Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 2
Hanzel yang marah karena dipanggil 'baby Han' oleh ibunya nampak berjalan dengan tergesa, hingga tanpa sengaja pria itu menabrak seorang pria berjas yang sedang berjalan berlawanan arah dengan dirinya.
Karena ulahnya, kue yang dibawa oleh pria itu sampai terjatuh. Baju pria itu juga sampai kotor, karena ada potongan kue yang mengenai jas yang dia pakai.
"Ya ampun, baju gue!" keluh pria itu.
"Sorry, Kak. Gue gak sengaja, kuenya gue ganti. Untuk jasnya cuma kotor dikit, bisa dibersihkan di toilet."
"Ck! Padahal gue lagi buru-buru, istri gue minta kue ini."
"Santai, Kak. Kuenya gue ganti, kalau buru-buru jasnya juga bisa saya ganti. Sebentar," ujar Han yang langsung meminta pelayan yang ada di sana untuk mengganti kuenya.
Hanzel juga meminta pelayan untuk mengambilkan jas miliknya di dalam kamarnya, karena dia tidak mungkin meninggalkan pria itu sendirian di sana.
Tak enak rasanya sudah berbuat salah tapi ditinggalkan, aku takutnya dia akan disangka lari dari pertanggungjawaban.
"Sekali lagi sorry, Kak." Hanzel membungkuk beberapa kali.
"Tak apa, lain kali lebih hati-hati anak muda."
"Iya," jawab Hanzel.
Pria itu pergi setelah mendapatkan ganti kuenya dan juga ganti jasnya, selepas kepergian pria itu Hanzel nampak mengerutkan dahinya.
"Pria itu kenapa mirip banget sama anak yang tadi aku temui, ya. Dia mirip Cia, sangat mirip. Cuma beda jenis kelamin aja," ujar Hanzel.
"Ada apa, Nak?"
"Tadi gak sengaja aku nabrak orang, kuenya tumpah. Aku udah ganti sih, tapi duitnya ke Umi belum aku kasih."
"Udah gak apa-apa, sekarang mending kita makan malam aja. Abis itu kita kangen-kangenan, Umi pengen denger kamu cerita."
"Iya, Umi. Kalau gitu kita makan, kebetulan Han lapar dan ingin mencicipi masakan Umi."
"Iya, Sayang. Sepertinya benar apa yang dikatakan orang tua dulu, kalau ikatan anak dan juga orang tua itu sangatlah kuat. Tadi tiba-tiba Umi pengen banget masak makanan kesukaan kamu," ujar Khadijah.
"Oiya?"
"He'em, yuk ah makan."
Keduanya akhirnya makan malam bersama, makan malam kali ini terlihat begitu istimewa bagi keduanya, karena bisa bersama setelah sekian lama berpisah.
Keesokan harinya Hanzel membantu ibunya di toko kue, ramai sekali pengunjung yang datang. Bahkan, yang minta diantarkan pun pesanannya begitu banyak.
"Umi, apa ada yang bisa Han bantu?"
"Loh, kok anak Umi gak pergi ke resto? Bukannya udah janjian sama kakek buat ketemuan di resto?"
Hanzel diminta untuk mengelola resto yang sudah diwariskan oleh kakeknya, karena selama ini kakeknya itu meminta orang kepercayaannya untuk mengelolanya.
Tadi malam Khadijah sudah memberitahukan ayahnya kalau putranya itu sudah tiba di tanah air, tentu saja Aksa begitu antusias ingin langsung menyerahkan beberapa resto yang sudah diwariskan itu kepada cucunya.
"Han sebenarnya belum pengen mimpin resto, Umi. Masih pengen kangen-kangenan sama Umi, boleh gak sebulan aja bantu Umi dulu? Nanti baru urus resto," pinta Hanzel.
Hanzel saat ini hanya memakai kaos pendek dipadupadankan dengan celana pendek selutut, tetapi tetap saja pria itu terlihat tampan sekali.
"Kamu ini, tapi kakek setuju gak, kalau kamu bantu Umi dulu?"
"Setuju dong, Umi. Apa perlu aku telpon kakek?"
"Gak usah, ya udah bantu umi dulu. Anterin kue pesanan pelanggan, mau?"
"Mau, Umi."
"Tapi anternya pake motorloh!"
"Gak apa-apa, Han bisa."
"Jangan lupa pakai helm sama jaket," ujar Khadijah.
"Siap, Umi!"
Akhirnya Hanzel pergi menggunakan motor menuju tempat pengiriman, setelah mengantarkan pesanan pembeli, tentunya pria itu berniat untuk kembali ke toko kue.
Namun, saat perjalanan pulang dia melihat anak kecil yang sedang berjalan sambil meringis kesakitan. Anak itu tak memakai sepatu, saat Hanzel perhatikan, jempol kaki anak itu nampak berdarah.
"Eh? Bukannya itu Cia?"
Hanzel dengan cepat menghampiri anak itu, dia mematikan mesin motornya dan langsung menegur anak cantik itu.
"Hay, Cantik. Kok kakinya berdarah? Kenapa?"
"Hai, Om ganteng. Sepatu Cia udah kekecilan, tadi ada lomba lari. Jadinya kaki aku lecet sampai berdarah," jawab Cia.
"Kenapa gak beli sepatu baru?"
"Kata Ibu belum punya uang, yang yang dari Om kemarin dibayarin ke sekolah. Sisanya dipake bayar utang," ujar Cia.
Walaupun anak itu baru berusia 7 tahun, tetapi kehidupan yang sulit membuat dirinya begitu paham akan kehidupan ibunya yang begitu sulit.
"Kasihan sekali, Om obati luka kamu mau?"
"Cuma luka kecil, Om. Dibasuh terus dikasih Betadine juga pasti sembuh," jawab Cia.
"Nggak sakit emang?"
"Sakit, Om. Tapi, akan lebih sakit liat ibu nangis kalau aku cengeng karena luka sedikit seperti ini. Cia gak mau bikin ibu nangis, Cia gak mau bikin ibu sedih."
Hanzel merasa iba sekali terhadap gadis kecil itu, dia menjadi merasa kalau dirinya harus terus bersyukur karena dilahirkan dari keluarga berkecukupan.
"Kalau gitu Om anter pulang mau?"
"Boleh, Om."
"Sekalian dibeliin sepatu mau?"
"Jangan, Om. Nanti utang Ibu sama Om tambah banyak," jawab Cia.
"Ini Om kasih spesial karena Cia anak pinter, gak utang."
"Tapi, kata Ibu Cia nggak boleh nerima uang ataupun pemberian barang dari orang lain secara cuma-cuma. Karena walaupun kita miskin, tetapi kami bukan pengemis. Kami harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kami mau, bukan dengan cara meminta apalagi mengemis."
Oh! Hati Hanzel semakin tersentuh mendengar apa yang dikatakan oleh anak itu, anak sekecil itu sudah dirasa begitu dewasa sekali.
"Dengarkan Om, Cia. Kamu harus tetap sekolah, sekarang Om akan belikan keperluan untuk sekolah. Nanti kalau Cia udah gede, udah kerja, Cia bisa bayar utangnya sama Om. Mau?"
Anak kecil itu terlihat begitu berpikir dengan keras, sangat lucu sekali di mata Hanzel. Anak itu nampak mengerutkan keningnya dengan bibir yang mengerucut.
"Jangan terlalu lama berpikir, Om cape nih nunggunya."
"Boleh deh, Om. Tolong belikan sepatu Cia, tapi bayarnya nanti kalau Cia udah gede."
Cia selalu diajarkan oleh ibunya untuk tidak meminta-minta kepada orang lain, walaupun mereka miskin tetapi mereka bukan pengemis. Hidup itu harus bisa berdiri di atas kaki sendiri, selalu itu yang dibilang oleh ibunya, Sahira.
"Siap, Cantik. Yuk berangkat," ajak Hanzel sambil menepuk jok motor yang sedang dia tumpangi.
"Ayo, Om. Tapi beneran ya, nagihnya jangan kecepetan. Tunggu Cia gede dulu," ujar Cia.
"Siap, Sayang," jawab Hanzel.