Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Di tengah keheningan mencekam, Nafisah, Nizam, dan Azzam berdiri di sebuah ruangan gelap yang penuh dengan peralatan laboratorium berkarat. Lampu neon yang menggantung di atas kepala mereka berkedip-kedip, mengeluarkan suara dengung pelan yang semakin mempertegas nuansa tak nyaman. Di dinding, tumpukan kertas berdebu dan coretan tak jelas menambah kesan suram. Nafas mereka terdengar jelas, berpadu dengan detak jantung yang kian cepat.
"Kak, ayo pergi sekarang!" Nizam menggertakkan giginya, menyeka keringat dingin di dahinya sambil menatap Nafisah yang berdiri membeku di depan sebuah dinding berlapis lumut. Namun, Nafisah tidak bergerak. Matanya terpaku pada sebuah simbol yang tergores di dinding: lambang organisasi misterius, berwujud lingkaran dengan beberapa garis tajam dan simbol-simbol yang tidak dikenalnya.
"Nizam... lihat ini." Nafisah menelan ludah, jari-jarinya menyusuri simbol tersebut dengan rasa ingin tahu yang tak terhindarkan. Ada sesuatu yang menarik sekaligus mengancam dari simbol itu. "Apa ini?" pikirnya. "Apakah ini yang memulai semua kekacauan ini?"
"Apa-apaan itu?" Azzam mengerutkan kening, melirik Nafisah dengan cemas. Tubuhnya bergetar akibat suasana mencekam di sekitarnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang salah, namun Nafisah tetap bersikeras.
"Kita butuh bukti ini," Nafisah berbisik tegas. "Kalau kita berhasil keluar dari sini, orang-orang harus tahu siapa yang ada di balik semua ini." Tangannya yang gemetar cepat-cepat mengambil ponsel dari kantong dan memotret simbol tersebut. "Ini bisa jadi kunci untuk menghentikan mereka."
Nizam, yang dari tadi menggigit bibirnya dengan frustrasi, mendekat dengan langkah terburu-buru. "Aku setuju, tapi kita nggak punya waktu! Semakin lama di sini, semakin besar risiko kita terjebak!" Suaranya tegas, namun matanya memantulkan ketakutan yang dalam. Dia tahu apa yang menunggu di luar.
Azzam yang berdiri di belakang mereka, menggerakkan tubuhnya gelisah. "Sudah, cukup. Kita harus pergi!" ujarnya, mata hitamnya menyipit tajam. "Apa yang kita hadapi ini jauh di luar kendali," pikirnya. "Dan kalau kita tetap di sini lebih lama... ini bisa jadi akhir bagi kita semua."
Nafisah menarik napas panjang, menatap simbol itu sekali lagi sebelum akhirnya melangkah mundur. "Oke, kita keluar sekarang," katanya pelan, nada serius dalam suaranya menggetarkan udara. Mereka bergerak cepat, dengan Nafisah memimpin, Azzam menengok ke belakang setiap beberapa detik untuk memastikan mereka tidak diikuti, dan Nizam dengan tegang menyusul dari belakang.
Namun, saat mereka mendekati pintu keluar, suara gemeretak dari luar memecah keheningan. Nafisah berhenti mendadak, menahan napas. Matanya terbelalak saat dia menyadari apa yang ada di luar. "Apa itu...?" bisiknya penuh kegelisahan, jantungnya berdegup lebih kencang.
Nafisah membuka pintu sedikit, dan di balik pintu, mereka bisa melihatnya—sekumpulan zombie bergerak dengan gerakan lamban namun pasti, mengepung seluruh area. "Sial!" Nafisah berdesis, jantungnya berdegup tak karuan. Wajahnya memucat saat menyadari bahwa jalan keluar mereka tertutup rapat.
"Apa kita terjebak?" Nafisah menelan rasa panik yang mulai merayap di dadanya.
Nizam menatap mereka, wajahnya penuh ketegangan. "Kita harus cari jalan lain, atau kita akan terjebak di sini," ujarnya dengan nada datar, namun sorot matanya mencerminkan kekhawatiran yang dalam. Nafisah bisa merasakan kepanikan dalam suaranya, meski dia berusaha menyembunyikannya.
Di luar, geraman zombie semakin mendekat, langkah-langkah mereka bergema di dalam ruangan kosong, seolah-olah memberi tahu bahwa mereka semakin dekat. Nafisah menggigit bibirnya, matanya terus mencari jalan lain.
"Kalau kita nggak segera bergerak, mereka akan masuk!" Azzam berbisik cemas, matanya terbuka lebar karena rasa takut yang kini memenuhi dirinya. Nafisah memandang sekeliling dengan cepat, jantungnya berpacu saat ia tahu waktu mereka hampir habis.
Dentuman keras terdengar lagi, kali ini dari arah jendela yang sudah mulai retak. Cahaya bulan yang suram memantul di kaca, seolah menambah kesan keputusasaan. Ketiganya saling berpandangan dengan kegelisahan yang memuncak.
Mereka tahu, pilihan semakin sedikit, dan waktu semakin cepat menipis.
******
Ruangan itu gelap dan sempit, udara di dalamnya tebal dengan bau zat kimia dan rasa lembap yang menjalar di kulit. Lampu neon di langit-langit bergetar, memancarkan cahaya redup yang semakin mempertegas suasana menyeramkan di laboratorium tersembunyi itu. Meja-meja laboratorium penuh dengan tumpukan kertas yang kusut, botol-botol berisi cairan aneh, dan komputer tua yang masih menyala, menampilkan angka-angka serta grafik yang tidak mereka mengerti.
Queensha dan Nada berdiri diam, tatapan mereka terfokus pada tumpukan catatan di tangan mereka. Mata Queensha membesar saat membaca halaman demi halaman yang mengungkapkan sesuatu yang lebih gelap dari yang pernah mereka bayangkan.
"Ini... ini gila," suara Queensha bergetar. Jari-jarinya gemetar, memegang lembaran catatan yang menunjukkan evolusi virus tersebut. "Mereka sengaja melakukannya?"
Nada, yang berdiri di sampingnya, menunduk ke arah catatan yang lain, matanya menyipit tajam. Dia merasakan darahnya mendidih. "Ini bukan kecelakaan," gumamnya, hampir tidak percaya pada apa yang baru saja dia baca. "Lihat ini, mereka sudah mendistribusikan virus ke berbagai lokasi, ini semua... direncanakan."
Queensha menarik napas dalam, rasa takut mulai merayap di dadanya. "Maksudmu, ada orang di luar sana... yang merencanakan kehancuran ini?" tanyanya dengan nada rendah, tatapannya tak lepas dari catatan di tangannya. Kata-kata Nada membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sial, ini lebih buruk dari yang kukira," pikir Nada, perasaannya bercampur antara ketakutan dan kemarahan. Matanya berpindah dari kertas ke Queensha, yang terlihat terkejut dan gemetar. "Kita terjebak di sini, di tengah-tengah konspirasi yang bisa menghancurkan semuanya. Apakah kita bisa keluar dari sini hidup-hidup?"
Nada mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan pikirannya. "Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan, Queensha. Semua ini sudah direncanakan dengan sangat rapi," tambahnya dengan suara yang lebih rendah namun penuh ketegangan.
Queensha mengepalkan tangannya erat-erat, berusaha menahan ketakutan yang mengalir dalam darahnya. Matanya yang besar memandang Nada, mencoba menemukan secercah harapan dalam situasi ini. Tapi dari sorot mata Nada yang dingin, dia tahu jawaban itu tidak akan datang. "Nada... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik, keraguannya jelas terlihat dalam cara bahunya merosot lemah.
Nada berjalan mondar-mandir, mencoba berpikir jernih, tapi semua yang ada di depannya hanya menambah lapisan kengerian. Jari-jarinya berkali-kali mencengkeram bajunya, mencari jawaban yang sulit. "Kita harus cepat keluar dari sini dan memberi tahu yang lain. Ini terlalu besar untuk kita tangani sendirian."
Tiba-tiba, suara gemerisik pelan terdengar dari ujung ruangan, memecah ketegangan yang sudah menggantung di udara. Queensha dan Nada membeku di tempat. Mereka saling berpandangan, napas mereka terhenti.
"Apa itu?" Queensha berbisik, matanya melebar. Tenggorokannya mengering, dan dia bisa merasakan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.
Nada menajamkan pendengarannya, matanya menyipit ke arah bayangan yang bergerak di balik lemari peralatan. Jantungnya berdetak keras, dan tangannya dengan sigap meraih sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata. "Ada seseorang di sini... atau sesuatu," bisiknya tegang.
"Tidak mungkin... kita sendirian di sini, kan?" pikir Queensha panik, tubuhnya terasa kaku. "Apa yang bersembunyi di balik bayangan itu?" Otaknya berlomba antara ingin lari atau bertahan.
Bayangan itu semakin jelas, bergerak dengan gerakan cepat dan membuat suara lembut yang aneh. Nada menatap Queensha, sorot matanya menunjukkan bahwa mereka harus segera memutuskan: melawan atau kabur.
"Nada... kita harus pergi!" Queensha menarik lengan Nada, tetapi kakinya terasa berat. Mereka berada di ambang ketidakpastian, terjebak di antara keinginan untuk menyelidiki lebih lanjut atau melarikan diri secepat mungkin.
"Diam. Kita lihat dulu apa itu." Suara Nada tegas, meski dahi berkerut dan alisnya terangkat, jelas bahwa ia sama takutnya.
Ketegangan semakin tebal di udara, setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Mereka tahu, pilihan apapun yang mereka buat, bisa berakibat fatal.
Saat mereka mendekati bayangan itu, pintu laboratorium tiba-tiba berderak keras, seolah sesuatu di luar sana mencoba masuk. Queensha dan Nada berbalik dengan cepat, ketakutan merambat ke wajah mereka. Pintu tersebut hampir hancur, dan di baliknya terdengar suara geraman yang semakin mengancam.