Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerja Sama
“Tapi, Kak Naya, kami bisa mencari klien baru atau mempromosikan karya kamu lagi. Ini tidak mungkin menjadi akhir dari segalanya!” Tika berusaha menghibur.
Mendengar semangat Tika, Naya merasa sedikit lega. Namun, rasa bersalahnya semakin menumpuk. Dia tidak ingin mengandalkan orang lain untuk membantunya, tetapi dalam keadaan sulit seperti ini, dia tidak punya pilihan.
“Terima kasih, Tika. Tapi... aku tidak ingin mengganggu hidupmu. Kamu sudah banyak membantu,” ujar Naya dengan suara lemah.
“Kak Naya, jangan bilang begitu. Aku di sini untuk membantu. Kita bisa membuat rencana agar kamu bisa mendapatkan lebih banyak klien. Mungkin kita bisa mulai dengan media sosial atau melakukan kolaborasi dengan seniman lain,” kata Tika optimis.
Naya tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu bagaimana mengangkat semangatku. Terima kasih. Aku akan berpikir tentang itu.”
Tika kemudian melanjutkan dengan menceritakan beberapa ide untuk proyek baru, sementara Naya berusaha menyimak, meskipun pikirannya masih terjebak pada saldo rekeningnya yang menipis. Namun, saat dia memandang wajah Tika yang ceria, dia merasa ada harapan kecil yang bersemangat di dalam dirinya.
“Jadi, bagaimana kalau kita buat sesi brainstorming besok? Mungkin kita bisa menciptakan sesuatu yang baru,” kata Tika, penuh semangat.
“Ide bagus! Kita perlu bergerak cepat agar bisa mendapatkan klien sebelum situasi semakin parah,” jawab Naya, berusaha mengalihkan perhatian dari masalah keuangannya.
Mereka melanjutkan percakapan, meskipun di belakang benak Naya, kekhawatiran akan keadaan keuangannya tetap mengintai. Dia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang Arfan lagi. Dia harus bangkit dan menemukan cara untuk menghadapi semua ini, dengan atau tanpa mantan tunangannya.
Setelah beberapa jam berbincang, Naya merasa lebih baik. Dia berusaha membuang jauh-jauh pikiran negatif dan menggantinya dengan semangat untuk berkarya. Saat mengucapkan selamat tinggal kepada Tika dan keluar dari kafe, dia merasa sedikit lebih ringan. Namun, saat dia melangkah keluar, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk.
Dia membuka pesan itu, dan tiba-tiba wajahnya kembali memucat. Pesan dari bank. “Saldo rekening Anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi.”
Jantungnya berdegup kencang. Apa lagi yang bisa salah? Kenapa semua ini terjadi bersamaan? Naya merasa seolah dunia sekelilingnya berputar cepat. Dia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan dirinya.
“Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku harus berjuang,” katanya pada dirinya sendiri. “Ini saatnya untuk bangkit!”
Dengan tekad baru, Naya mulai berjalan menuju studio. Dia tahu dia harus menghadapi semuanya dengan kepala tegak dan tidak membiarkan siapapun menghalangi jalannya lagi. Dia akan berusaha keras untuk membangun kembali karirnya dan meraih mimpinya. Keterpurukan ini tidak akan mengalahkan semangatnya.
Saat sampai di studio, dia menghidupkan komputer dan membuka berkas-berkas proyeknya. Dia memilih salah satu ide yang sudah lama ingin dia kembangkan dan mulai bekerja. Setiap goresan pensil di atas kertas terasa lebih bermakna sekarang. Dia tidak hanya menggambar untuk menyenangkan orang lain, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Selama berjam-jam, dia terbenam dalam kreativitasnya. Dia tidak memperhatikan waktu berlalu. Naya merasa terhubung dengan seninya seperti tidak pernah sebelumnya. Dia akan menciptakan sesuatu yang unik, yang bisa membuktikan bahwa dia bisa mandiri tanpa Arfan.
Kembali di pikiran Naya adalah keinginan untuk membuktikan bahwa dia bisa menghadapi semua tantangan yang ada di depannya. Meski saldonya menipis dan hidupnya sedang dilanda badai, Naya tahu bahwa kekuatan sejatinya ada pada kemampuannya untuk berkarya dan menciptakan hal-hal yang berarti.
***
Dante duduk di kantornya, mengamati jendela yang menghadap ke kota yang ramai. Di balik wajah dinginnya, ide brilian mulai bermunculan. Setelah pertemuannya dengan Naya dan insiden di warung, dia tidak bisa mengabaikan potensi yang dimiliki komikus itu. Meskipun mereka pernah berseteru, Dante merasa bahwa ada sesuatu yang bisa mereka kembangkan bersama.
“Aku akan memanfaatkan kesempatan ini,” gumamnya kepada dirinya sendiri. “Dengan tawaran ini, aku bisa mencabut gugatan terhadapnya dan mencoba bekerja sama dengannya.”
Dia mengingat bagaimana Naya selalu membawa sudut pandang yang unik dalam setiap karyanya. Mungkin, dengan bekerja sama, mereka bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa, sekaligus meredakan ketegangan di antara mereka. Meskipun ada rasa pesimis tentang Naya yang masih terjebak dalam kesedihan akibat pernikahan yang gagal, Dante percaya bahwa kolaborasi ini bisa membawa mereka ke jalur yang lebih positif.
Dante memutuskan untuk menghubungi Naya. Dia mencatat beberapa poin yang ingin dia sampaikan. Dia tahu bahwa dia harus merancang kata-kata dengan hati-hati. Jika tidak, Naya mungkin tidak akan menganggap tawarannya serius dan hanya melihatnya sebagai upaya untuk mempermalukannya.
Setelah menyiapkan semuanya, Dante mengirim pesan kepada Naya, menantang dan sekaligus menggoda, “Naya, kita perlu bicara. Aku punya ide yang mungkin akan menguntungkan kita berdua. Aku di kafe yang kita kunjungi kemarin, jika kamu mau, datanglah.”
Dante menunggu dengan tidak sabar, merasakan ketegangan di dadanya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari Naya. “Apa kamu serius? Kenapa aku harus percaya padamu?”
Dante tersenyum, mengetahui bahwa dia sudah berhasil menangkap perhatian Naya. “Karena kali ini, aku bukan datang untuk bertengkar. Aku datang untuk menawarkan kesempatan yang mungkin bisa kita ambil bersama. Percayalah, ini demi kebaikan kita berdua.”
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, akhirnya Naya menjawab, “Baiklah. Aku akan datang.”
***
Naya berjalan menuju kafe, perasaannya campur aduk. Meskipun dia tidak yakin apakah bisa mempercayai Dante, dia juga merasa penasaran dengan tawarannya. Apa yang bisa dia dapatkan dari pria yang pernah berusaha menjatuhkannya?
Sesampainya di kafe, Naya melihat Dante sudah menunggu di sudut. Dia mengenakan kemeja rapi dan celana hitam, terlihat lebih serius daripada yang dia ingat. Saat Dante melihat Naya mendekat, senyumnya muncul, meskipun sedikit terasa dingin.
“Terima kasih sudah datang,” ujar Dante, memberi isyarat agar Naya duduk.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Naya, langsung to the point.
Dante menghela napas dan mulai menjelaskan. “Aku ingin menawarkan kerjasama. Mengingat perseteruan kita sebelumnya, aku pikir kita bisa mengesampingkan itu untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik.”
Naya mengerutkan dahi. “Kau ingin bekerja sama? Setelah semua yang terjadi?”
“Ya, tepatnya,” jawab Dante, tetap tenang. “Aku tahu kita berdua memiliki keahlian yang bisa saling melengkapi. Dengan keahlianmu dalam menggambar dan gaya komik, serta studio yang aku kelola, kita bisa membuat animasi yang akan menarik perhatian pasar.”
Naya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Dante. Dia merasa keraguan mengisi pikirannya. “Tapi, kenapa aku harus mempercayai bahwa ini bukan hanya rencana untuk menjatuhkanku lagi?”
Dante menatapnya dengan serius. “Karena aku sudah bosan dengan perseteruan ini. Dan aku juga ingin mencabut gugatan itu. Kita tidak akan bisa maju jika kita terus terjebak dalam konflik.”
Naya menilai Dante dengan seksama, mencoba mencari tahu apakah ada ketulusan di balik kata-katanya. “Apa kau yakin kita bisa bekerja sama tanpa saling mengganggu?”
Dante tersenyum tipis. “Itulah tantangannya. Kita perlu menemukan cara untuk berkomunikasi dan saling menghormati. Jika kita berhasil, kita bisa menciptakan sesuatu yang hebat.”
Naya menatap Dante, memikirkan tawarannya yang menggoda sekaligus menakutkan. Meski ragu, dia tahu situasi keuangannya tidak mendukung. Dia harus memikirkan Tika, asisten yang selama ini membantunya. Tanpa uang, dia tidak bisa membayar Tika, dan itu adalah masalah besar. Dalam hati, dia merasa terjebak antara keinginannya untuk bekerja sama dan kebutuhan mendesak akan uang.
“Baiklah,” ucap Naya akhirnya, suara yang penuh ketegangan. “Aku akan menerima tawaran ini. Tapi aku butuh uang muka sekarang untuk kerja sama ini.”
Dante mengangkat alisnya, tampak terkejut dengan permintaan Naya. “Kau langsung meminta uang muka? Kita baru saja mulai berdiskusi.”
“Ya, aku tahu. Tapi aku punya tagihan dan harus membayar asistenku,” jawab Naya, menegaskan keinginannya. “Tanpa uang, aku tidak bisa berkomitmen.”
Dante terdiam sejenak, merenungkan situasi ini. Dia menyadari bahwa Naya berada dalam posisi yang sulit dan dia bisa memahami tekanan yang dialaminya. Meskipun ada bagian dari dirinya yang merasa ragu dengan permintaan Naya, dia tahu bahwa jika mereka ingin bekerja sama, dia harus menghargai kebutuhannya.
“Baiklah, berapa banyak yang kau butuhkan?” tanyanya dengan nada serius, meski sedikit skeptis.
“Setidaknya cukup untuk membayar gaji asistenku dan beberapa tagihan,” jawab Naya, menatap Dante dengan tatapan penuh harap. “Kalau tidak, aku tidak bisa mulai bekerja.”
Dante mengangguk, menimbang-nimbang permintaan itu. “Oke, aku bisa memberimu uang muka. Tapi kita perlu merumuskan kesepakatan formal mengenai kerja sama ini. Kita harus memastikan semuanya jelas dan tidak ada yang merasa dirugikan.”
Naya tersenyum lega. “Deal. Kita akan buat kesepakatan itu.”