NovelToon NovelToon
Tomodachi To Ai : Our Story

Tomodachi To Ai : Our Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: BellaBiyah

Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26

Saat aku dan Rebeca masuk ke kamar, perasaan kecewa langsung menyergapku. Begitu banyak usaha yang terbuang percuma.

“Katakan, kawan, apa sebenarnya isi kotak itu?” tanya Rebeca penasaran.

“Kesalahan, Rebeca. Murni kesalahan,” jawabku, suaraku lelah.

“Dan ada lebih banyak kesalahan di luar sana?” Dia menatapku penuh tanya.

“Apa maksudmu?” Aku mengerutkan kening, bingung.

“Maksudku, mungkin ada lebih banyak bukti di luar sana,” ucapnya tiba-tiba. Tapi demi keselamatannya, aku tak ingin melibatkannya.

“Bukan cuma soal bukti. Aku memang mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi, tapi ternyata aku salah,” kataku tanpa ragu.

Akhirnya kami sampai di kamar, dan Rebeca bilang dia punya sesuatu untukku.

“Tutup matamu, Ratu,” katanya sambil tertawa kecil.

“Oke, aku sudah menutupnya,” jawabku.

Beberapa saat kemudian, dia menyuruhku membuka mata. Di depanku, ada sebotol sampanye, siap untuk dirayakan kalau aku menang.

“Untuk seorang penguasa yang cantik,” kata Rebeca sambil menyodorkan segelas sampanye.

Aku tersenyum setengah hati, hanya untuk menyenangkannya. Sejujurnya, memenangkan mahkota tidak pernah ada dalam rencana utamaku. Tujuanku sebenarnya adalah mengakhiri karier si pembunuh yang telah merenggut nyawa saudariku. Apa yang tampak seperti kemenangan, sebenarnya adalah kegagalanku yang paling besar.

Namun, karena Rebeca terlihat begitu bahagia, aku ikut bersulang dan meneguk habis isi gelasku.

“Gimana rasanya setelah menang?” tanya Rebeca.

“Sebenarnya, aku melakukannya untuk mengenang seseorang. Tapi ya, itu pengalaman yang menarik,” jawabku, mencoba terdengar santai.

“Kamu tahu, kawan, aku sangat menghargaimu,” kata Rebeca tiba-tiba, suaranya berubah jadi sendu dan nostalgik.

“Kenapa kamu kelihatan sedih, Rebeca?” tanyaku, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dia hanya menatapku dengan ekspresi murung, hingga aku mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang buruk telah terjadi padanya.

“Apa yang terjadi, Rebeca?” tanyaku, mencoba membuatnya berbicara, tapi dia tetap diam dan hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Tiba-tiba, aku merasa aneh, dan gelas yang kupegang jatuh begitu saja dari tanganku. Pada saat yang sama, Rebeca mulai menangis. Saat itu, aku mengerti bahwa dia telah memasukkan sesuatu ke dalam minumanku.

Tubuhku terjatuh ke tempat tidur, dan perasaan pusing semakin kuat, membuatku tidak mampu bergerak.

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, dan suara instruktur bergema di telingaku yang mulai samar.

“Sekarang keluar, Rebeca. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu buka mulut,” ancamnya. Rebeca keluar sambil menangis.

Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya gelap adalah senyum dingin di wajahnya saat dia menggendongku.

Ketika aku sadar, kepalaku masih terasa berat. Aku duduk perlahan di tempat tidur, mencoba memahami di mana aku berada. Obat yang diminumkan Rebeca membuatku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku sekarang berada di sebuah tempat asing. Ruangan itu seperti ruang bawah tanah, dengan dinding beton yang dingin dan sunyi. Tidak ada suara apa pun yang terdengar.

Ketika aku melihat ke salah satu sisi ruangan, jantungku mencelos. Ada lemari berisi koleksi mahkota, dan di antaranya, mataku terpaku pada satu mahkota yang sangat kukenal—mahkota Lucia. Tapi, meski pikiranku masih berkabut, aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan miliknya. Lucia sudah dibawa pergi dari institut. Kecuali si pembunuh benar-benar punya keberanian untuk masuk ke rumah kami.

Langkah kaki terdengar menuruni tangga, membuatku langsung tegang. Tak heran melihat Blake, instruktur itu, berdiri di depanku. Tapi kali ini, meskipun aku setengah mabuk, ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya. Wajahnya dipenuhi nafsu, dan tanpa banyak bicara, dia memanjat ke atas tempat tidur, mulai mencium dan menyentuhku, memaksaku merasakan selangkangannya dengan tanganku.

Blake tiba-tiba berhenti, bangkit dari tempat tidur, lalu menyalakan musik—musik yang sering dimainkan saat kontes berlangsung. "Berjalanlah untukku, Ratu," perintahnya. Aku tahu, saat yang paling sulit telah tiba.

Mengingat saran Sofia, aku memutuskan untuk mengikuti permainannya. Tunjukkan sisi anggun dan cantikku, dapatkan kepercayaannya, dan tunggu saat yang tepat untuk menyerang. Perlahan, aku berdiri. Blake menyerahkan mahkota yang baru saja kuperoleh dari kontes, lalu duduk di kursi, bersiap menonton.

Aku merapikan rambut dan mahkota di depan cermin, memperbaiki gaun yang masih kukenakan, berusaha menahan pusing yang masih terasa.

"Ratuku yang cantik," kata Blake dengan suara serak, "Aku tidak sabar untuk memelukmu."

Dia mendekat lagi, meremas pinggangku, menciumku dengan liar. Nafasku nyaris tercekik, dan dengan napas yang semakin berat, dia mulai membuka pakaiannya. Aku tercekat melihatnya, efek obat membuat rasa takutku kian mencuat. Tubuhnya yang berotot tampak mengerikan dalam keadaan telanjang. Dia berbaring di atas tempat tidur dan menyuruhku membuka pakaian.

Aku mengingat kembali tujuanku. Pandanganku beralih ke deretan mahkota, terutama yang mirip milik Lucia. Bayangan tubuh telanjang Lucia yang tak bernyawa dengan mata terbuka kembali menghantuiku.

Aku mendekat perlahan ke tempat tidur, memasang senyum palsu terbaikku. Mengangkat satu kaki ke tepi ranjang, dengan hati-hati, aku mengeluarkan pistol dari balik rokku. Wajah Blake yang tadi penuh nafsu, kini berubah jadi panik.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan mata terbelalak.

“Keadilan,” jawabku dingin.

Seperti yang Sofia katakan padaku, aku mengingat nasihatnya: pilih antara hidupku atau hidup orang lain. Aku melepaskan pengaman pistol dan menembak Blake di dadanya berulang kali, kecuali tembakan terakhir yang kuarahkan ke kepalanya.

Blake akhirnya tumbang, dan dengan itu, kematian Lucia serta para gadis lainnya terbalaskan. Pembunuh itu tak akan menghantui kontes ini lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, kesedihan atas kematian adikku terasa sedikit lebih ringan.

Setelah meninggalkan Blake tergeletak di sana, aku bersiap naik ke lantai atas. Meskipun Rebeca mengkhianatiku, emailnya sudah terkirim. Ketika sampai di atas, aku menemukan sebuah apartemen luas bergaya industri. Ruangan itu kosong, sunyi. Tak ada seorang pun.

Sambil menunggu kedatangan komisaris, aku mulai berkeliling. Rupanya, ini adalah tempat Blake beristirahat. Dia biasa menempatkan korbannya di ruang bawah tanah, sementara dia hidup nyaman di sini, dengan TV besar, tempat tidur mewah, dan dapur lengkap. Semua yang dia butuhkan untuk menikmati hidup sambil menyiksa gadis-gadis itu.

Kelelahan mulai menyerangku, kombinasi antara obat-obatan, trauma, dan hari-hari berat yang baru saja kulewati. Aku terjatuh ke tempat tidur besar itu, tertidur dengan sangat pulas.

Saat terbangun, sinar matahari sudah membanjiri ruangan dari jendela besar. Hari sudah siang, tapi komisaris belum datang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang berdehem. Ketika berbalik, aku melihat Blake berdiri di depanku, dengan senyum jahat menghiasi wajahnya.

“Tapi aku sudah menembakmu,” kataku, nyaris menangis karena kebingungan.

Blake tertawa lebar, menatapku dengan penuh kemenangan sambil menggigit bibir bawahnya.

1
Tara
psikopat😱😡
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!