seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 33
Ayana sedang duduk di ruang tamu, tangannya sibuk merapihkan mainan anak anak, iris dan raka tengah menghadiri acara siang itu dan anak anaknya di jaga oleh Ayana "anak anak sedang tidur,aku akan membuat dessert untuk mereka" senyumnya merekah seolah dia adalah seorang ibu sungguhan.
Suasana hangat rumah tiba-tiba berubah saat suara bel pintu terdengar. Ayana bangkit untuk membukanya, dan wajahnya seketika berubah tegang melihat Devano berdiri di ambang pintu.
devano tersenyum tipis, suaranya datar
"Aku tidak ingin mengganggu, hanya ingin bicara sebentar, Ayana."
Ayana ragu sejenak, tetapi akhirnya mengizinkannya masuk.
Di dalam ruang tamu
Ayana duduk dengan tubuh sedikit menegang, sementara Devano duduk di seberangnya, menyandarkan tubuh dengan santai seperti biasa.
"Ayana, aku tahu pernikahan kita tidak sempurna. Tapi, apakah harus seperti ini? Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Aku berusaha... dan aku pikir kamu pun mencoba."
Ayana menghela napas dalam, berusaha tetap tenang
"Devano, aku tidak pernah meragukan usahamu. Tapi, kita sama-sama tahu bahwa cinta tidak pernah ada di antara kita. Aku hanya ingin bebas."
Devano menyipitkan mata, nada suaranya mulai dingin
"Bebas? Kamu pikir kebebasan itu ada harganya murah? Semua yang kamu miliki sekarang—rumah, ketenangan—itu karena aku. Dan sekarang, kamu ingin meninggalkan semua itu hanya karena... Biantara?"
Ayana terdiam, matanya sedikit melebar mendengar nama Biantara disebut.
Di luar ruang tamu
Biantara baru saja tiba di rumah Raka, membawa sekantong makanan yang dijanjikan untuk anak-anak Raka. Saat hendak masuk, langkahnya terhenti mendengar percakapan dari dalam.
Devano suaranya semakin tajam, dengan nada manipulatif
"Kamu tahu, Ayana, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Bahkan ketika kamu terus diam membisu di rumah kita, aku tetap berharap. Tapi sekarang, aku menyadari... kamu hanya memanfaatkan aku sebagai pelarian."
Ayana menggigit bibirnya, air mata mulai menggenang.
suaranya bergetar, Ayana mencoba mempertahankan ketenangan
"Bukan itu maksudku. Aku... aku hanya ingin lepas dari ikatan ini, Devano. Tolong hargai keputusanku."
Devano mencondongkan tubuh, dengan nada rendah namun menusuk
"Lepas? Jangan lupa, Ayana, selama ini aku yang menopangmu. Aku yang berada di sana saat dunia tidak berpihak padamu. Biantara tidak ada saat itu, kan? Di mana dia saat kamu menangis malam-malam selama tujuh tahun terakhir?"
Biantara masuk
Biantara mendorong pintu perlahan, suaranya tenang tapi tajam.
bian menatap Devano dengan sorot dingin
"Saya tidak ada di sana bukan karena saya tidak peduli. Saya tidak ada karena saya berfikir ayana telah bahagia bersamamu,tapi ternyata tidak."
Devano menoleh, sedikit terkejut melihat Biantara.
Devano tersenyum mengejek
"Ah, Biantara. Sudah kuduga kamu akan muncul."
Biantara melangkah maju, berdiri di antara Ayana dan Devano
"Ayana tidak perlu mendengarkan tuduhan kosong darimu. Jika dia ingin bebas, itu haknya. Dan aku akan memastikan kamu tidak akan membuatnya merasa bersalah lagi."
Ayana menatap Biantara dengan air mata mengalir, merasa dilindungi untuk pertama kalinya.
Devano berdiri, mendekati Biantara, menatap tajam
"Kamu pikir, hanya dengan muncul lagi setelah bertahun-tahun, kamu bisa menjadi pahlawan untuknya? Kamu tidak tahu apa-apa tentang pengorbananku."
Biantara dengan nada tegas namun rendah
"Saya tidak peduli dengan apa yang kamu korbankan. Yang saya pedulikan adalah Ayana tidak lagi merasa tertekan oleh siapa pun, termasuk oleh kamu atau bahkan oleh saya."
Suasana menegang.
Devano akhirnya tersenyum sinis dan berbalik pergi, meninggalkan ruang tamu dengan aura penuh amarah.
Ayana terduduk, gemetar. Biantara menunduk, menyentuh pundaknya dengan lembut.
Biantara memeluk lembut ayana dengan penuh ketulusan
"Kamu tidak sendirian lagi, Ayana. Aku di sini sekarang."
Ayana mengangguk pelan, air matanya jatuh tanpa henti. Di luar, Devano berjalan menjauh dengan raut wajah yang penuh dendam, menandakan bahwa ia belum selesai dengan rencananya.
Setelah cukup tenang ayana tiba tiba terperanjat dari oelukan bian,rasa sedikit canggung juga malu, tiba tiba ayana teribgat akan sesuatu "astaga aku hanpir lupa" ayana bangkit dan berjalan ke arah dapur.
Sebuah dapur sederhana namun bersih, dengan jendela besar yang memancarkan sinar matahari pagi. Ayana sedang menyiapkan bahan untuk membuat dessert.
Ayana sibuk mengaduk adonan di mangkuk besar. Wajahnya tampak lebih cerah setelah momen tegang dengan Devano. Dia mulai memotong buah-buahan dengan hati-hati, namun langkah kaki yang mendekat dari belakang membuatnya berhenti sejenak.
Biantara muncul di ambang pintu, menyandarkan tubuh di pintu dapur dengan senyuman tipis
"Aku tidak tahu kamu sekarang jago bikin dessert. Sejak kapan?"
Ayana menoleh, sedikit terkejut.
Ayana tersenyum kecil, mengalihkan pandangan kembali ke buah-buahan
"Sejak aku sering mengisi waktu dengan mencoba resep baru. Kadang berhasil, kadang tidak."
Biantara melangkah masuk dengan santai, membuka lengan bajunya dan mencuci tangan di wastafel
"Aku bantu. Kalau gagal, jangan salahkan aku."
Ayana tersenyum kecil, masih fokus memotong buah
"Aku tidak pernah menyuruhmu membantu."
Biantara mengambil mangkuk lain dan mulai memotong buah-buahan dengan gaya asal-asalan
"Aku kan cuma mau memastikan ponakanmu tidak keracunan. Ini misi penting."
Ayana terkekeh kecil, suaranya terdengar ringan—tawa yang sudah lama tidak dia rasakan.
Di tengah proses membuat dessert Biantara mendekatkan wajahnya ke arah adonan yang dipegang Ayana
"Apa aku bisa coba sedikit? Siapa tahu rasanya ajaib."
Ayana mendorong bahu Biantara dengan sikunya, tertawa pelan
"Tunggu dulu, ini belum selesai!"
Bian tertawa sambil menatap Ayana dengan hangat
"Kamu tahu nggak, aku tidak pernah melihatmu setenang ini tujuh tahun terakhir bahkan setelah pertemuan kita kembali"
Ayana berhenti sejenak, menatap adonan di mangkuk. Suaranya pelan namun penuh makna.
Ayana menjawab dengan sedikit berbisik
"Mungkin karena kamu di sini."
Biantara terdiam sebentar, lalu menyentuh dagu Ayana dengan lembut, mengangkat wajahnya agar mereka saling bertatapan.
dengan nada lembut yang hampir seperti berbisik
"Ayana, kamu tahu kan, aku selalu ingin melihatmu bahagia... seperti ini."
Mereka saling menatap dalam diam. Perlahan, Biantara mendekatkan wajahnya ke arah Ayana. Suasana terasa hening, hanya suara angin dari jendela yang terdengar. Bibir mereka hampir bertemu ketika suara deheman tiba-tiba memecah keheningan.
Ziyi berfiri di Ambang Pintu Dapur dengan wajah datar namun penuh nada menggoda
"Uhuk, maaf, aku mengganggu. Tapi sepertinya kalian butuh pengawas dapur."
Ayana langsung menjauh, wajahnya memerah. Dia pura-pura sibuk mengaduk adonan kembali, sementara Biantara hanya menatap Ziyi dengan tatapan datar namun penuh arti.
Bian menyipitkan mata ke arah Ziyi
"Kamu selalu punya timing yang buruk."
Ziyi tertawa kecil sambil melipat tangan di dada
"Aku hanya memastikan kalian tidak membakar dapur ini dengan 'kehangatan' kalian."
Ayana menunduk, berusaha menahan tawa malu. Biantara akhirnya ikut tertawa kecil, menyadari bahwa suasana hatinya—dan Ayana—memang terasa lebih ringan.