NovelToon NovelToon
Berondong Itu Adik Tiriku

Berondong Itu Adik Tiriku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Berondong / Ketos / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: NinLugas

Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.

Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.

Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak di restui Caroline

Denis berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit, tangannya menggenggam erat jemari Veltika yang terasa dingin. Wajahnya pucat pasi, matanya tak lepas memandang wanita yang kini tak sadarkan diri di atas ranjang dorong. Paramedis di sekeliling mereka bergerak sigap, berusaha membawa Veltika ke unit gawat darurat. Di sudut hatinya, Denis menahan rasa takut yang semakin menguasai.

Di ruang tunggu, ayah Veltika dan Caroline tiba dengan wajah penuh kekhawatiran. Caroline tampak gelisah, menyesal atas pertengkaran yang baru saja terjadi. "Apakah ini salahku?" gumamnya pelan, namun ayah Veltika hanya diam, terpaku, memikirkan kondisi putri tunggalnya.

Denis berdiri mematung di depan pintu ruang gawat darurat, matanya merah karena menahan air mata. Semua emosi yang ia pendam selama ini seolah meledak. Tatapan kosongnya berubah menjadi penuh rasa bersalah. "Kenapa aku harus mengatakan semua itu tadi?" bisiknya kepada dirinya sendiri. Suasana ruang tunggu dipenuhi aroma antiseptik yang menyengat, bercampur dengan kegelisahan yang melingkupi mereka semua.

Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan, membuka pintu dengan langkah tenang namun tegas. Denis segera mendekat. "Bagaimana kondisinya, Dok?" tanyanya dengan suara serak. Sang dokter menatapnya sejenak, lalu menjawab, "Veltika mengalami serangan vertigo hebat, dan tekanan darahnya sempat turun drastis. Tapi sekarang dia sudah stabil. Kami akan memindahkannya ke kamar perawatan untuk pemulihan."

Denis menghela napas panjang, rasa lega mulai merayapi hatinya. Namun, bayangan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya tak pernah lepas dari pikirannya. Caroline dan ayah Veltika saling bertukar pandang, menyadari bahwa keputusan-keputusan besar harus segera dibuat tentang Veltika, tentang masa depan, dan tentang cinta yang tak bisa lagi mereka abaikan.

Caroline duduk di sudut ruang tunggu, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang selalu ia bawa. Wajahnya pucat, matanya memandang kosong ke lantai. Kata-kata Denis tadi masih terngiang di telinganya, sementara pemandangan Veltika yang pingsan membuatnya merasa bersalah. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta maaf atau sekadar menenangkan diri, tetapi bibirnya terasa terkunci rapat.

Ayah Veltika duduk di sebelahnya, tapi dia pun diam, tidak tahu harus berkata apa. Keheningan yang menggantung di antara mereka membuat suasana semakin mencekam. Hanya suara langkah dokter dan perawat yang sesekali terdengar di lorong rumah sakit, menambah suasana dingin yang menusuk hati.

Caroline menatap Denis yang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat. Punggung lelaki muda itu tampak tegang, seperti menanggung beban yang begitu berat. Ia tahu Denis mencintai Veltika dengan cara yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Kenapa semua ini harus terjadi?" batinnya merintih.

"Caroline..." suara ayah Veltika akhirnya memecah keheningan. Ia menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara rasa marah, bingung, dan kecewa. "Kita tidak pernah melihat ini datang. Kita harus bicara dengan Denis... dan Veltika."

Caroline mengangguk pelan, tapi dalam hati ia masih bergulat dengan kenyataan yang ada. Bagaimana ia bisa menjodohkan Veltika dengan Ben jika ternyata putranya sendiri yang telah mengambil hati wanita itu? Bagaimana ia bisa menghadapi kenyataan bahwa selama ini ia telah mengabaikan perasaan Denis yang sesungguhnya?

Perawat akhirnya keluar dari ruangan, memberi tahu mereka bahwa Veltika telah dipindahkan ke kamar perawatan. Caroline berdiri, menghela napas panjang sebelum melangkah. Namun, langkahnya terasa berat. Di setiap langkah, ia merasakan bayangan peristiwa tadi menghantui pikirannya, membuatnya semakin sadar bahwa semua keputusan yang diambil setelah ini akan mengubah segalanya.

Ayah Veltika berdiri di depan jendela kamar rumah sakit, memandangi pemandangan kota yang samar-samar terlihat di balik tirai putih. Di dalam hatinya, perasaan berkecamuk antara tanggung jawab sebagai ayah dan rasa cinta yang tulus untuk putrinya. Sebagai seorang ayah, ia selalu ingin yang terbaik untuk Veltika—wanita muda yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang sejak kecil, terutama setelah ibunya tiada.

Ayah Veltika duduk di kursi rumah sakit, matanya tertuju pada pintu kamar perawatan tempat Veltika sedang terbaring. Ia menghela napas panjang, wajahnya penuh kerutan, menandakan kebingungannya. Sebagai seorang ayah, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putrinya, ingin melindungi dan membimbingnya dalam segala hal, termasuk soal jodoh. Namun, mendengar pernyataan Denis tadi, hati ayah Veltika terasa perih.

“Apakah benar dia yang terbaik untuk Veltika?” batinnya bertanya-tanya, merasa kesulitan menerima kenyataan bahwa hubungan anaknya dengan Denis, seorang pria muda yang datang dari luar lingkup kehidupannya, bisa berkembang sejauh ini. Namun, di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kebahagiaan yang terlihat jelas di mata Veltika setiap kali ia bersama Denis.

Ia memandang ke arah Caroline yang duduk terdiam di sebelahnya, tampak cemas dan bingung. Seperti halnya dirinya, Caroline juga harus menghadapinya—tanggung jawab sebagai orang tua, menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun di saat yang sama menyadari bahwa kebahagiaan anaklah yang paling penting. Jika Veltika merasa bahagia bersama Denis, apakah ia harus melawan perasaan itu hanya karena status atau latar belakang pria itu?

Ayah Veltika akhirnya berdiri, langkahnya berat tetapi penuh tekad. Ia tahu bahwa sebagai seorang ayah, ia tak bisa memaksakan kehendaknya terhadap anaknya. Veltika sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri, dan jika Denis bisa membuatnya bahagia, maka dia tak punya hak untuk menahannya.

"Veltika..." gumamnya pelan, meski ia tahu putrinya tak bisa mendengarnya. “Jika dia memang yang terbaik untukmu, aku akan merestui hubungan kalian. Tapi, jangan sampai kamu terluka, nak.”

Dengan perasaan campur aduk, ayah Veltika melangkah keluar dari ruang tunggu, menuju kamar perawatan putrinya. Ia harus berbicara dengannya, mengerti apa yang sebenarnya ada dalam hati Veltika. Ini adalah Momen yang tak bisa dihindari lagi.

Caroline diam saja, wajahnya masih tegang, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia berdiri dan melangkah keluar dari ruang perawatan Veltika. Suara langkah sepatunya terdengar jelas di lorong rumah sakit, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Denis yang menyadari kepergian Caroline, segera bangkit dan menyusulnya. "Mama, tunggu!" panggil Denis dengan nada tegas, tapi penuh harapan. Caroline berhenti sejenak, tanpa menoleh, kemudian melanjutkan langkahnya ke taman rumah sakit.

Sesampainya di taman, Caroline berhenti, memandangi hamparan bunga yang terhampar di depan matanya. Tangannya terlipat di dada, mencoba menenangkan diri. Namun, Denis tahu bahwa hati ibunya sedang diliputi badai emosi.

"Mama," Denis membuka percakapan dengan lembut, berdiri di samping Caroline. "Aku tahu Mama tidak setuju... tapi aku sungguh-sungguh mencintai Veltika. Ini bukan main-main."

Caroline menghela napas panjang, namun tetap tak menoleh. "Denis, kamu tidak mengerti. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," ucapnya dingin. "Dan Veltika... dia bukan pilihan yang tepat. Hubungan kalian rumit, dan aku tidak ingin melihatmu terluka."

Denis menatap ibunya dengan penuh tekad. "Mama, aku tahu hubungan ini tidak mudah. Tapi, aku tidak bisa berpura-pura seolah aku tidak peduli. Veltika adalah orang yang membuatku merasa utuh. Aku tidak peduli seberapa rumitnya, aku akan menghadapinya."

Caroline akhirnya menoleh, matanya penuh dengan kekhawatiran dan rasa sayang yang mendalam. "Denis, cinta saja tidak cukup. Kamu harus memikirkan masa depan. Apa yang akan orang lain katakan? Bagaimana keluarga kita menghadapi ini?"

Denis menatap langsung ke mata ibunya. "Mama, masa depan yang aku inginkan adalah bersama Veltika. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa membahagiakannya. Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Yang penting adalah perasaan kami."

Caroline terdiam, hatinya masih berkecamuk. Ia tahu Denis tidak akan mudah menyerah. Namun, kekhawatiran sebagai seorang ibu masih membayangi pikirannya. "Kita lihat saja, Denis. Tapi ingat, aku tidak akan tinggal diam jika sesuatu terjadi pada kalian." Dengan kata-kata itu, Caroline berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Denis yang tetap berdiri tegak dengan tekad yang semakin kuat.

1
Widyasari Purtri
q mampir kak.setangkai mawar untukmu
NinLugas: terimakasih
total 1 replies
Nikodemus Yudho Sulistyo
Menarik. pasti lebih banyak intrik nantinya. lanjut...🙏🏻🙏🏻
NinLugas: iya ni mau lanjut nulis lg, semngt juga kamu ka
Nikodemus Yudho Sulistyo: tapi menarik kok. semangatt...
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!