Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap Menginkan Denis
Di bawah guyuran shower, Veltika berdiri lama, membiarkan air hangat mengalir membasahi tubuhnya. Tubuhnya lelah, bukan hanya karena hari yang penuh dengan pekerjaan, tetapi juga karena perasaan yang terus bergolak dalam dirinya. Setiap kata, setiap sikap Denis membuatnya merasa terjebak dalam kebingungan. Namun, dalam kebingungan itu, ada juga perasaan yang tidak bisa ia hindari — perasaan yang seharusnya sudah lama ia pertimbangkan, tetapi selalu terabaikan.
"Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pelan, menundukkan kepala, meresapi setiap tetesan air yang jatuh. Veltika tahu, Denis adalah orang yang bisa membuat hatinya berdetak lebih kencang, tapi di sisi lain, dia merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ada kekuatan dalam tatapan Denis, dalam caranya mendekat, yang membuatnya merasa lemah, terjebak dalam rasa yang sulit untuk dibendung.
Namun, apakah ini yang benar-benar dia inginkan? Apakah ini adalah perasaan yang seharusnya dia pertahankan?
Veltika menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata untuk sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Rasa lelah ini bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Denis, dengan segala kehangatan dan ketegasannya, mengisi setiap sudut hati Veltika, tapi itu juga membuatnya merasa cemas dan tertekan. Setiap perasaan yang tumbuh adalah sumber kebahagiaan sekaligus keraguan yang menghantuinya.
Dia menoleh ke cermin di sudut kamar mandi, melihat pantulan dirinya yang masih basah. "Aku tidak tahu harus bagaimana," pikirnya, merasa bingung akan apa yang sebenarnya dia inginkan. Tapi satu hal yang pasti, di balik semua keraguan dan kebingungannya, Denis selalu ada, mengisi ruang yang tak bisa diisi oleh siapapun.
Dengan perlahan, Veltika menutup matanya, membiarkan perasaan itu mengalir begitu saja. Sesaat, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang sulit dimengerti, tetapi entah kenapa, dia tahu bahwa Denis adalah bagian dari dirinya yang tidak bisa diabaikan.
Beberapa saat Veltika memilih untuk diam, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara dirinya dan Denis. Dia merasa bahwa kata-kata hanya akan memicu pertengkaran lebih lanjut. Saat ini, dia hanya ingin mengambil waktu untuk meresapi segalanya tanpa ada tekanan atau keributan. Hatinya bergejolak, penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Dia tahu bahwa Denis juga merasakannya, tapi terkadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak dibicarakan.
Denis, yang berdiri di dekatnya, sepertinya merasakan ketegangan itu. Namun, ia juga memilih untuk tidak berkata apa-apa. Mereka berdua hanya saling bertatapan dalam keheningan, saling memahami tanpa perlu banyak kata. Ada banyak hal yang belum diselesaikan antara mereka, dan mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya.
Veltika menatap ke luar jendela, melihat cahaya matahari yang mulai memudar di langit. Pikirannya kembali melayang, berpikir tentang semua yang telah terjadi antara mereka, tentang perasaan yang tumbuh, dan tentang apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya. Mungkin, untuk saat ini, yang terbaik adalah memberi ruang bagi diri mereka masing-masing untuk berpikir.
Denis menghela napas pelan, namun tidak mengatakan apapun. Dalam diam, Veltika bisa merasakan betapa berat perasaan yang dirasakan Denis juga. Mereka berdua saling mengerti bahwa ada banyak hal yang belum jelas, dan mungkin waktu akan memberikan jawaban.
Dalam keheningan itu, Veltika tahu bahwa apa yang mereka butuhkan sekarang bukanlah kata-kata, melainkan pemahaman. Sesekali, ada momen di mana diam itu lebih berarti daripada berbicara. Dan untuk sekarang, mereka memilih untuk memberi ruang, berharap suatu saat mereka akan menemukan jalan keluar dari kebingungan ini.
Di kantor, Veltika tidak bisa menahan pikirannya yang terus kembali pada Denis. Setiap kali dia menatap layar komputernya atau mendengarkan rapat yang sedang berlangsung, bayangan Denis selalu hadir dalam benaknya. Dia mengingat senyuman manis Denis yang mampu membuat hatinya berdebar, meskipun di sisi lain sikap kekanak-kanakan Denis sering kali membuatnya merasa terganggu.
Terkadang, Denis bertindak seperti anak kecil, egois dan suka mendominasi, membuat Veltika merasa harus terus mengatur langkahnya dengan hati-hati agar tidak terjadi konflik. Namun, di balik sikap itu, Veltika juga melihat sisi lain dari Denis—sisi yang penuh perhatian, tulus, dan terkadang penuh kejutan. Meskipun kadang membuatnya kesal, Veltika tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran Denis mampu membuat dunia sekitarnya terasa lebih hidup.
Saat Veltika menyandarkan tubuhnya sejenak di kursinya, matanya terpaku pada meja di depannya. Teringat akan kebersamaan mereka, mulai dari pertemuan pertama mereka yang terasa begitu ringan, hingga ciuman yang membuat hatinya terombang-ambing. Denis memiliki cara untuk membuatnya merasa dihargai, meskipun terkadang ia juga memberikan rasa frustrasi.
Veltika tahu bahwa hubungan ini bukanlah hal yang mudah. Ada begitu banyak perasaan yang tercampur aduk—keinginan, keraguan, kecemburuan, dan kebingungan. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin dalam terhadap Denis. Meskipun kadang Denis membuatnya kesal, ada bagian dari dirinya yang selalu ingin dekat dengan pria itu.
Sambil melanjutkan pekerjaannya, Veltika berpikir, Apakah ini hanya perasaan sesaat, atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang tumbuh di antara kami? Tapi saat itu, dia memilih untuk tetap fokus pada pekerjaannya, meskipun hatinya terus berbisik tentang Denis.
Tok, tok. Suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Veltika. Ia langsung menoleh ke arah pintu, terkejut karena tidak menyadari sudah begitu lama tenggelam dalam pikirannya.
"Masuk," ujar Veltika dengan suara datar, berusaha mengendalikan dirinya dari perasaan yang masih terombang-ambing.
Pintu terbuka perlahan, dan Refal muncul di ambang pintu dengan senyuman tipis di wajahnya. "Hei, lagi sibuk?" tanya Refal sambil melangkah masuk, matanya memindai ruang kantor Veltika dengan cermat.
"Sedikit," jawab Veltika, kembali menatap layar komputernya. Meskipun tidak ada nada khusus dalam suaranya, dia merasa canggung. Sejak kejadian kemarin, hubungan mereka terasa berbeda, meski Veltika berusaha menjaga sikap profesional.
Refal berdiri di dekat meja kerja Veltika, mengamati wanita itu sejenak sebelum berbicara lagi. "Aku sudah dengar kabar kalau kamu batal makan malam kemarin," ujarnya dengan nada santai, tapi matanya memancarkan pertanyaan.
Veltika terdiam sejenak, menahan napas. "Ya, aku memutuskan untuk fokus pada pekerjaan dan beberapa hal lain," jawabnya dengan hati-hati, berusaha memberi alasan yang terdengar masuk akal.
Refal mengangguk, meski ekspresinya sedikit sulit dibaca. "Aku mengerti," katanya pelan. "Tapi, aku harap kamu tidak membuat keputusan hanya karena Denis, Veltika." Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Refal, penuh dengan makna yang lebih dalam daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Veltika merasa sebuah ketegangan muncul di antara mereka. Namun, ia berusaha tetap tenang, menghindari mata Refal yang menyorot tajam. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud," jawabnya dengan suara datar, meskipun dalam hatinya, ada rasa bersalah yang tak bisa dihindari.
Refal menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu, Veltika. Jika kamu membutuhkan seseorang." Dia menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan menuju pintu.
"Sama halnya dengan Denis, mungkin," tambahnya, suara penuh makna.
Veltika terdiam, menatap kepergian Refal dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, hubungan ini semakin rumit, dan setiap langkah yang diambil akan semakin sulit untuk mundur.