abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Gerbang Kegelapan
Ketika pintu besar dari logam hitam itu terbuka, aroma busuk yang menusuk mencuat, memaksa mereka menutup hidung. Ruangan di baliknya gelap gulita, tetapi cahaya lilin di luar memantulkan kilau aneh pada dinding-dinding yang basah dan licin seperti dilapisi lendir. Suara gemeretak halus terdengar dari dalam kegelapan, seolah-olah sesuatu yang besar dan tak terlihat sedang bergerak.
"Kita tidak punya pilihan," bisik Isabella sambil menelan ludah, tangannya masih menggenggam erat belati kecilnya.
Jonathan menyalakan obor yang ia temukan di sepanjang lorong sebelumnya. Api kecil itu mulai menerangi ruangan. Mereka menemukan diri mereka di sebuah lorong panjang dengan dinding yang terbuat dari batu hitam. Pada dinding itu terdapat ukiran-ukiran aneh berupa wajah-wajah yang tampak meringis kesakitan.
"Lihat itu," kata Viktor, menunjuk ke salah satu ukiran. "Wajah-wajah itu... sepertinya mereka hidup."
Saat mereka mengamati lebih dekat, mata dari salah satu ukiran tampak bergerak, mengikuti mereka. Jonathan mundur dengan cepat, merasa ngeri. "Ini bukan tempat biasa. Kastil ini menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang kita bayangkan."
Mereka melanjutkan langkah mereka dengan hati-hati. Setiap langkah terasa seperti membawa mereka lebih jauh ke dalam rahasia gelap kastil ini. Lantai di bawah mereka basah dan lengket, seperti dilumuri cairan yang tak bisa mereka kenali.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Suara itu datang semakin mendekat—pria bertopeng dan pria kurus itu mengejar mereka.
"Lebih cepat!" teriak Isabella, mendorong yang lain untuk berlari.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak jauh, lorong di depan mereka tiba-tiba berguncang hebat, seolah-olah sesuatu yang besar sedang bangkit dari bawah tanah. Batu-batu di dinding mulai retak, dan dari retakan-retakan itu, cairan hitam pekat merembes keluar, menyebar di lantai dan dinding.
Dari dalam kegelapan, suara gemuruh terdengar, diikuti oleh jeritan-jeritan yang tak manusiawi. Lalu, sesuatu muncul di hadapan mereka. Sebuah sosok raksasa dengan tubuh yang tampak seperti kumpulan daging dan tulang yang tidak beraturan. Wajahnya tidak jelas, tetapi matanya bersinar merah darah, menatap mereka dengan kebencian yang mendalam.
"Apa itu?!" Viktor mundur dengan ketakutan, hampir terjatuh.
"Sebuah penjaga," jawab Isabella dengan suara gemetar. "Ini pasti penjaga dari pintu ini... atau sesuatu yang lebih buruk."
Makhluk itu menggeram, suaranya mengguncang seluruh lorong. Dengan gerakan cepat yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar, ia melompat ke arah mereka. Jonathan berhasil mendorong Isabella ke samping, menghindari serangan makhluk itu, tetapi lantai di tempat mereka berdiri sebelumnya hancur berkeping-keping.
"Kita tidak bisa melawannya!" teriak Jonathan.
"Kita harus mencoba!" jawab Isabella. Ia melemparkan belatinya ke arah makhluk itu, tetapi senjata kecil itu hanya terpental dari tubuhnya yang keras seperti baja.
Makhluk itu mengayunkan lengannya yang besar ke arah mereka lagi. Kali ini, Viktor, meski terluka, mengambil obor Jonathan dan melemparkannya ke wajah makhluk itu. Api obor menyala terang saat menyentuh cairan hitam yang menetes dari tubuh makhluk itu, membuatnya mengaum kesakitan.
"Api! Itu kelemahannya!" seru Jonathan.
Isabella mengambil lilin dari dinding dan menyulutnya dengan api dari obor yang jatuh. Mereka menyerang makhluk itu dengan api seadanya, memaksanya mundur sedikit demi sedikit. Namun, setiap kali makhluk itu tampak tertekan, lebih banyak cairan hitam merembes keluar dari dinding, seolah-olah kastil ini memberikan energi baru kepadanya.
"Tidak ada gunanya! Dia tidak bisa dikalahkan!" kata Viktor putus asa.
Namun, sebelum mereka menyerah, dinding di belakang mereka mulai bergerak. Sebuah pintu kecil terbuka, memperlihatkan lorong lain yang tampak lebih gelap tetapi penuh dengan cahaya redup di ujungnya.
"Kita harus masuk ke sana!" kata Isabella.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke lorong itu. Makhluk raksasa itu mengaum marah, tetapi tubuhnya tampaknya terlalu besar untuk masuk ke pintu kecil itu. Ia mencoba mengejar mereka, tetapi hanya bisa menggapai dengan lengannya yang besar.
Mereka terus berlari, tidak peduli seberapa jauh lorong itu membawa mereka. Suara jeritan dan gemuruh di belakang mereka semakin memudar, tetapi perasaan takut tidak kunjung hilang.
Lorong itu akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan lain—lebih besar, lebih gelap, dan lebih mengerikan. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah altar besar yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala dengan api hitam. Di atas altar, ada sebuah buku besar yang tampak sangat tua, dengan kulitnya terbuat dari sesuatu yang menyerupai kulit manusia.
"Apa ini?" tanya Jonathan, mendekati altar dengan ragu.
Isabella memandang buku itu dengan perasaan campur aduk. "Ini pasti inti dari semua ini... sesuatu di sini yang mengendalikan kastil ini."
Namun, sebelum mereka bisa menyentuh buku itu, pintu di belakang mereka tertutup dengan keras. Dari dalam kegelapan, suara langkah berat terdengar lagi. Pria bertopeng dan pria kurus itu muncul, kali ini dengan wajah penuh kemarahan.
"Kalian tidak seharusnya ada di sini," kata pria bertopeng dengan nada dingin. "Kalian telah melampaui batas kalian."
Pria kurus itu mengeluarkan sebuah pisau kecil yang tampak tajam. "Sekarang, kita akan mengakhiri permainan ini."
Isabella, Jonathan, dan Viktor mundur perlahan, menyadari bahwa mereka terpojok. Tapi Isabella tidak menyerah begitu saja. Matanya tertuju pada buku di atas altar.
"Mungkin ini jawabannya," pikirnya.
Dengan gerakan cepat, ia melompat ke altar dan meraih buku itu. Begitu ia menyentuhnya, seluruh ruangan bergetar, dan cahaya hitam dari lilin-lilin itu berubah menjadi api merah yang menyala-nyala.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak pria kurus itu.
Isabella membuka buku itu dan membaca kata-kata yang tertulis di dalamnya. Kata-kata itu terdengar seperti mantra, dan saat ia membacanya, suara gemuruh dari bawah tanah semakin keras.
Pria bertopeng dan pria kurus tampak ketakutan untuk pertama kalinya. "Hentikan!" teriak mereka bersamaan.
Namun, Isabella terus membaca. Cahaya merah menyala semakin terang, dan bayangan-bayangan mulai muncul di sekeliling mereka.
"Kastil ini hidup," kata Isabella dengan suara tegas. "Dan aku akan menghancurkannya, meskipun itu berarti kita semua harus mati di sini."
Mantra yang dibaca Isabella mulai mengubah segala sesuatu di sekitarnya. Dinding-dinding kastil retak, dan suara jeritan terdengar dari segala arah. Tetapi apakah itu akhir, atau justru awal dari sesuatu yang lebih mengerikan?