Aku hidup kembali dengan kemampuan tangan Dewa. Kemampuan yang bisa mewujudkan segala hal yang ada di dalam kepalaku.
Bukan hanya itu, banyak hal yang terjadi kepadaku di dunia lain yang penuh dengan fantasi itu.
Hingga akhirnya aku memiliki banyak wanita, dan menjadi Raja Harem yang membuat semua pria di dunia ini merasa iri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karma-Kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Kota River
Aku tersentak atas pertanyaan Catrine, tak menduga wanita kucing ini ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Aku sebenarnya tak masalah untuk menikahi Catrine, tapi aku ingin melakukannya setelah aku puas menjelajah di dunia ini, atau setelah aku menjadi orang kuat nanti.
Bagaimanapun, aku menduga dunia ini memiliki banyak masalah yang harus aku atasi, aku bisa kepikiran seperti itu karena ingat alur dari anime-anime yang pernah aku tonton di dunia sebelumnya, terlebih aku juga memiliki tangan sakti serba guna yang bisa digunakan untuk melakukan apapun.
Karena itu, aku tak ingin menikah dalam waktu dekat, atau menjalin hubungan yang sangat merumitkan. Yang terpenting suka sama suka dan bersedia menjadi wanitaku tanpa paksaan.
"Kita akan membicarakan masalah ini nanti, sekarang aku mau tidur dulu, tubuhku sudah sangat lelah soalnya," ucapku membalas permintaan Catrine.
"Sudah kuduga kamu akan menghindari pertayaanku," gumam Catrine agak kecewa.
"Kamu bilang apa barusan?" tanyaku agak penasaran, aku baru pertama kali melihat Catrine merajuk soalnya.
"B-Bukan apa-apa, kamu boleh tidur di atas pahaku bila kamu mau. Tak nyaman rasanya kalau tidur tanpa alas yang empuk," ujar Catrine sembari menarik kepalaku.
Aku tak banyak berpikir lagi dan segera mengikuti keinginan Catrine. Kurebahkan kepalaku di paha mulus wanita kucing itu, kemudian terlelap tak lama setelahnya.
Sementara Helena tampak masih canggung ketika melihat aku bermesraan dengan Catrine. Entah apa yang sedang dipikirkannya, yang pasti ia merasa bersalah kepada Catrine.
Wajar sih bila Helena bersikap seperti itu, lagian dia dan Catrine sama-sama wanita, pastinya mereka memiliki perasaan yang jauh lebih sensitif dibanding perasaan pria sepertiku.
Singkatnya, sisa perjalan menuju kota River berhasil kulalui tanpa gangguan lagi, tapi ada sedikit kekacauan saat kereta kuda kami hampir tiba di depan gerbang kota. Aku samar-samar mendengar suara kepanikan yang menggema di sana, mungkin ada beberapa warga yang ingin berbuat onar.
"Apa yang terjadi, Catrine? Kenapa kamu tidak membangunkan aku?" tanyaku usai membuka mata.
"Aku tak tega membangunkan kamu, Brian. Kamu tidur sangat lelap soalnya." ujar Catrine.
"Terjadi keributan di depan sana, Brian. Kuperhatikan banyak sekali orang-orang yang berkerumun di depan gerbang. Mereka sepertinya ingin masuk ke dalam kota untuk menghindari sesuatu," sambung Helena menjelaskan.
Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan, lalu kubuka kotak kecil di dekatku agar bisa melihat ke arah depan.
"Apa masalahnya, Leon? Kenapa tampak ramai sekali di sana?" tanyaku kemudian.
"Saya tidak tahu, Tuan Muda. Saya coba tanyakan dulu kepada orang-orang itu," sahut Leon seraya turun dari tempat duduknya.
"Ayo kita turun, kita akan menunggu Leon di luar," ucapku mengajak Catrine dan Helena.
Kami pun turun dengan membawa senjata masing-masing, takutnya ada warga yang akan menyerang kami secara tiba-tiba.
Dan benar saja, sekelompok orang langsung menyerbu kami dari arah depan, ada ekspresi panik yang terpancar dari wajah orang-orang itu.
"Tolong bawa kami masuk ke dalam kota, Tuan Muda. Kami orang-orang sehat, dan kami tak ingin mati kerena penyakit itu."
"Kami belum terkena penyakit, tubuh kami masih sehat seperti biasanya. Tapi, penjaga kota melarang kami masuk ke sana karena takut kami membawa penyakit."
"Kami mohon, Tuan Muda. Bantu kami meyakinkan penjaga kota agar kami bisa masuk ke sana."
Mereka langsung memohon bantuan kepadaku, mereka sepertinya bisa mengenaliku dari kereta kuda yang aku pakai. Dan aku pun tersentak saat begitu tahu masalahnya, terutama saat mereka bilang tentang penyakit.
"Penyakit apa yang kalian maksud? Gimana gejala awalnya?" tanyaku penasaran.
"Awalnya ada pembengkakan seperti bisul yang mengeluarkan nanah. Para penderita juga mengalami demam, menggigil, muntah, diare, dan nyeri, sebelum akhirnya meninggal," jelas seorang pria paruh baya padaku.
"Berapa banyak korban yang sudah meninggal karena penyakit itu? Kira-kira apa penyebabnya?" tanyaku lagi.
"Semua penduduk dari desa Herald, Nasher dan Draka sudah meninggal, jumlah korban sekitar 120 orang. Sedangkan untuk penyebabnya masih belum diketahui hingga sekarang," jawab pria paruh baya itu.
Aku langsung berpikir keras usai mendengarnya, karena ketiga desa itu berbatasan langsung dengan wilayah keluarga Argus. Tapi, kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Mungkinkah Laura sengaja menutupinya atau penyebaran penyakit itu baru terjadi dalam satu malam?
"Kapan awal mula penyebaran penyakit mematikan itu? Apa semua warga desa meninggal bersamaan dalam satu malam?" Aku memastikan untuk terakhir kali sebelum menebak nama penyakit itu.
"Ya, mereka meninggal bersamaan dalam satu malam seolah sudah menerima kutukan dari penyihir hebat," sahut pria paruh baya itu sembari manggut-manggut.
'Mungkinkah karena pandemi? Karena seharusnya hanya itu penyakit mematikan yang mungkin terjadi pada abad pertengahan semacam ini, terlebih ada penyihir kuat yang bisa memperkuat dampak penyakit itu sehingga proses penyebarannya sangat cepat,' pikirku menerka-nerka. Benak ku pun membayangkan penyakit Black Death yang pernah terjadi di Eropa pada tahun 1346 hingga tahun 1353 yang menewaskan lebih dari 200 juta jiwa.
"Ini sangat gawat, Tuan Muda. Kita harus segera masuk ke kota sebelum tertular penyakit dari orang-orang ini," bisik Leon setibanya kembali ke sisiku.
Aku melihat para warga yang masih berkerumun di depan mataku, sungguh tak enak rasanya bila aku harus meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini. Mana ada anak-anak di antara kerumunan para warga itu, yang semakin membuatku tak enak hati.
"Aku tak akan masuk ke kota sekarang, aku masih ingin di sini untuk memeriksa kondisi para warga," ujarku.
Leon, Catrine dan Helena langsung memberikan tatapan bingung padaku, mereka jelas terkejut dengan keputusan yang telah aku buat.
Namun, aku tidak terlalu peduli dengan kebingungan mereka, karena prioritasku sekarang adalah membuat antibiotik alami untuk menguatkan tubuh semua orang.
"Tolong belikan aku bawang putih, cabai, bawang merah, akar jahe, akar lobak, dan cuka, juga sediakan tempat besar untuk meracik semua bahan-bahan itu," titahku kepada Leon, kuberikan beberapa emas agar ia bisa belanja di dalam kota.
"Buat apa semua bahan itu, Brian? Apa kamu ingin memasak di sini?" tanya Catrine.
"Aku ingin membuat antibiotik untuk semua orang, setidaknya bisa mencegah penularan penyakit mematikan itu," jelasku.
"Antibiotik?" ulang Catrine, Leon dan Helena serempak, kebingungan mereka kian menjadi-jadi.
Aku lupa kalau istilah medis belum ditemukan di dunia ini, makanya mereka langsung kebingungan akan penjelasanku.
"Tak usah banyak tanya, belikan saja semua benda yang sudah aku sebutkan sebelumnya," ucapku mendesak Leon.
"B-Baik, Tuan Muda. Saya akan membelinya sekarang," sahut Leon patuh, kemudian bergegas pergi ke dalam kota.
'Baiklah, sekarang waktunya memikirkan cara untuk membuat antibiotik itu. Kuharap kemampuan tangan sakti bisa membantu nanti,' ucapku di dalam hati.
"Terima kasih, Tuan Muda. Kami akan selalu mengingat kebaikan Tuan Muda," ucap pria paruh baya membuyarkan lamunanku. Ia lalu membungkuk kepadaku bersama kelompok warga di belakangnya.
"Kalian tak perlu berterima kasih, doakan saja agar obat buatanku berguna sebagai mana mestinya," tukasku, tak berani memberikan jawaban pasti karena takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan mereka.
Setengah jam berlalu.
Leon kembali dengan semua pesananku, tapi ia juga datang bersama beberapa penjaga kota.
"Apa Anda Tuan Muda dari keluarga Argus di kota Lunar?" tanya seorang penjaga.
"Ya, itu aku," sahutku tanpa ragu.
"Apa Anda berniat mengobati penyakit para warga di sini?" tanya penjaga lagi.
"Kurang lebih seperti itu, kenapa memangnya?" Aku bertanya balik kali ini, sengaja kunaikan suaraku agar terlihat lebih meyakinkan.
"Terima kasih," teriak semua penjaga di belakang Leon, mereka membungkuk serempak kepadaku.
"Kenapa kalian harus berterima kasih? Aku baru berniat mengobati orang-orang dan hasilnya belum pasti," ujarku.
"Kami berterima kasih karena Tuan Muda mau peduli dengan nasib warga dari kota River," jelas penjaga itu.
"Memangnya pemilik kota tidak peduli dengan nasib warganya? Sampai-sampai kalian harus berterima kasih padaku?" tanyaku.
"Ini ...." semua penjaga mandek dan hanya bisa saling pandang, pertanyaanku sepertinya sangat sulit untuk mereka jawab.
"Pemilik kota memutuskan untuk mengisolasi semua warga di luar gerbang hingga penyakit mematikan ini berlalu. Ia takut warga yang tinggal di luar akan menyebarkan penyakit kepada warga di dalam kota," bisik Leon.
"Oh begitu," tanggapku, tak aneh dengan keputusan yang telah diambil pemilik kota. Lagi pula, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama bila tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit mematikan ini.
Karena itu, aku tak ingin tinggal diam begitu melihat orang lain menderita. Aku akan menggunakan segala cara untuk membantu orang-orang yang sedang kesusahan.
Aku yakin kemampuan tangan sakti bisa diandalkan dalam mengatasi masalah ini, setidaknya aku percaya Dewa agung tidak ingin aku terus bersenang-senang selama hidup di dunia ini.