Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Yang terjadi.. terjadilah.
Dengan lembut Bang Rama kembali mengecup bibir Dilan dan Dilan mulai berontak.
Kini Bang Rama menyadari ada ketakutan dan trauma tersendiri pada istrinya. Terasa sekali Dilan gemetar. Ia kembali mengarahkan Dilan agar bisa menatap kedua bola matanya.
"Abang tidak akan menyakitimu." Janji Bang Rama.
Bang Rama memulainya pertama kali, Dilan tidak berani berkutik sedikit pun.
Memang benar, Dilan begitu nyaman dalam dekapan Bang Rama. Suaminya itu sama sekali tidak kasar hingga secara alami Dilan pun membalasnya.
Tau Dilan sudah bereaksi. Bang Rama pun menyentuh tubuh Dilan dan saat itu Dilan tidak lagi menolaknya. Senyum Bang Rama tersungging salah tingkah namun juga penasaran saat Dilan meremas kuat pakaiannya seiring nafas yang mulai tak beraturan.
"Lanjut???"
Dilan menunduk dan Bang Rama paham bahwa Dilan sudah menyalakan lampu hijau. Bang Rama segera membawa Dilan ke atas tempat tidur.
~
Hati-hati sekali Bang Rama membongkar 'jalan yang baru saja di aspal'. Namun saat itu Dilan seakan kaget dan mendorong Bang Rama yang baru saja melewati gerbang pertahanan.
"Jangaaaann..!!!!" Pekiknya ketakutan. Dilan memberontak dan menyilangkan tangan menutupi tubuhnya.
"Deekk..!!!"
"Jangan pukuull Dilan..!!!!" Teriaknya.
"Buka mata..!! Ini Abang, dek..!!!!" Bang Rama berusaha keras mengarahkan wajah Dilan agar bisa melihatnya dengan jelas. "Sudah ya, sudah..!!! Kalau Dilan takut, Abang tidak akan memaksa..!!"
Dilan terhenyak dan yang ada di hadapannya adalah sosok pria yang sejak tadi membelainya dengan lembut.
"Maaf, A_bang." Ucap Dilan lirih, ia merasa begitu bersalah karena mengabaikan hasrat suaminya. Pasti tadi Bang Rama sudah begitu menginginkannya.
"Nggak apa-apa, lain kali kita coba lagi." Jawab Bang Rama meskipun sebenarnya hatinya menyimpan sedikit rasa kecewa. Ia menarik diri dan memberi waktu pada Dilan agar bisa lebih tenang.
Tak ingin suaminya kecewa, Dilan pun berusaha keras menepis rasa takutnya. "Ajari Dilan saja..!!"
Bang Rama menatap bola mata Dilan dengan lekat. "Yakin?? Abang tidak bisa terlalu lama seperti ini dan Abang tidak ingin kamu melakukannya dengan terpaksa." Sejujurnya posisi Bang Rama yang masih keadaan 'on fire' membuatnya begitu tersiksa. Ia hanya bisa memercing sembari menahan diri.
Dilan tidak menjawabnya tapi ia kembali menarik Bang Rama ke dalam pelukannya. Terang saja Bang Rama pun balas memeluk hingga akhirnya Bang Rama kehilangan pertahanan diri. Ia menggenggam erat tangan Dilan. Lenguhannya terdengar lepas, secara alami Bang Rama mengatur alur tubuh.
Harus di akui bahwa Dilan sungguh terbuai, tanpa sadar secara alami Dilan mampu mengimbangi permainan Bang Rama. Suaminya itu benar-benar membuatnya 'gigit jari'. Perjaka hanyalah sebuah predikat semata sedangkan dirinya bisa melayang terbang di tangan Bang Rama.
Begitu pula sebaliknya, Bang Rama bagai kehilangan berkata-kata. Sungguh jalan jalan membuat secinta itu dirinya pada Dilan. Hanya Dilan yang membuatnya tergila-gila. Apapun yang telah terjadi, ia bagai menikmati 'gadisnya'.
Detik demi detik akhirnya Bang Rama nyaris 'memuntahkan' laharnya. Ingin menarik diri namun pelukan Dilan membuatnya tak sanggup beranjak. Semakin erat pula genggeman tangannya.
Dilan meringis tipis dan terus memeluk Bang Rama. "Awas, Bang. Dilan takut hamil."
Ekspresi wajah Dilan membuat Bang Rama semakin tidak bisa mengontrol diri. "Kamu bagaimana sih, dek. Takut tapi kencang betul pelukannya." Protes Bang Rama.
"Baaaang..!!" Jerit Dilan.
"Hhsshhtt..!!!!" Secepatnya Bang Rama membungkam bibir Dilan dan Dilan semakin meronta hingga akhirnya Bang Rama melepaskan rasa rindu dan penasarannya hingga tuntas. "Alhamdulillah..!!" Gumamnya lirih nyaris tak terdengar
Dilan merasakan ada sesuatu yang hangat, mengalir pada dirinya. Ia menepis tangan Bang Rama. "Abaaaang..!!!!! Bagaimana kalau Dilan hamil????" Pekik Dilan menjerit kesal.
Bang Rama langsung bergeser dari tubuh Dilan dan terkapar mengatur nafasnya yang berantakan.
"Tadi siapa yang peluknya sekencang jerat babi hutan??"
"Harusnya Abang bisa tahan diri." Protes Dilan.
Apa sih, Neng?? Kalau hamil ya Alhamdulillah. Memangnya kita pasangan selingkuh??" Ujar Bang Rama mulai mengantuk.
"Bukan begitu......."
"Habis melahirkan tidak mungkin langsung hamil, hormon mu masih berantakan. Abang pernah baca di bukunya Lian." Jawab Bang Rama kemudian tertidur pulas.
"Lian.. Lian, Abang minta di tampar Papa??" Omel Dilan kemudian beranjak, namun karena bagian tubuhnya terasa sakit dan pedih, sejenak ia mengurungkan niatnya. "Buas juga suamiku ini." Gumam Dilan.
***
Dilan membuka pintu rumahnya. Terlihat Mama Arlian dan Papa Hanggar tiba lagi di rumahnya setelah beberapa waktu lamanya kembali ke ibukota.
"Mamaa???" Jelas Dilan yang paling girang dan bahagia melihat Mama mertuanya.
"Papamu ini lho, kangen sama Rudha."
Tentu apapun alasannya, tidak menjadi soal bagi Dilan.
Papa Hanggar melihat Bang Rama sedang menimang bayi kecilnya. Papa Hanggar segera menghampiri putranya.
Bang Rama hanya meliriknya dengan wajah datar.
"Sini, Papa yang gendong..!!"
:
"Sayang, maaf ya..!! Sebenarnya Papa dan Mama cemas dengan keadaanmu. Kelahiran Rudha yang ekstrim pasti menimbulkan 'luka' yang lebih lama. Karena itu Mama dan Papa membawa obat yang bagus agar kamu segera sembuh. Papa takut kalau tiba-tiba suamimu.........."
"Alah.. pakai muter segala omongannya, Ma." Sambar Papa Hanggar. "Kamu harus bisa tahan diri, Ram. Dua minggu lagi sampai Dilan benar-benar pulih."
"Kami bukannya tidak percaya, Ram............."
"Papa memang tidak percaya, Ma." Sambar Papa Hanggar lagi sekarang beliau paham bagaimana kelakuan putranya di luar kepala.
"Duuhh.. Papa diam sebentar, deh." Tegur Mama Arlian.
"Tidak apa-apa kalau melakukannya, tapi Rama yang harus berjaga diri. Sanggup, Ram??" Tanya Mama Arlian.
"Nggak janji." Jawab Bang Rama malas.
"Apa Papa bilang. Rama ini celamitan, Ma. Biji matanya nggak bisa lihat yang bening, pasti pengen nyambar. Otaknya sudah trouble, Maaaaa..!!!!" Oceh Papa Hanggar.
Dilan menunduk, pastinya ia merasa sangat bersalah karena semalam mereka sudah sempat melakukannya bahkan Bang Rama membuangnya di dalam.
"Kenapa pada heboh, sih? Bukannya kalau ibu menyusui pasti tidak akan hamil dulu." Kata Bang Rama dengan gaya cool duduk bersandar di sofa.
Seketika Papa Hanggar menarik sandalnya dan menepak lengan Bang Rama.
plaaakk..
"Ajaran sesat darimana??" Tanya Papa Hanggar.
"Eehh.. aku baca di buku kesehatan istrimu, ya..!!" Ujar Bang Rama.
"Inilah yaaa.. inilah kenapa Papa pengen datang kesini. Papa benar-benar tidak percaya kamu Ram. Pantas kemarin Papa mimpi di sambar burung." Emosi Papa Hanggar sampai di puncak ubun-ubun kepala. "Dilan memang menyusui, tapi anakmu anak sapi.. Rudha tidak minum ASI dari ibunya.. sekali lagi Papa bilang.. tidak munum ASI dari ibunya. Jadi hormonnya bisa saja stabil dan kalau kau asal tebar lele tanpa perhitungan, jangan kamu tanya kalau bulan depan Dilan sudah hamil lagi. Kamu yang o_neng."
Bang Rama melirik Dilan. Meskipun dirinya nampak tenang namun Papa Hanggar merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Pa.. Ma.. sebenarnya........" Dilan pun membuka suara.
"Eheeemm.. Sebenarnya Dilan mau buat kue. Cepat kamu buat, dek..!!" Perintah Bang Rama.
Dilan memilih diam dan segera pergi ke dapur.
"Jangan sembrono lho, Ram. Apapun itu harus kamu pikir dulu..!!"
"Iyaaaaa.. Aku ini pasukan senyap dan terlatih." Jawab Bang Rama.
Papa Hanggar menoleh pada Mama Arlian. "Papa ko' nggak percaya ya Ma."
.
.
.
.