menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Hari itu, hujan pun reda, dan kami kembali keluar untuk mencari Aji dan Bimo. Kami ingin mengabarkan bahwa Tiara dan Bimo sudah bertemu.
Singkat cerita, kami akhirnya berkumpul kembali dan melanjutkan perjalanan turun. Namun, aneh bin ajaib, setelah kami bersama-sama, baru beberapa langkah melanjutkan perjalanan, cuaca kembali berubah. Badai menerpa kami, dan dalam kepanikan, kami berlari menyelamatkan diri masing-masing. Aku melihat Tiara berdiri di balik pohon besar, sementara aku dan Rani berteduh di kolong batang pohon yang sudah roboh.
Saat hujan sedikit reda, kami berkumpul kembali, dan di sinilah letak masalahnya. Aku baru menyadari bahwa Aji dan Bimo tidak terlihat di antara kami.
Kami pun mencoba mencari mereka sambil menunggu Aji dan Bimo menemui kami. Beberapa saat kemudian, Bimo tiba-tiba mengagetkanku.
“Woooyy, panik ya? Hahaha...” ucap Bimo sambil tertawa.
“Ih, gebleg! Nyusahin aja. Si Aji mana?” tanya Rani dengan panik.
“Lah, kocak. Lu ngapain ninggalin Aji? Gue liat lu mojok di pohon sana. Kalian mesum ya, hayo?” ucap Bimo.
Kami kembali melangkah di tanah yang basah dan licin, mulai menyisir area sekeliling sambil memanggil nama Aji.
Setelah mencari-cari selama hampir satu jam, Bimo yang tampak tidak sabaran berkata, “Aku rasa Aji cuma lagi iseng. Dia mungkin pergi menjelajahi area sekitar. Aku akan mencarinya!”
“Bimo, tunggu!” Tiara berusaha menghentikannya. “Jangan pergi sendirian! Ini berbahaya!”
Tapi Bimo sudah melangkah pergi, pura-pura tidak mendengar. Dia tampak sangat percaya diri, sementara aku merasa cemas. “Jangan-jangan dia mengikut jejak Aji yang mungkin juga berkelana jauh. Kami harus menyusul mereka!” aku bersikeras.
Setelah sepakat untuk saling mencari, aku, Tiara, dan Rani memutuskan untuk membagi diri dan menyisir area yang berbeda. Dengan setiap langkah, ketakutan mulai menyergap. Kami berlari dan memanggil nama Aji dan Bimo, namun hanya keheningan yang kami terima.
Alam pun mulai menunjukkan taringnya kembali. Angin berhembus kencang, dan suara guntur terdengar lagi. Kulihat ke arah langit; awan kembali berkumpul dan cuaca semakin gelap.
“Kita mesti kembali ke gua dan mengatur rencana pencarian yang lebih baik besok,” kataku, mencoba menenangkan teman-temanku.
Namun, sebelum kami sempat kembali, Tiara melihat bayangan bergerak di antara pepohonan. “Aji? Bimo?” Tiara memanggil, tetapi bayangan itu hanya bersembunyi dan tidak menjawab.
Setelah malam yang panjang, kami terpaksa kembali ke gua untuk bertahan sampai pagi.
Di pagi hari, kami merencanakan pencarian yang lebih terstruktur. “Kita harus memanggil tim penyelamat. Ini sudah terlalu lama, dan kita tidak bisa terus mencari sendiri,” Rani berkata dengan tegas.
Kami segera kembali ke jalur utama dan berusaha menemukan sinyal untuk menghubungi pihak berwenang. Setelah beberapa jam yang melelahkan, kami berhasil mendapatkan sinyal dan menghubungi tim penyelamat.
Saat tim penyelamat tiba, aku menjelaskan situasinya dengan penuh harapan. “Kami sudah mencari sebisa kami, tapi tidak ketemu. Aji dan Bimo menghilang setelah badai.”
Tim penyelamat segera membagi diri menjadi beberapa kelompok untuk mencari di area sekitar. Aku, Tiara, dan Rani bergabung dengan salah satu tim, berusaha menjelajahi jalur yang mungkin dilewati Aji dan Bimo.
Waktu terus berlalu, tetapi pencarian belum membuahkan hasil sama sekali. Hujan deras dan kabut tebal membuat pencarian semakin sulit. Rasa putus asa pun mulai menyelimutiku dan juga dua sahabatku.
“Kenapa mereka tidak muncul? Si Aji sama Bimo ke mana sih?” Tiara mengeluh, air mata menetes di pipinya. “Kita sudah cari ke mana-mana!”
“Jangan putus asa, Tiara,” aku mencoba menguatkan. “Kita harus tetap berharap. Mungkin mereka menemukan tempat berteduh.”
Harapan itu semakin pudar seiring berlalunya waktu. Pencarian Aji dan Bimo yang dulunya penuh semangat kini berubah menjadi pertempuran melawan ketakutan dan kehilangan.
Di hari ketiga, ketika kami kembali ke tempat yang telah kami cari sebelumnya, aku merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Aji dan Bimo. “Aji dan Bimo pasti baik-baik saja. Kita harus percaya,” kataku kepada diriku sendiri, meskipun hatiku bergetar.
“Kalau seandainya mereka tidak bisa kembali, kita mesti kuat jalani hidup kita,” Rani berkata pelan, dengan wajah tegas meskipun matanya berkaca-kaca.
Tapi aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Mau bagaimana pun juga, aku ingin Aji dan Bimo bertemu, bahkan jika itu berarti mencari sampai akhir.
Akhirnya, dengan tekad yang baru, kami memutuskan untuk terus mencari, berharap Aji dan Bimo akan segera ditemukan dan kembali berkumpul kembali.
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Aji dan Bimo. Meskipun tim penyelamat terus mencari dengan penuh semangat, aku, Tiara, dan Rani merasakan harapan yang semakin memudar. Dalam hati, kami tahu waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu membuat kemungkinan untuk menemukan mereka semakin kecil.
Suatu malam, saat kami kembali ke tempat perkemahan setelah seharian mencari, suasana menjadi semakin suram. Tiara duduk di tepi api unggun, tatapannya kosong. Rani berdiri di sampingnya, mengusap punggung sahabatnya yang tampak putus asa.
“Aku merasa kita sudah melakukan segalanya, tapi tetap saja tidak ada hasil,” Rani berkata, suaranya bergetar. “Apa kita tidak cukup mencari?”
Tiara menggelengkan kepala, air mata mengalir di pipinya. “Rani, gimana kalau mereka tidak kembali? Kita sudah berusaha sekuat tenaga, tapi...”
“Jangan berpikir gitu!” kataku menyela, mencoba menenangkan kedua sahabatku. “Aji dan Bimo masih hidup. Kita mesti terus percaya. Mereka pasti menemukan cara untuk bertahan.”
Tapi, bila boleh jujur, dalam hatiku sendiri, keraguan mulai merayap. Aku merasa kehilangan arah, seolah segala usahaku sia-sia. Suara hutan yang biasanya menenangkan kini hanya menambah kepanikan yang dirasakan.
Rani menggigit bibirnya, menahan tangis. “Aku tidak mau kehilangan mereka, Ra. Kita sudah sahabatan lama. Gimana kalau kita tidak akan pernah lihat mereka lagi?”
“Jangan bicara seperti itu, Rani! Kita pasti menemukan mereka!” kataku, berusaha menguatkan diri. “Mungkin mereka terjebak di suatu tempat, kamu tahu mereka kan?”
“Dua hari tanpa kabar... rasanya sudah seperti selamanya,” Tiara berbisik, wajahnya terlihat semakin lelah. “Apa yang mesti kita lakukan?”
Suasana menjadi hening. Ketiganya terdiam dalam keputusasaan, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri, merenungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi pada Aji dan Bimo.
Akhirnya, Tiara mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara lembut, “Kita harus memberi mereka waktu. Mungkin mereka akan menemukan jalan kembali.”
“Tapi kita tidak bisa menunggu selamanya,” Rani menjawab, suaranya hampir putus asa. “Kita sudah mencari ke seluruh penjuru, dan...”
Aku pun memotong, “Kita harus memikirkan rencana lain. Mungkin kita bisa mencari bantuan lebih banyak. Kita bisa memanggil lebih banyak orang untuk membantu pencarian ini.”
Rani dan Tiara saling berpandangan, melihat harapan kecil di mataku. “Itu mungkin ide yang bagus,” Rani akhirnya berkata, berusaha menenangkan diri.
“Besok pagi, kita akan memanggil teman-teman kita di kota untuk membantu,” tambahku. “Kita tidak sendirian. Kita punya banyak teman yang peduli.”
Ketika malam semakin larut, kami merasakan kelelahan yang mendalam, tapi harapan untuk menemukan Aji dan Bimo tetap menyala di dalam hati. Kami berpelukan, berusaha saling memberi kekuatan satu sama lain, meskipun ketidakpastian tetap menghantui.
Dalam hati, aku terus berdoa agar Aji dan Bimo selamat, berharap bahwa mereka juga berjuang untuk kembali. Meski begitu, kepedihan dan ketakutan terus menghantui setiap langkah kami.
Keesokan paginya, kami segera menghubungi teman-teman yang ada di kota untuk datang dan membantu pencarian. Dengan tekad yang diperbarui, aku, Tiara, dan Rani memulai hari baru, berharap untuk menemukan jejak Aji dan Bimo.