, ayahnya Ameeza.
Ketika Erga sampai di meja, dia duduk di sebrang Ameeza. Laki-laki itu hanya membisu seakan ia tidak perlu berbicara satu patah katapun. Seolah harus Ameeza yang memulai pembicaraan. Dan yah memang Ameeza lah yang meminta Erga untuk bertemu di Cafe ElBa dan membicarakan alasan Ameeza peduli dengan Erga. Tapi, setidaknya apa salahnya sih untuk memulai duluan bicara. Sifat Erga yang tertutup, enggan bicara panjang dan senang menggunakan isyarat ketimbang berbicara langsung sangat menjengkelkan menurut Ameeza.
Oke, lupakan soal kebiasaan Erga yang amat dibenci Ameeza. Perempuan yang selalu mencepol rambutnya itu mengaduk Ice Blend Coffee yang tersisa setengah. Sesekali ia menyedotnya sedikit-sedikit meredakan kerongkongannya yang terasa kering dan meredam gejolak emosi yang berapi-api di dalam dirinya. Tahu sendiri apalah yang membuat Ameeza emosi. Yah, sikap Erga.
Tatapan Ameeza dan Erga saling bertumbuk tanpa sengaja, meski beberapa detik kemudian keduanya saling memalingkan muka ke arah yang berlawanan. Ameeza memandang pemandangan jalan raya yang terlihat jelas hanya terhalang kaca Cafe saja. Sedangkan Erga, ia menatap aktivitas orang-orang di dalam Cafe.
"Lo ngundurin diri dari sini?" tanya Ameeza akhirnya meski tatapannya tak mengarah pada Erga yang kini menunduk menatapi kakinya.
Tak mendengar adanya respon apapun, Ameeza menoleh. Menyorot Erga dengan tatapan kesal. Namun, sedetik kemudian ia menetralkan kembali amarahnya dengan menghembuskan nafas pelan. "Jawab," kata Ameeza dengan sedikit penekanan.
Erga hanya mengangguk.
Emosi Ameeza lagi-lagi mendidih melihat bagaimana respon Erga. Lagi dan lagi laki-laki di hadapannya ini bertingkah layaknya orang bisu. Ameeza jadi geram sendiri. Mengajak bicara orang semacam Erga yang hanya akan membuatnya naik darah. Ameeza hanya heran, kemana kiranya sikap Erga yang di rooftop? Dimana dengan beraninya laki-laki yang menepis tangannya kasar dan berbicara hal yang mengejutkan? Apakah hanya hari itu? Apakah hanya saat laki-laki itu terdesak barulah ia mau bersuara? Entahlah.
"Lo gak penasaran sama apa yang mau gue omongin?" pancing Ameeza sukses membuat kepala Erga yang semula menunduk jadi mendongak.
"Alasan itu," ucap Erga sangat pelan namun masih terdengar sampai ke telinga Ameeza.
Ameeza menyandarkan tubuhnya. Menyugar poninya yang sepanjang dagu ke belakang. Walau sejujurnya malas, Ameeza akhirnya harus memberitahu juga alasannya. Ah, rasanya Ameeza enggan memberitahu, tapi entah kenapa hatinya menyuruh harus memberitahu. Dan Ameeza berpikir mungkin alasannya akan konyol.
Sial, pikir Ameeza. Ia akhirnya gusar sendiri karena baru menyadari seberapa konyol alasannya peduli pada Erga.
"Alasan gue mungkin terkesan konyol atau apa, yah. Tapi, gue serius."
Alis Erga naik.
Ameeza semakin gusar dengan keputusannya untuk memberitahu. Tatapannya lagi-lagi tanpa sengaja bertumbuk dengan Erga. "Gue mau lo jadi pendengar setia setiap kali gue cerita. Itu alasan gue," jelas Ameeza akhirnya, walau masih terselip nada ragu di dalamnya.
Erga diam. Tak berapa lama laki-laki itu menuliskan sesuatu disebuah kertas. Lantas menyodorkannya ke hadapan Ameeza. Ameeza membacanya.
Sorry, saya gak bisa.
Tatapan kecewa langsung menyorot ke arah Erga. "Kenapa?" tanya Ameeza dengan nada melemah. Entah kenapa penolakan dari Erga menyakitinya.
Erga menulis lagi di kertas.
Saya gak cocok jadi pendengar.
Bibir Ameeza mengeluarkan embusan napas pelan. "Ini keputusan gue. Gue gak minta lo buat ngasih pendapat atau solusi dari cerita atau masalah gue. Gue cuma minta lo jadi pendengar." Diakhir kata Ameeza sedikit menekankan kata 'pendengar'.
Tapi saya gak bisa, ada alasan yang gak bisa saya ungkap.
Tulisan itu membuat Ameeza muak ditempat. Entah kenapa ia merasa penolakan dari Erga sangat memalukan, seakan-akan ia 'sedang menyatakan cinta' dan berakhir ditolak. Padahal kenyataannya Ameeza hanya meminta Erga jadi pendengar. Menjadi tempat bercerita segala keluh kesahnya. Tidak lebih.
Jemari Ameeza terkepal kuat di atas meja. Tangannya meraih tiga lembar kertas berisi tulisan Erga yang tepat berada di hadapannya. Ia meremas-remas ketiga kertas itu membentuk sebuah bola. Erga hanya memperhatikan saja apa yang Ameeza lakukan.
Tangan kanannya memegang Ice Blend Coffee yang sudah tidak dingin lagi dan tangan kirinya menggenggam kertas yang sudah berbentuk bola. Tanpa pamit, Ameeza berdiri dari kursi menimbulkan suara deritan yang jelas sebab Cafe ElBa ini sudah mulai sepi.
Tanpa sadar ekor mata Erga mengikuti kemana Ameeza pergi. Perempuan itu melangkah mendekati tempat sampah yang berada di dekat pintu kaca Cafe. Sejenak Ameeza menatap tempat sampah, lantas setelahnya cewek itu membanting Ice Blend Coffee yang berada di tangan kanannya ke tempat sampah hingga minuman itu tumpah. Seterusnya Ameeza melempar buntalan kertas di tangan kirinya ke dalam tempat sampah penuh emosi.
Usai meluapkan emosi Ameeza menghembuskan napasnya pelan. Ia menoleh, memberikan tatapan tajam ke arah Erga yang ketahuan sedang memperhatikan dari tempat duduknya. Yah, Erga masih belum beranjak.
Ameeza lebih dulu memalingkan wajah. Kakinya buru-buru melangkah mendekati pintu mendorong pintu kaca Cafe lalu keluar dengan wajah yang masih merah padam karena amarahnya belum seluruhnya tersalurkan.
Setelah mobilnya berjalan jauh dari Cafe ElBa, Ameeza menghentikan mobil silvernya di basement yang ada di mall. Entah kenapa Ameeza memilih tempat ini sebagai pelarian.
Kepala Ameeza langsung terkulai lemah di atas stir mobil setelah Ameeza mematikan mesin mobil.
Kecewa, itulah yang Ameeza rasakan. Ternyata keinginannya hanya angan. Lagi pula seharusnya Ameeza memang tidak usah berharap. Dan lagi pun apa keuntungan yang ia dapat jika Erga mau menjadi pendengar setianya? Entahlah. Rasanya Ameeza ingin memukul-mukul kepalanya ke stir mobil hingga pingsan karena memberikan alasan sekonyol itu pada Erga.
"Argh!" erang Ameeza sembari memukul stir.
"Bodoh banget, sih. Bodo amatlah kalau semisal dia gak mau!" teriak Ameeza kelewat kesal.
"Pergi sialan!" maki Ameeza saat otaknya kembali memutar ulang kejadian di Cafe ElBa tadi.
...-oOo-...