Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 7 Pagi yang Mengusik
Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui tirai apartemen Nadia, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Ia menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Rutinitas paginya selalu sama: memeriksa pesan, membaca berita, dan menggulir media sosial untuk mencari inspirasi atau sekadar hiburan.
Namun, pagi itu berbeda.
Ketika Nadia membuka aplikasi media sosial, sebuah foto yang muncul di beranda langsung membuatnya terdiam.
Dalam foto itu, Reza terlihat berdiri dengan gagah, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang mahal. Di sebelahnya berdiri beberapa orang yang tampak seperti pejabat penting, semua tersenyum ke arah kamera. Latar belakangnya adalah aula besar yang megah, dihiasi lampu gantung kristal dan karpet merah.
Nadia memperbesar gambar itu, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar kebetulan. Wajah Reza, dengan senyum tipis yang sangat ia kenal, memenuhi layar ponselnya.
Di bawah foto itu terdapat keterangan:
"Reza Aditya, CEO muda berbakat dari Aditya Corporation, menghadiri konferensi bisnis global sebagai pembicara utama."
Jantung Nadia berdetak cepat. Tangannya sedikit gemetar saat ia membaca kembali keterangan itu.
"CEO? Sejak kapan Reza menjadi CEO?" pikirnya, kebingungan.
Kenangan tentang Reza kembali menyerbu pikirannya. Reza yang dulu hidup sederhana, yang selalu menolak tawaran Nadia untuk membelikannya barang mahal. Reza yang selalu berkata bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh uang.
Namun, pria dalam foto ini adalah kebalikannya—terlihat sukses, percaya diri, dan tampak seperti seseorang yang terbiasa dengan kemewahan.
“Apakah ini benar-benar kau, Reza?” Nadia berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Ia menggulir lebih jauh di akun media sosial itu. Ada lebih banyak foto Reza: berdiri di depan podium, menerima penghargaan, dan bersalaman dengan tokoh-tokoh penting. Semua itu terasa tidak masuk akal.
Nadia mengerutkan kening. Hatinya dipenuhi campuran emosi—kaget, marah, dan bingung. Jika Reza memang sesukses ini, mengapa ia menyembunyikannya? Dan yang lebih menyakitkan, mengapa ia pergi dari hidup Nadia tanpa penjelasan?
Nadia meletakkan ponselnya di meja dan memandang keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia mencoba, semakin banyak pertanyaan yang muncul.
"Apakah dia selama ini hanya berpura-pura?" Nadia bergumam sendiri.
Ia teringat bagaimana Reza dulu selalu menghindari pembicaraan tentang masa depannya. Bagaimana ia selalu terlihat enggan membicarakan pekerjaannya secara mendalam. Apakah itu semua bagian dari rencana untuk menyembunyikan jati dirinya.
Pagi itu, Nadia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa terus hidup dengan pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.
“Aku harus tahu yang sebenarnya,” katanya sambil meraih ponselnya lagi.
Ia kembali membuka foto Reza, menatapnya dalam-dalam. Meski foto itu terasa asing, di balik jas mahal dan senyum profesional, Nadia tahu, itu tetaplah Reza yang pernah ia kenal atau setidaknya, ia pikir ia kenal.
“Jika ini semua hanya sandiwara, aku akan mencari tahu alasannya,” bisik Nadia dengan tekad.
Dengan hati yang berat tetapi penuh rasa ingin tahu, ia memutuskan bahwa ini adalah awal dari pencariannya untuk mengungkap kebenaran.
Nadia menatap ponselnya untuk terakhir kalinya sebelum meletakkannya di meja. Foto Reza masih memenuhi pikirannya, menimbulkan berbagai pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Namun, ia tahu pagi itu ia harus fokus pada rutinitasnya. Ia tidak bisa membiarkan rasa penasaran merusak produktivitasnya.
Dengan langkah berat, Nadia menuju kamar mandi. Air dingin yang mengalir membasahi tubuhnya sedikit membantu meringankan kekalutan di kepalanya.
Sambil menggosok sabun, pikirannya terus berputar. “Kenapa Reza tidak pernah bilang apa-apa? Kalau dia memang seorang CEO, mengapa dia hidup sederhana saat bersamaku?” pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar seperti lingkaran tak berujung.
Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk berhenti memikirkan hal itu. Namun, semakin ia mencoba, semakin kuat kenangan tentang Reza kembali menghantui.
“Sudahlah, Nadia. Ini sudah berlalu. Fokus saja pada harimu,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menyemangati.
Setelah mandi, Nadia mengenakan setelan kerjanya—blus putih sederhana dan celana panjang hitam yang rapi. Ia memandang cermin, memperhatikan bayangan dirinya. Sekilas, ia merasa tampak tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kebingungannya.
Sambil merapikan rambutnya, Nadia berpikir, “Haruskah aku mencoba mencari tahu lebih banyak? Atau aku biarkan saja ini menjadi masa lalu?”
Ia mengambil tas kerjanya dan berjalan keluar kamar, menyambar sepotong roti dari meja dapur untuk sarapan seadanya. Hari ini, ia harus menghadiri rapat besar, dan ia tidak ingin terlambat.
Ketika Nadia melangkah keluar dari apartemen, udara pagi yang segar menyambutnya. Tapi baginya, pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Bayangan foto Reza dan semua pertanyaan yang muncul darinya masih menggantung di pikirannya.
Di dalam lift, Nadia mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan, menyusun strategi untuk rapat nanti. Tetapi, di sudut hatinya, ia tahu ini hanya permulaan. Reza, dengan segala misterinya, telah membuka luka lama yang ia pikir sudah sembuh.
Ketika pintu lift terbuka di lobi, Nadia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan energi. "Fokus, Nadia," katanya dalam hati.
Nadia melangkah keluar dari gedung apartemennya dan berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi yang lewat. Udara pagi yang sejuk menyentuh kulitnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupi pikirannya sejak melihat foto Reza tadi.
Tidak butuh waktu lama, sebuah taksi berwarna kuning berhenti di hadapannya. Nadia membuka pintu, melangkah masuk, dan duduk di kursi belakang.
“Ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi, seorang pria berusia sekitar lima puluhan dengan senyum ramah.
“Ke kantor di Jalan Sudirman, Pak,” jawab Nadia sambil mengenakan sabuk pengaman.
Taksi mulai melaju, tetapi pikiran Nadia terus terombang-ambing. Ia mencoba memusatkan perhatian pada jalanan kota yang perlahan ramai oleh kendaraan, tetapi setiap suara klakson atau gemuruh mesin hanya membuat pikirannya semakin kacau.
Bayangan Reza dalam foto itu terus muncul di benaknya. "CEO? Apa yang sebenarnya terjadi selama ini?" gumam Nadia dalam hati.
Ia mencoba membuka ponselnya untuk melihat kembali foto itu, tetapi segera mengurungkannya. Ia tahu bahwa memikirkannya terlalu banyak hanya akan merusak mood paginya. Namun, semakin ia mencoba menghindar, semakin kuat rasa penasaran itu.
“Mbak kerja di kantor besar, ya?” tanya sopir taksi tiba-tiba, memecah keheningan.
Nadia tersenyum kecil. “Iya, Pak, tapi bukan perusahaan besar. Masih kecil kok.”
“Ah, tapi kelihatannya Mbak pasti orang sukses. Dari tadi mukanya serius banget, pasti banyak yang dipikirin,” kata sopir itu sambil tertawa kecil.
Nadia hanya tersenyum tipis. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa pikirannya bukan tentang pekerjaan, melainkan tentang seseorang dari masa lalunya.
“Mungkin memang banyak yang harus dipikirkan, Pak,” jawab Nadia akhirnya, mencoba tidak terdengar terlalu pribadi.
Sopir itu mengangguk mengerti, kemudian kembali fokus pada jalanan.
Setelah sekitar 20 menit, taksi berhenti di depan gedung kantor Nadia. Ia membayar ongkos perjalanan dan mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari taksi.
Saat melangkah masuk ke lobi gedung, Nadia mencoba menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menjalani hari yang panjang. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa pikirannya masih tertuju pada Reza.
“Kalau foto itu benar, aku harus cari tahu lebih banyak,” gumam Nadia pada dirinya sendiri sambil menunggu lift di lobi.
Ia tahu, meskipun hari ini ia harus fokus pada pekerjaannya, misteri tentang Reza akan terus mengusik pikirannya. Dan mungkin, cepat atau lambat, ia harus menghadapi kebenaran yang telah lama tersembunyi.
Setelah keluar dari lift di lantai kantor, Nadia melangkah cepat menuju meja kerjanya. Rekan-rekannya sudah sibuk dengan tugas masing-masing, dan suara ketikan keyboard memenuhi ruangan.
“Pagi, Nad!” sapa Lila, rekan satu timnya, sambil membawa setumpuk dokumen.
“Pagi, Lil,” balas Nadia, mencoba tersenyum meski pikirannya masih berkabut.
Lila mendekat dan meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Nadia. “Ini untuk presentasi siang nanti. Kamu sudah siap?”
Nadia mengangguk. “Sudah. Nanti aku cek lagi sebelum meeting.”
Namun, dalam hati, ia tahu dirinya belum benar-benar siap. Pikiran tentang foto Reza masih menghantuinya, seperti beban yang tidak bisa ia lepaskan.
Nadia membuka laptopnya dan mulai membaca dokumen yang diberikan Lila. Presentasi itu sangat penting, terkait dengan proyek baru yang sedang mereka kerjakan untuk menarik klien besar. Ia tahu bahwa kesuksesan proyek ini bisa memberikan pengaruh besar pada kariernya.
Namun, konsentrasinya terus terpecah. Setiap beberapa menit, pikirannya melayang kembali pada sosok Reza. Ia mengingat bagaimana Reza dulu selalu mendukungnya, bagaimana mereka berbagi mimpi bersama.
“Kamu harus fokus, Nadia,” katanya pada dirinya sendiri sambil menggelengkan kepala. Ia memutuskan untuk menuangkan energinya sepenuhnya ke dalam pekerjaan, berharap itu bisa mengalihkan pikirannya.
Ketika jam menunjukkan pukul 11, Nadia berjalan menuju ruang rapat dengan setumpuk dokumen di tangan. Rekan-rekannya sudah berkumpul, dan suasana di ruangan itu terasa tegang. Presentasi ini adalah salah satu momen penting yang akan menentukan keberhasilan mereka.
Ketika gilirannya tiba, Nadia maju ke depan dan mulai mempresentasikan rencananya. Suaranya terdengar tegas, meskipun di dalam hatinya masih ada rasa gelisah yang tak bisa ia hilangkan.
“Strategi ini akan meningkatkan engagement klien hingga 20% dalam tiga bulan pertama,” jelas Nadia sambil menunjuk grafik di layar proyektor.
Para atasan dan klien yang hadir tampak terkesan. Beberapa dari mereka mengangguk, dan salah satu direktur bahkan memberikan pujian setelah presentasi selesai.
“Nadia, kerja bagus. Presentasi ini sangat kuat. Aku yakin ini akan membawa hasil positif,” kata direktur itu sambil tersenyum.
Nadia mengangguk sambil tersenyum kecil. Meskipun ia merasa lega, perasaan puas itu tidak sepenuhnya utuh. Bayangan Reza masih membayangi pikirannya.
Setelah rapat selesai, Nadia kembali ke meja kerjanya. Ia membuka email untuk memeriksa tugas berikutnya, tetapi jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Ia merasa tidak bisa melanjutkan tanpa setidaknya mencoba memahami apa yang sedang terjadi dalam pikirannya.
Ia membuka browser di laptopnya dan mengetik nama “Reza Aditya” di kolom pencarian. Beberapa artikel muncul, sebagian besar tentang kesuksesan bisnisnya dan perannya sebagai CEO muda yang inovatif.
Namun, salah satu artikel menarik perhatiannya: “Reza Aditya: Perjalanan Karier yang Penuh Misteri.”
Nadia menatap layar itu, merasa ragu. Apakah ia benar-benar ingin mengetahui lebih banyak tentang pria yang dulu sangat ia cintai?
Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengklik artikel itu. Dan di situlah ia mulai memahami bahwa ada banyak hal yang Reza sembunyikan darinya, dan mungkin, dari semua orang.
Saat jam kerja hampir selesai, Nadia tahu bahwa ia tidak bisa terus mengabaikan semua ini. Jika Reza menyimpan rahasia, ia ingin tahu alasannya. Tetapi untuk saat ini, ia harus menyelesaikan pekerjaannya dulu.
“Besok,” Nadia berbisik pada dirinya sendiri. “Besok aku akan mencari tahu lebih banyak.”
Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Misteri tentang Reza baru saja dimulai.
Setelah hari yang penuh dengan rapat dan tenggat waktu yang menuntut, Nadia akhirnya selesai bekerja. Walaupun presentasi tadi berjalan lancar, pikirannya masih dipenuhi dengan satu hal: Reza. Foto yang dilihatnya pagi tadi, segala pertanyaan yang mengganggu semuanya terasa seperti beban yang semakin berat.
Ketika ia keluar dari gedung perkantoran, langit mulai berubah warna, menandakan matahari akan segera terbenam. Ia berjalan keluar menuju jalan utama, berharap bisa segera naik taksi untuk kembali ke apartemennya. Namun, setelah beberapa menit menunggu, ia menyadari taksi tak ada yang lewat. Jalanan mulai sedikit padat, dan taksi sepertinya terlalu sulit ditemukan di jam-jam seperti ini.
"Nampaknya taksi sudah langka," pikir Nadia sambil mengerutkan dahi. Setelah menunggu beberapa menit lagi dan melihat taksi yang sepertinya tak akan datang dalam waktu dekat, ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ojek online yang sering dipakai.
Nadia segera membuka aplikasi ojek online di ponselnya dan memesan satu perjalanan. Beberapa detik kemudian, notifikasi datang bahwa pengemudi telah menerima pesanan. Nadia berjalan ke pinggir jalan dan menunggu kedatangan ojek.
Tak lama, motor ojek berhenti di depannya. Seorang pengemudi pria muda dengan jaket ojek online terlihat ramah. Nadia membuka helm dan mengenakan pelindung kepala itu, lalu naik ke motor. Mereka memulai perjalanan menuju apartemennya.
Sepanjang perjalanan, udara malam terasa segar, namun pikirannya tetap terjebak di antara pertanyaan-pertanyaan tentang Reza. Setiap kali ia menutup mata, bayangan pria itu muncul, mengingatkan pada kenangan indah yang seolah telah hilang begitu saja.
Motor itu melaju cepat melalui jalan-jalan kota, namun Nadia hanya terbenam dalam pikirannya. Ia sesekali melirik keluar, melihat kota yang sibuk, tetapi pikirannya masih jauh, mengingat kembali foto-foto yang ia lihat di media sosial.
Motor ojek itu tiba di sekitar jalan dekat apartemennya. Tiba-tiba, pengemudi ojek itu berhenti di sebuah lampu merah. Nadia melirik ke kanan dan melihat sebuah kafe yang pernah ia kunjungi bersama teman-temannya beberapa kali. Saat itulah matanya tertuju pada sebuah mobil mewah yang sedang berhenti di depan kafe itu. Ia hanya bisa melihat sekilas melalui kaca jendela, namun saat itu, hati Nadia tiba-tiba berdebar.
Di dalam mobil tersebut, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya—Reza.
Reza, dengan jas hitam rapi, berbicara dengan seseorang di dalam mobil. Ia tampak sibuk, seolah ada urusan penting yang sedang dibahas. Nadia tertegun. Ia tidak percaya bahwa dia akan menemui Reza di tempat yang tidak terduga seperti ini.
Hampir seketika, perasaan campur aduk muncul dalam diri Nadia. Hatinya berdebar cepat, tetapi ia tetap diam, tidak ingin terlihat mengenali pria itu. Ojek pun melaju kembali, melewati mobil mewah itu dan menuju apartemennya.
Reza di sana, begitu dekat. Nadia merasakan kehadirannya bahkan tanpa berbicara satu kata pun. Namun, ada perasaan yang membingungkannya. Mengapa Reza berada di sana? Mengapa tidak ada penjelasan tentang keberadaannya selama ini?
“Apakah aku harus menghampirinya? Atau biarkan saja semua ini berlalu?” pikir Nadia, merasakan ketegangan yang membelit dirinya.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari biasanya, motor ojek itu berhenti di depan gedung apartemennya. Nadia membayar ongkos perjalanan dan turun dengan perasaan yang tidak menentu. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang baru saja ia lihat.
Dengan langkah berat, ia memasuki lobi gedung, menaiki lift, dan akhirnya sampai di apartemennya. Setelah membuka pintu, Nadia langsung melepaskan jaket dan menaruh tas di meja. Ia meraih ponselnya dan duduk di sofa, mencoba mengumpulkan pikiran yang sudah begitu kacau.
Setiap pertanyaan tentang Reza semakin mendalam. Mengapa dia tidak menghubunginya? Mengapa dia pergi tanpa kata? Dan yang lebih penting, siapa pria itu yang berdiri di sampingnya di dalam mobil mewah tadi? Apakah semuanya hanya kebetulan?
“Esok, aku akan mencari tahu lebih banyak,” bisik Nadia pada dirinya sendiri. “Aku harus tahu kebenarannya.”
Nadia duduk di sofa, matanya menatap layar ponselnya yang gelap. Pikirannya masih sibuk dengan sosok Reza dan semua tanda tanya yang kini menghantuinya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya lebih jauh, ponselnya berbunyi, sebuah notifikasi masuk.
Ternyata pesan dari Lila.
Pesan Lila
"Nad, besok ada acara sosial yang harus kamu ikuti! Semua staf wajib hadir. Aku sudah daftar namamu. Jangan khawatir, ini kesempatan bagus buat networking dan sekaligus refreshing. Temanya tentang pengembangan diri, jadi pasti bermanfaat juga. Jangan lupa datang ya!"
Nadia menatap pesan itu dengan ragu. Acara sosial? Baru saja ia merasa dikelilingi pertanyaan tentang Reza, dan sekarang Lila mengingatkannya akan acara ini. Sebenarnya, Nadia tidak begitu antusias. Ia merasa lelah dengan segala hal yang mengisi pikirannya. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan baik untuk berkenalan dengan orang-orang baru di luar pekerjaan, mungkin bisa menjadi hiburan sejenak dari pikirannya yang kacau.
"Nah, ini bisa jadi distraksi," pikir Nadia. Ia menghela napas panjang sebelum membalas pesan Lila.
Pesan Balasan Nadia
"Oke, Lil. Terima kasih sudah mendaftar. Aku akan coba datang."
Setelah membalas pesan, Nadia meletakkan ponselnya dan berjalan ke dapur. Ia merasa sedikit lebih baik setelah memutuskan untuk menghadiri acara itu. Mungkin itu adalah langkah yang tepat mengalihkan pikirannya sejenak dari Reza dan segala hal yang belum ia pahami.
Namun, meskipun ia berusaha menenangkan diri, masih ada perasaan aneh yang mengganggu. Mungkin acara sosial itu bisa menjadi kesempatan baginya untuk lebih fokus pada hal-hal lain, tetapi di dalam hati, ia tahu, bayangan Reza tetap akan terus menghantuinya.
Setelah makan malam ringan, Nadia memutuskan untuk beristirahat. Ia menyalakan lampu tidur yang lembut di kamarnya dan berbaring di tempat tidur, berusaha tidur lebih awal agar bisa siap menghadapi acara besok.