"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lagi-Lagi Bianca
Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Niklas, aku dan pria itu terjebak dalam aksi diam. Aku sama sekali tak mau menoleh padanya yang tengah fokus menyetir. Sampai-sampai leherku sedikit pegal karena menoleh ke kiri, menyaksikan pemandangan jalanan dari kaca mobil.
Tiba-tiba langit siang yang terik berubah menjadi sedikit gelap. Suara gemuruh terdengar beberapa kali di antara sepinya jalan yang menuju rumah Ayah Sandy. Letak perumahan yang agak jauh dari jantung kota membuat kami menempuh cukup banyak waktu.
"Kalau aku nggak datang menjemputmu tadi, kamu pasti sudah pergi dengan pria itu," ucap Niklas seiring bergeraknya mobil memasuki area perumahan.
"Mau mengomentari urusanku sekarang? Kurasa kamu yang bilang kita harus mengurus diri sendiri," Aku menjawab cepat.
"Sungguh, aku nggak peduli dengan siapa pun kamu terlibat, Tsania. Hanya saja, kalau ini menyangkut orang tuaku, ayahmu, atau apa pun tentang tujuan pernikahan kita, lebih baik kamu jadikan hal-hal itu sebagai prioritas."
"Jangan mengajariku soal prioritas, Niklas."
"Mereka akan memarahi kamu jika ketahuan memprioritaskan pria lain." Niklas seakan-akan tak mau mendengar kata-kataku.
Aku menoleh padanya. "Kamu membicarakan aku dengan pria lain, seakan kamu nggak melakukannya," kataku.
"Bianca maksudmu?" Niklas menoleh sesaat. Mobil berhenti di depan gerbang lebar rumah Ayah Sandy. "Ya sudah, baiknya kita nggak usah ikut campur dengan urusan masing-masing."
Tanpa mau memperpanjang pembicaraan, Niklas turun dari mobil. Seorang penjaga membuka gerbang rumah untuk kami. Seperti sudah tahu sang anak majikan telah datang. Aku turun dan menyusul berjalan di belakang Niklas.
Ibu Julia muncul dari dalam rumah berarsitektur eropa tersebut. Wanita itu tampak anggun dalam balutan dress panjang berwarna broken white. Senyum ramahnya terlukis saat melihatku, lalu tanpa ragu dia memberikan sebuah pelukan.
"Akhirnya kalian datang juga. Kenapa lama sekali?" tanya Ibu Julia.
"Maaf, Bu. Tadi agak macet," jawabku.
"Ya sudah, ayo. Ayah kalian sudah menunggu di dalam." Wanita ini menggandeng tanganku memasuki rumah.
Diam-diam aku penasaran bagaimana selama ini Ibu Julia memperlakukan Elma ketika masih hidup. Mungkinkah Elma akan disambut dengan baik dan senang saat datang ke rumah ini? Atau justru sebaliknya? Aku sedikit merasa bersalah karena membiarkan Elma menikah dengan Niklas, sebab keluarga lelaki itu ternyata tak menyukainya
Keluarga Atmaja, begitulah sebutan bagi keluarga Niklas. Lahir dan tumbuh dalam keluarga pengusaha yang cukup berada membuat Niklas menjadi cukup populer juga di kalangan banyak gadis. Apalagi dengan statusnya sekarang, direktur utama Atmaja Mart, salah satu anak perusahaan keluarganya.
Konon, keluarga Atmaja dan keluarga angkatku—Ayah Irfan—katanya berteman dekat. Anak-anak seperti kami tentu saja harus diperkenalkan satu sama lain. Bohong kalau aku tak jatuh cinta pada Niklas saat pertama kali bertemu. Dia tampan dengan seragam sekolah SMP-nya rapi dan licin. Senyum menawan, tatapan teduh, dan perhatiannya yang akan membuatmu tergila-gila.
Akan tetapi, bukan hanya aku yang jatuh cinta kala itu. Banyak gadis yang menyukai Niklas. Termasuk kakakku, Elma. Namun, di antara gadis-gadis itu, akulah yang mungkin disebut beruntung pada masanya. Niklas jatuh cinta padaku, dia mengatakannya saat lulus SMP, lalu kami berpacaran. Singkat cerita hubungan kami bertahan lama sampai benar-benar menjadi orang dewasa. Singkatnya lagi, kami berakhir menyedihkan.
"Oh, Tsania sudah datang," ujar Ayah Sandy yang muncul dari lantai dua.
Lamunanku terganggu dan aku kembali fokus pada hari ini. "Selamat siang, Ayah. Apa kabar?" sapaku saat menjabat tangannya.
"Baik, baik sekali. Untung kalian mau ke sini, ayah jadi sangat semakin membaik." Tatapan Ayah Sandy terbagi antara aku dan Niklas. "Ayo, duduk! Nanti makanannya keburu dingin.
Sementara aku berbincang dengan kedua orang tuanya, Niklas tak banyak bicara. Fokus pada makanan, lalu sesekali mengecek ponsel. Mungkin bukan hanya aku, tetapi orang tuanya barangkali menyadari itu. Ibu Julia sampai berdeham selama sekian detik.
"Nanti kalian harus pergi berdua menemui Dokter Rita," kata Ibu Julia tiba-tiba membahas itu. Atensi Niklas berhasil dia dapatkan. "Niklas, kamu jangan terlalu sibuk, dong. Ingat Tsania dan kalian harus memiliki anak. Temani dia ke rumah sakit, dia kan istri kamu sekarang."
"Ya, lain kali," jawab Niklas dengan sedikit enggan.
Ayah Sandy ikut menyeletuk, "Ayah tau kamu akan sukar menerima ini, Niklas, tapi cobalah. Tsania gadis yang baik, sama seperti Elma." Sepasang mata Ayah Sandy sempat terarah padaku. Sebelum akhirnya menatap Niklas lagi. "Bukankah kamu lebih mengenal Tsania dari pada kami?"
Pertanyaan itu serta-merta membuat gerakan tanganku terhenti. Aku menahan sendok di atas piring, seiring tatapan yang beralih pada Niklas. Pria itu juga menatapku karena ucapan Ayah Sandy mungkin melempar juga ingatannya ke masa lalu.
Aku melengos saat dia membalas tatapanku. Lalu Niklas berkata, "Tidak lagi."
Ya, Niklas benar. Sekarang kami asing. Tak lagi mengenal baik satu sama lain.
———oOo———
Sepulang dari rumah Ibu Julia, aku dikagetkan lagi dengan kedatangan Bianca. Wanita itu rupanya serius saat berkata bahwa kami akan sering bertemu. Entah karena urusan apa, lagi-lagi dia datang tanpa merasa malu.
"Selamat sore, Pak Niklas, Tsania," ucap Bianca dengan ramah. Wanita yang memakai rok span hitam itu mengamati Tsania dan tersenyum penuh kemenangan. "Maaf, Tsania, aku harus ke sini lagi untuk membicarakan masalah pekerjaan dengan Pak Niklas."
Padahal mereka bisa membicarakan lewat ponsel atau surel. Namun, aku tidak akan heran, sebab Niklas juga terlihat tak terganggu oleh kedatangan wanita itu. Apa yang perlu aku khawatirkan? Karena Niklas dan Bianca juga tak akan peduli dengan responsku.
"Masuklah!" ajak Niklas pada Bianca. "Tunggu di ruangan saya."
"Baik, Pak Niklas."
Lagi-lagi Bianca melenggang tanpa sungkan. Seakan-akan dia sudah sangat akrab dengan rumah ini. Jangan-jangan dugaanku benar, kalau Niklas sebenarnya sudah sering membawa Bianca ke sini?
"Kenapa?" tanya Niklas saat aku masih fokus menyaksikan tubuh Bianca yang menghilang di balik pintu ruang kerja lelaki itu.
"Bukan apa-apa. Sebaiknya kamu segera menemui sekretarismu itu," kataku.
"Mau memprotes sekarang?" Niklas menatapku penuh selidik.
"Protes? Buat apa? Kalaupun aku protes, aku hanya meminta kamu untuk nggak membawanya ke sini terlalu sering, tapi jika dipikir-pikir itu seperti aku terlalu mengurus urusanmu. Jadi, lakukan saja sesuka kamu, Niklas."
Aku melengos meninggalkannya. Tak menduga Niklas akan menarik tanganku di depan anak tangga. Sikap anehnya membuatku terkesiap. Aku menghempas kasar tangannya.
"Mau apa lagi?!" Aku menyergah. Dia ingin mengajak bertengkar lagi, ya?
"Kalau kamu nggak terima, kamu bisa melakukan hal yang sama," katanya.
"Apa?" Keningku mengernyit saat ia berkata demikian.
"Bawa lelaki itu ke sini kalau kamu nggak terima aku membawa Bianca. Siapa namanya ... Ervin?" Niklas tampak kebingungan dan aku tahu itu dibuat-buat.
Tanpa ragu aku mendorong bahunya. Jauh di luar dugaanku, Niklas malah berpikir seperti itu. Berpikir yang tidak-tidak tentangku.
"Kamu pikir aku sebrengsek itu, Niklas?" Aku menggeleng seraya mendongak, menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Apa aku terlihat sekotor pikiranmu itu, ya?"