Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami yang Terlalu Posesif
Shabiya bergerak ke sudut ruangan di mana mesin kopi kecil berada\, jari-jarinya yang lincah dengan cekatan menyiapkan kopi hitam_yang ia tahu_adalah salah satu hal kesukaan Chandra. Ruangan kantor Shabiya sangat berbeda dari kantor Chandra yang megah dan penuh kemewahan. Di sini\, semuanya fungsional\, rapi\, dengan dekorasi yang minimalis namun elegan_menunjukkan kepribadian Shabiya yang praktis dan fokus pada pekerjaannya. Cahayanya lembut\, mengalir dari jendela besar di belakang meja kerja Shabiya\, menerangi ruangan dengan sinar matahari yang mulai redup.
Chandra duduk bersandar di kursi tamu, tubuh tegapnya tampak rileks, tapi hanya di permukaan. Ia menatap jendela besar di belakang meja kerja istrinya, tapi pikirannya jauh, berputar-putar di sekitar satu nama: Erika. Keberadaan wanita itu adalah ancaman kecil yang tak terduga—seperti batu kerikil dalam sepatu yang mengganggu setiap langkah.
Shabiya, dengan gerakan tenang namun presisi, menyodorkan cangkir kopi hitam kepadanya. Chandra meraihnya tanpa berkata-kata, menatapnya dengan tatapan intens yang membuat Shabiya mengangkat alis.
"Terima kasih," ucap Chandra serak, menyesap kopinya perlahan, merasakan kehangatan yang mengalir hingga ke tenggorokannya.
Shabiya duduk di seberangnya, tubuhnya sedikit condong ke depan, memberi sinyal bahwa ia siap mendengarkan. Tidak ada yang memaksakan percakapan, tapi kehadirannya sudah cukup memberi Chandra dorongan untuk berbicara.
“Ada yang ingin kau katakan?” tanyanya akhirnya, nada suaranya ringan tapi matanya memperhatikan.
“Erika muncul di kantorku tadi.” Chandra menyesap kopinya, mengambil waktu untuk menyusun kata-kata. “Dia berlagak seolah masih punya hak campur tangan dalam hidupku.”
Shabiya hanya mengangguk pelan, membiarkannya melanjutkan.
“Dia pikir...” Chandra berhenti sejenak, menatap lurus ke arah istrinya. “Karena kita terlalu sibuk bekerja, terlalu fokus pada karier masing-masing, pernikahan kita tidak akan bertahan lama.” Nada suaranya berubah menjadi dingin dan sinis, menirukan Erika.
"Dan kau sengaja menghindari pembicaraan tadi malam, tentang Erika?" Shabiya membuka percakapan dengan nada datar, pandangannya melekat pada wajah suaminya.
Chandra menyesap kopi, menahan senyum samar. "Aku tidak menghindar. Aku hanya memilih waktu yang lebih tepat untuk membahasnya."
"Tentu saja," balas Shabiya sinis. "Karena membahas Erika selalu butuh 'waktu yang tepat,' kan?"
Chandra mendesah, menempatkan cangkirnya di meja dengan bunyi kecil yang terkontrol. “Aku tidak ingin membebanimu.”
"Dia cukup 'membebani', mengingat caramu menghindariku semalam," potong Shabiya tajam. Ia bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan dengan sikap penuh tantangan. "Atau mungkin, kau merasa 'terbebani' saat dia bicara tentang kita."
Chandra menghela napas, lalu meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di meja.
Shabiya menyilangkan tangan, bersandar ke kursinya. “Kau tahu, aku terkenal sebagai seorang penyelidik ulung dalam mengendus omong kosong, Chandra. Kau sedang mencoba menghindari pembicaraan itu, dan aku tahu alasannya.”
Chandra mengangkat alis, separuh tersenyum. “Benarkah? Kau tahu alasannya?”
“Karena sebagian dari dirimu masih merasa Erika punya kuasa atas dirimu.” Shabiya mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tajam. "Dan_"
"Dan dia salah." Suara Chandra tegas, matanya menatap lurus ke arah istrinya.
"Bagus kalau begitu," balas Shabiya ringan. Tapi ekspresi di wajahnya menunjukkan ia tidak sepenuhnya puas. "Karena aku tidak punya waktu untuk drama seperti itu. Kau tahu, pekerjaan dan kehidupan kita sudah cukup rumit tanpa tambahan Erika di dalamnya."
Sebelum Chandra bisa membalas, pintu kantor diketuk. Shabiya melirik sekilas, lalu memberi isyarat agar tamu itu masuk. Pintu terbuka perlahan, dan masuklah seorang pria muda, dengan setelan jas yang rapi, wajahnya tampan dengan senyum percaya diri yang mencerminkan kecerdasan dan profesionalisme. Chandra mengangkat alisnya, matanya dengan cepat mengamati pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Ada sesuatu tentang kehadirannya yang membuat Chandra langsung merasa waspada.
"Maaf mengganggu, Bu Shabiya. Ini dokumen yang tadi Anda minta untuk ditinjau," kata pria itu, memberikan tumpukan berkas ke meja Shabiya.
Shabiya tersenyum ramah, menerima dokumen itu dengan anggukan kecil. "Terima kasih, Adit. Saya akan periksa nanti."
Adit berdiri sejenak, tampak tidak terburu-buru untuk pergi, meskipun Chandra jelas-jelas berada di ruangan itu. Pria muda itu menatap Shabiya dengan cara yang, bagi Chandra, terasa terlalu akrab. Meskipun percakapan antara mereka terdengar profesional, interaksi itu membuat Chandra merasa diabaikan. Ia melipat tangannya, matanya mengamati setiap gerak-gerik Adit, menimbang-nimbang apakah pria ini sekadar bawahan yang kompeten atau seseorang yang berani memiliki niat lain terhadap istrinya.
Shabiya masih sibuk dengan berkas-berkas di tangannya ketika Chandra, dengan tenang namun penuh tekad, berdiri dari kursinya. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan mendekati istrinya, kemudian dengan gerakan halus namun pasti, Chandra menyelipkan tangannya di bahu Shabiya, menariknya sedikit lebih dekat padanya. Ia menunduk, dengan gerakan yang sangat alami, dan mencium puncak kepala istrinya, pelan tapi cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas.
Shabiya terkejut sejenak, matanya melirik Chandra dengan pertanyaan, tapi ia tidak menolak gerakan itu. Malah, ia bisa merasakan ketegangan di sekitar mereka mulai menghilang, meskipun kehangatan tubuh Chandra yang dekat dengannya membawa rasa aman yang tak terucapkan.
Adit terdiam, menyaksikan interaksi itu. Senyumnya memudar, dan ia tampak sedikit tidak nyaman. "Saya... sepertinya saya harus kembali ke meja saya," katanya, suaranya sedikit gugup.
Chandra mengangguk, masih menatap Shabiya dengan intens, seolah Adit tidak ada di ruangan sama sekali. "Lain kali, jangan ragu untuk mengetuk pintu lebih lama," ucap Chandra, nadanya tenang tapi ada ketajaman terselubung di baliknya.
Adit hanya bisa tersenyum kikuk sebelum segera mundur, meninggalkan ruangan dengan cepat. Ketika pintu menutup, Chandra melepaskan sentuhan lembutnya dari bahu Shabiya, kembali duduk di kursinya sambil mengamati wajah istrinya.
"Apa itu tadi?" tanya Shabiya, meskipun ia sudah bisa menebak.
"Sekadar pengingat," jawab Chandra, kali ini suaranya kembali santai. "Bahwa kau adalah milikku, dan aku tidak suka jika ada yang lupa akan hal itu."
Shabiya memutar matanya, sedikit geli dengan posesif Chandra, tapi tidak bisa memungkiri bahwa sentuhan tadi membawa rasa nyaman. "Kau berlebihan," balasnya, meskipun ada senyum kecil di sudut bibirnya.
"Tentu saja," jawab Chandra, dengan nada serius namun mata yang bersinar penuh godaan. "Itu tugas seorang suami, bukan?"
“Posesif, seperti biasa.” Shabiya memutar matanya.
“Dan kau menyukainya.”
Shabiya tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Itulah masalahnya.
***