Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Camelia
TIN TIN
Hariz pulang bertepatan dengan Aluna selesai masak. Perempuan itu mencuci tangannya lantas mengeringkannya dengan beberapa lembar tisu. Setelah itu Aluna melepas apron dari tubuhnya sebelum keluar dari dapur untuk menyambut kepulangan Hariz.
"Selamat datang, Mas," sambut Aluna.
Aluna merangkul leher Hariz, sedangkan Hariz merangkul pinggang Aluna dan membubuhi kening Aluna dengan kecupan.
"Kamu sudah pulang?" tanya Hariz.
"Ya sengaja pulang lebih awal. Aku ingin masak untukmu," jawab Aluna. "
"Benarkah? Aku sudah lama tidak maka masakanmu," seru Hariz.
"Kamu mau mandi atau makan dulu?" tanya Aluna.
"Aku mau mandi dulu," jawab Hariz.
"Baiklah, ayo aku antar ke kamar," ajak Aluna yang langsung dianggukki oleh Hariz.
Aluna mengambil alih tas kerja yang ada di tangan Hariz. Mereka berjalan ke kamar bersama dengan tangan Aluna merangkul lengan Hariz. Sampai di kamar Aluna pergi ke walk in closet untuk mengambil pakain Hariz sedangkan Hariz sudah lebih dulu ke kamar mandi.
Aluna menyiapkan pakaian untuk Hariz sementara Hariz masih berada di kamar mandi. Saat sedang meletakkan pakaian di atas tempat tidur ponsel Hariz berdering. Aluna mengabaikan itu, tetapi rasa penasaran Aluna mendominasi, sebab ponsel Hariz berdering tanpa henti.
Aluna berjalan ke meja nakas tempat Hariz meletakan ponselnya. Ia lantas mengambil ponsel itu. Ada nama asing yang tidak Aluna kenal sebelumnya.
"Camelia?" Aluna membaca nama yang tertera di layar ponsel Hariz. "Siapa Camelia?" gumam Aluna. "Ah, mungkin salah satu rekan bisnisnya," batin Aluna.
Aluna memutuskan untuk menerima panggilan itu, ia takut jika ada sesuatu yang penting.
"Halo," sapa Aluna ramah.
Tidak ada suara
"Halo, siapa ini?" Aluna kembali bersuara.
Masih tidak ada jawaban apapun dari seberang panggilan. Sampai Hariz keluar dari kamar mandi. Aluna pun berbalik mengadap sang suami.
"Mas," panggil Aluna. "Ada yang menelponmu berulang-ulang. Aku menerimanya tapi dia tidak mau bicara," ucap Aluna sambil menunjukkan ponsel milik sang suami.
"Siapa yang telepon?" tanya Hariz.
"Camelia," jawab Aluna.
Camelia?
"Berikan ponselnya!" pinta Hariz.
Hariz langsung mengambil ponsel iru dari tangan Aluna lantas mematikan sambungan telepon tanpa bicara lebih dulu.
"Kenapa dimatikan?" tanya Aluna.
"Lain kali jangan lancang menerima panggilan telepon di ponsel orang lain," ucap Hariz yang tiba-tiba berubah ketus.
"Orang lain?" Aluna tertawa sumbang. "Aku istrimu, apa kamu lupa?" sergah Aluna.
Ekspresi wajah Hariz kembali berubah. "Aluna maaf. Bukan maksudku—"
Aluna memotong perkataan Hariz. "Memang siapa Camelia?Selingkuhanmu? Sampai kamu marah aku menerima panggilan darinya?" tuduh Aluna.
"Aluna … bukan. Dia itu …." Ucapan Hariz terhenti ketika Aluna memilih pergi. "Tunggu, Aluna." Hariz menahan lengan Aluna memaksa sang istri untuk tidak pergi. "Jangan salah paham, dia hanya rekan bisnisku. Aku hanya malas meladeni dia saja," terang Hariz.
"Aku tunggu di meja makan." Aluna memilih untuk pergi, ia merasa malas untuk berdebat dan juga mendengarkan penjelasan Hariz. Aluna masih kecewa oleh ucapan Hariz yang menganggapnya orang lain.
"Aluna …," panggil Hariz.
Aluna memilih keluar tanpa mau mendengarkan panggilan dari Hariz.
Setelah Aluna pergi, Hariz mengambil ponselnya lantas mengirim pesan pada Camelia.
Sudah aku katakan sebelumnya, jangan menghubungiku ketika aku berada di rumah.
Hariz kembali meletakan ponselnya ke tempat semula kemudian segera memakai baju dan keluar menyusul Aluna. Hariz berjalan dengan berlari kecil di anak tangga sambil memanggil sang istri, "Aluna."
Tidak ada sahutan dari sang istri. Hariz memutuskan untuk pergi ke ruang makan, tetapi ia samar-samar mendengar perdebatan.
Kalian kalau tidak suka makanan yang aku buat jangan makan. Kalian bisa masak sendiri.
"Ya Tuhan!" Hariz bertolak pinggang sembari memijit keningnya mendengar perdebatan itu.
Hariz kemudian berjalan cepat ke ruang makan untuk menghentikan perdebatan antara istri, ibu, juga, adiknya.
"Ada apa ini? Bisakah kalian sehari saja tidak bisa bedebat?" lerai Hariz.
"Istri kamu tidak becus memasak. Rasanya tidak enak," tuding Mona.
"Benar, Kak," imbuh Sandra.
Hariz mengela napas berat kemudian mengambil sedikit makanan yang ada di meja lantas mencicipi makan itu.
"Ini enak Ibu, rasanya seperti biasa yang aku makan," kesal Hariz. "Kalian jangan macam-macam! Makanlah yang ada," ujar Hariz.
"Ibu tidak mau makan itu," tolak Mona.
"Aku juga," imbuh Sandra.
"Terserah kalian!" desis Hariz.
"Hariz!"
"Kakak!"
"Ada apa? Bukankah itu keputusan kalian," ucap Hariz. "Aluna, ayo makan. Jangan hiraukan mereka," ajak Hariz disambut anggukan oleh Aluna.
Hariz kembali mengela napas berat melihat ibu dan adiknya tidak bergeming.
"Ibu, aku sudah lelah bekerja seharian di kantor. Aku ingin makan dengan tenang. Jika kalian tidak mau maka jangan makan. Pergilah ke kamar kalian," ucap Hariz.
Mona serta Sandra menghentakkan kakinya lantas menyeret kursi dengan kasar membuat suara yang bising. Hariz dan Aluna yang melihat itu hanya menggelengkan kepala mereka.
"Ini makanlah." Aluna menyajikan makanan untuk Hariz.
"Terima kasih, Sayang," ucap Hariz.
"Hmm," gumam Aluna.
Makanan yang seharusnya terasa lezat menjadi terasa hampar dengan sikap Mona dan Sandra. Aluna makan dengan cepat sebab tidak tahan dengan sikap ibu mertua juga adik iparnya.
"Aku sudah selesai." Aluna membersihkan mulutnya dengan tisu lantas pergi dari ruang makan.
Aluna pergi ke kamar badannya sudah terasa lengket, ia ingin segera mandi. Sampai di kamar Aluna langsung masuk ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaiannya. Ia berjalan ke tempat mandi mengguyur tempat seluruh tubuhnya dengan air hangat.
Selesai mandi Aluna menarik bathrobe lantas memakaikan ke tubuhnya. Tidak lupa handuk kecil untuk menggulung rambutnya. Aluna keluar dari kamar mandi bersamaan dengan Hariz masuk ke dalam kamar. Aluna memilih mengabaikan keberadaan Hariz sebab dirinya masih merasa kesal.
"Sayang, kamu masih marah?" Hariz mengunci pintu kamar mereka.
Aluna tidak merespon, ia memilih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil di tangannya.
"Aku sudah jelaskan tadi." Hariz memeluk Aluna dari belakang.
"Aku mau pakai baju, Mas." Aluna mencoba melepaskan diri dari Hariz, tetapi sang suami tidak mau melepaskannya begitu saja.
Hariz lantas merebut handuk dari tangan Aluna kemudian membuangnya ke sembarangan tempat. Setelah itu Hariz membalikkan tubuh Aluna agar mau mengadap dirinya. Hariz mendorong Aluna berjalan mundur hingga tubuh sah istri menempel pada dinding.
"Ayo main sebentar agar kamu rileks." Hariz mengecup leher Aluna, turun ke dada lantas memberikan tanda merah keunguan di sana.
"Mas …," desah Aluna.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan," ucap Hariz dengan suaranya yang serak.
Hariz terus melancarkan aksinya dengan menyerang titik G milik Aluna membuat sang istri tak bisa berkutik. Aluna menyerah dan membiarkan Hariz menanggalkan handuk yang pakaiannya dan juga memasukinya. Malam itu keduanya kembali bergulat. Aluna dibuat tidak berdaya dan pasrah pada Hariz. Keduanya bergulat sampai mereka meraih puncak kenikmatan bersama.
Hariz ambruk di atas tubuh Aluna. Napas keduanya sama-sama memburu dan berlomba meraup udara memasukkannya ke paru-paru mereka sendiri.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Hariz lembut.
"Aku lelah, Mas Hariz," ucap Aluna dengan suaranya yang lirih.
"Tidurlah, Sayang. Terima kasih untuk yang tadi." Hariz mengecup kening Aluna lantas berguling ke samping Aluna kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya juga sang istri.
Hmmm
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang