Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siska
Pulang bekerja di waktu senja, menjadi rutinitas yang mulai terasa membosankan. Bagi sebagian orang, memiliki pekerjaan tetap merupakan impian. Namun untuk orang yang sudah menjalaninya selama beberapa tahun ternyata rasa jenuh mulai datang menghampiri.
Tabah memarkir motornya di garasi rumah. Ada beberapa cat yang mengelupas terlihat jelas pada bagian depan motor matic nya. Setelah menghela napas panjang dia berjalan gontai menuju ke dalam rumah.
Seperti yang sudah Tabah duga, istrinya akan heboh melihat luka-luka yang ada di sekujur tubuh Tabah. Siku yang terlihat paling parah. Pastilah nanti malam perihnya akan terasa semakin menyiksa.
"Aku tahu Pak e kebutuhan keluarga kita tercukupi dari hasil pekerjaanmu. Tapi dedikasi itu harus dibarengi dengan kehati-hatian. Semua yang kamu usahakan akan percuma jika kamu celaka. Anak istri di rumah menunggu kedatanganmu," gerutu Mumun. Bibirnya bergerak maju mundur terlihat seperti ikan khoi.
"Ya namanya juga musibah Buk. Malang tak dapat di raih untung tak dapat ditolak Buk," sahut Tabah santai. Dia duduk di kursi kayu ruang makan. Sedangkan Mumun tampak sibuk memasukkan baju seragam kotor milik suaminya ke dalam mesin cuci.
"Kebalik Pak ee. Jangan sok-sokan pakai peribahasa, ih," protes Mumun. Tabah hanya terkekeh mendengar omelan istrinya itu.
Di dalam hatinya, Tabah merasa bahagia bisa memiliki seorang istri seperti Mumun. Galaknya, cerewetnya, akan selalu membuat Tabah rindu rumah. Mencari pendamping hidup bagi Tabah bukan hanya sekedar kecantikan, melainkan kenyamanan.
"Aku sudah hati-hati kok Buk. Kamu tahu sendiri motorku itu jalan 70 kilometer per jam saja, speedometer nya sudah bergetar. Nggak mungkin kan kupakai ngebut? Lepas bautnya nanti. Namanya orang apes itu nggak ada di kalender," kilah Tabah. Mumun masih tampak bersungut-sungut.
Terdengar suara Siska tertawa nyaring dari ruang televisi. Tabah merasa heran. Putri kecilnya itu bersikap aneh sejak semalam.
"Kemarin Siska ketawa-ketawa lihat televisi. Sekarang begitu lagi," gumam Tabah. Mumun membasuh luka Tabah dengan air hangat.
"Pulang sekolah tadi Siska mengeluh kakinya sakit," sahut Mumun kemudian.
"Sakit kenapa?"
"Setelah kulihat ada luka di paha kanannya Pak."
"Luka?" Tabah mengernyitkan dahi. Dia berdiri dari duduknya. Sedangkan Mumun diam saja di tempatnya. Perempuan itu merasa sudah terbiasa melihat suaminya yang seringkali khawatir berlebihan pada Siska.
Tabah memang tipe Bapak yang mudah panik. Putrinya lecet sedikit saja, Tabah akan merasa sangat terganggu. Saat Siska demam, Tabah sudah ketakutan ingin buru-buru ke rumah sakit. Sementara Mumun sebaliknya. Perempuan itu tipe Ibu yang sedikit cuek.
Di depan televisi, tampak Siska duduk termenung memperhatikan layar. Di mata Tabah, Siska terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Nduk, kata Ibuk kakimu sakit. Coba Bapak lihat," ucap Tabah kalem. Siska diam saja tidak menyahut.
"Nduk?" panggil Tabah sekali lagi. Tiba-tiba saja Siska tertawa nyaring. Padahal program televisi sedang menyiarkan sebuah iklan.
"Siska?!" Tabah sedikit membentak. Siska menoleh dengan tatapannya yang mengerikan.
Tabah yang terkejut, untuk beberapa detik diam mematung. Dia melihat sorot mata Siska yang berbeda. Seolah putri kecilnya itu berubah buas dan liar. Bola mata yang biasanya terlihat bulat, besar dan penuh kasih sayang itu kini berubah cekung dan menunjukkan amarah.
"Jangan ganggu aku!" pekik Siska lantang.
Mendengar teriakan putrinya, Mumun pun menyusul ke ruang televisi.
"Kok teriak-teriak sih. Ada apa?" tanya Mumun heran. Mendengar suara Ibunya, Siska berkedip. Bola mata penuh amarah itu berubah lebih kalem.
"Bapak ingin lihat kakimu. Kata Ibuk kakimu luka," ujar Tabah setelah menelan ludah.
Siska berdiri. Dia memandang Tabah dengan matanya yang sayu kali ini. Kemudian menunjukkan bagian luar paha kanannya. Terdapat sebuah luka berbentuk lingkaran dengan warnanya yang merah terang. Pada bagian tepi luka terdapat warna kehitaman seperti lebam. Ada sensasi gatal yang Tabah rasakan saat melihat luka putrinya itu.
"Ini kenapa Nduk? Kamu jatuh di sekolah?" tanya Tabah lagi. Siska menggeleng.
"Aku ngantuk Pak. Aku ke kamar dulu," ucap Siska tiba-tiba. Anak kecil itu pun melangkah pergi, melewati Tabah yang terlihat khawatir.
"Siska kenapa sih Buk?" Tabah mengalihkan pertanyaannya pada Mumun.
"Ndak apa-apa Pak. Tenanglah. Coba aku tak nyusul Siska ke kamar," usul Mumun. Tabah pun menyetujuinya.
Tabah kini sendirian di ruang televisi. Setelah mematikan televisi, dia hendak kembali ke ruang makan. Namun indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki di halaman depan. Tabah melirik jam dinding. Tepat pukul enam sore.
"Surup," gumam Tabah. Dia berjalan ke ruang tamu. Melalui kaca jendela ruang tamu, Tabah mengintip keluar. Halaman depan tampak sepi. Tidak ada siapapun disana. Tabah menghela napas panjang.
Pikiran Tabah kembali tertuju pada luka kecil di paha anaknya. Dia teringat cerita Ibu pemilik warung kopi tepi jalan tadi siang. Anak Totok memiliki luka di kakinya sebelum meninggal dunia.
Seperti apa luka yang dimiliki oleh anak dari BKTM Totok? Apakah serupa dengan luka yang dimiliki Siska? Apakah sedang ada sebuah virus yang menyebar menyerang anak-anak? Kepala Tabah dipenuhi tanda tanya. Pikiran-pikiran negatif mengaduk otaknya, menciptakan kekhawatiran yang berlebihan.
Kembali terdengar suara langkah kaki dari halaman depan membuyarkan lamunan Tabah. Laki-laki itu kehilangan kesabaran. Kini dia tidak lagi berniat mengintip, tetapi langsung menarik daun pintu depan.
Saat pintu terbuka, sekali lagi tidak ada siapapun di halaman depan. Hembusan angin yang cukup kuat menerpa wajah Tabah, menerobos masuk ke dalam rumah. Warna langit yang jingga memperlihatkan keindahan. Namun di waktu yang sama ada perasaan ngeri, merinding yang sulit dijelaskan. Tabah kembali menutup pintu rumah.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar Siska. Tabah segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Di dalam kamar, tampak Siska kejang-kejang dengan bola mata memutih. Mumun memegangi tangan putrinya itu.
"Kenapa Siska Buk?" tanya Tabah gusar.
"Ndak tahu Pak. Katanya ngantuk, mau kutinggal ke dapur malah kejang begini," jawab Mumun panik.
Tabah pun berlari keluar rumah. Dia menyambar motor di garasi. Kemudian bergegas ke rumah pamannya yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumah Tabah. Dia hendak meminjam mobil untuk membawa anaknya ke rumah sakit umum. Salah satu alasan yang membuat Tabah semakin yakin untuk menabung demi membeli mobil.
Pukul tujuh malam, Siska masuk ruang IGD. Setelah selang infus tertancap di lengannya, bocah perempuan itu terlihat lebih tenang. Kemudian tertidur pulas memeluk lengan Mumun yang duduk di sampingnya.
Tabah masih terlihat gusar. Kepalanya terasa berdenyut. Dia tidak bisa menjelaskan kekhawatiran yang ada di benaknya pada Mumun. Karena pada dasarnya Tabah sendiri juga bingung apa yang telah menimpa kehidupannya saat ini? Apa yang salah? Kepada siapa dia harus bercerita?
"Andre," gumam Tabah, bergegas keluar ruangan dan mengambil handphone di saku celananya.