Dia bukannya tidak sayang sama suaminya lagi, tapi sudah muak karena merasa dipermainkan selama ini. Apalagi, dia divonis menderita penyakit mematikan hingga enggan hidup lagi. Dia bukan hanya cemburu tapi sakit hatinya lebih perih karena tuduhan keji pada ayahnya sendiri. Akhirnya, dia hanya bisa berkata pada suaminya itu "Jangan melarangku untuk bercerai darimu!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Geisya Tin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Ting!
Benda itu menggelinding sampai ke pintu masuk toko.
Shima berjalan dengan cepat untuk mengambil cincin yang tergeletak di sana. Dia masih berlutut saat sebuah mobil berhenti di hadapannya.
Pintu mobil mewah itu terbuka dan Deril ke luar, sambil merapikan dasi di lehernya. Jakunnya turun naik dan dahinya sedikit berkerut. Pria itu masih sama seperti yang dulu, tetap tampan dan berwibawa dengan segala pesonanya.
Ini kebetulan sekali, dan dia menatap Shima yang tengah memungut sesuatu di atas lantai.
Alis pria itu berkerut.
Shima mendongak dan melihat Detil yang tengah menatapnya juga. Mereka saling mengunci tatapan dalam diam. Mata hitam yang kelam itu sejurus berubah lembut, tapi sejenak kemudian kembali menatap datar tanpa ekspresi berarti di wajahnya.
Shima merasakan perubahan pada raut wajah Deril yang muram dalam pandangannya. Seketika suasana menjadi beku, seperti ada hantu di sekelilingnya.
“Deril, kamu sudah datang?”
kata Karina, dia menyambut Deril dan melangkah sampai di teras. Lalu, senyumnya mengembang puas, dia melangkah dengan cepat untuk memeluk lengan Deril manja.
Sikapnya bukan seperti kakak dan adik ipar, tapi lebih mirip seorang pacar.
Shima terdorong ke samping, saat Karina melewatinya, hingga terduduk di lantai. Posisinya kini seperti orang yang tengah berlutut di hadapan Deril dan Karina.
Deril tidak menjawab, tatapannya masih tertuju pada Shima. Dia melihat keringat besar-besar yang memenuhi dahi wanita itu dan kulitnya seputih tisu. Bibirnya pucat dan jelas sekali tubuhnya gemetar seperti sedang kedinginan.
Deril sangat jeli dan perhatian. Tinggal bersama Shima yang manja selama tiga tahun, membuatnya hafal kebiasaannya. Perempuan itu selalu mengandalkan dirinya dalam kondisi apa pun juga. Tentunya dia tahu ada yang salah dengan Shima.
Tiba-tiba Deril melepaskan tangannya dari pelukan Karina dan membungkuk untuk mendekati Shima.
“Apa kamu baik-baik saja?” katanya.
Shima mendongak, setelah berhasil menguasai hati dan menghapus air matanya yang sempat menetes. Saat itu dia melihat Deril sedang menelisik pada dirinya. Shima buru-buru menggelengkan kepalanya.
“Apa Anda peduli padaku, Pak?” katanya, sambil menatap dua orang di hadapannya.
“Kamu?” gumam Deril.
Sementara Karina menyembunyikan tawa, dia hampir tidak percaya mendengar panggilan Deril yang disematkan oleh Shima.
Mereka benar-benar sudah bercerai dan bahkan, Shima memanggil Deril dengan sebutan Bapak.
Pasangan Deril dan Karina sangat serasi, yang satu kaya dan tampan, satunya lagi cantik dan lembut. Apalagi mereka sudah punya anak. Siapa yang berani menolak pasangan seperti mereka?
Shima sudah berdiri tegak kembali dan berhasil menutupi keadaan yang sebenarnya terjadi.
“Aku baik-baik saja!” katany perlahan, sambil menahan sakit di perutnya yang tiba-tiba saja datang. Rasa sakitnya seperti di dalamnya ada pecahan kaca yang merobek ususnya.
Uh! Sakit ini datang di waktu yang tidak tepat.
Shima menahan sakit dengan susah payah dan kembali ke manajer toko, untuk mengambil kotak dan surat perhiasannya.
“Aku ambil ini!” katanya pada manajer toko, dengan cepat memasukkan cincin ke dalamnya.
Saat berbalik, dia kembali berpapasan dengan Deril dan Karina. Sikap pria itu kembali datar seolah tidak ada apa pun yang menarik di dunia ini selain dirinya sendiri.
“Deril, Adik Shima mungkin membutuhkan uang, dia mau menjual cincinnya, kasihan dia!” kata Katina dengan suara yang manja dan lembut. Kedua tangannya masih bergelayut manja di lengan Deril.
Banyak pria tidak bisa menolak kelembutan seperti yang diperlihatkan Karina.
Dalam hati Shima memikirkan Deril, yang mungkin tertarik pada Karina karena kelembutannya hingga tidak tahan pada godaannya. Bahkan, dia rela menyembunyikan perselingkuhan mereka setelah kakak iparnya tiada.
Semua perselingkuhan di mana pun sama saja. Mereka sengaja menjalin hubungan diam-diam, tapi pada akhirnya ketahuan juga.
Shima memelototi Karina sambil menari napas dalam-dalam. Karina pandai sekali berpura-pura. Sekarang dia bersikap lembut, pada Shima, layaknya seorang kakak pada adiknya.
Shima merasakan ada seseorang yang sedang menghunjamkan tatapan ke arahnya. Seperti sebilah pedang yang sudah diasah begitu lama hingga sangat tajam.
Deril juga tengah melihat benda yang ada di tangan Shima, dengan pandangan yang rumit dan dalam.
“Kamu mau menjual cincinmu?” kayanya.
Nada suara dari pertanyaan Deril mengungkapkan rasa tidak puas atas tindakan Shima.
Bisa-bisanya dia menjual cincin kawin mereka.
Dalam hati Shima mengumpat dan marah pada Deril.
Kalau saja Deril mau memberinya kompensasi terlebih dahulu, Shima tidak perlu menjual cincin itu.
“Mau aku jual atau enggak, gak ada hubungannya sama kamu!” sahut Shima.
Interaksi antara Deril dan Shima sempat membuat heran para pelayan dan manajer toko. Beberapa saat kemudian manajer ingat kalau wanita itu pernah datang beberapa kali bersama Deril, tapi itu sudah lama sekali.
Dia sekedar menduga-duga jangan-jangan Shima adalah selingkuhan Deril. Namun, untungnya Karina sudah mengetahuinya.
“Deril, kalau sekarang Dik Shima sangat kekurangan uang, bolehkan aku membelinya? Aku ingin cincin itu!”
Deril dan Shima sama-sama diam dan masih saling menatap dengan tatapan mata yang susah diartikan.
Karena Deril diam saja, Karina kembali berkata, “Deril, aku kasihan padanya, jadi bolehkan, kalau aku saja yang membelinya?”
Karina tidak akan rela jika hidup Shima bahagia dan, memiliki kekayaan dari Deril, apa pun bentuknya. Dia ingin memiliki semua yang masih menjadi dimilikinya.
Sebelum Deril menjawab, permintaan Karina, Shima berkata, “Kalian gak usah repot-repot!”
Lalu, dia melangkah dengan cepat ke luar toko dan menghilang dari pandangan mereka. Dia mencari tempat yang agak sepi, lalu duduk dan minum parasetamol dosis tinggi yang selalu ada dalam tasnya.
Obat-obatan pereda rasa sakit untuk kanker sangatlah mahal. Jadi, Shima hanya akan minum obat sekali-kali saja. Kalau sakit tak tertahankan itu datang di waktu yang tidak tepat seperti sekarang.
Seharusnya orang-orang seperti dia tidak boleh memikirkan sesuatu yang bisa memicu stres. Tekanan fisik dan psikis bisa mempercepat pergerakan sel kanker dalam darahnya semakin buruk.
Hari mulai menjelang malam dan hujan kembali turun dengan lebat. Bulan Desember memang begitu, langit memuntahkan airnya, setelah setengah tahun menahannya di atas awan sampai keberatan.
Saat tiba di apartemen, Shima sudah basah kuyup dan kedinginan. Ini sudah terjadi dua kali dalam sepekan, membuat tubuhnya semakin rapuh.
Setelah mengganti pakaian dan beribadah, Shima merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur berukuran kecil. Dia terpaksa harus meringkuk agar bisa tidur. Tempat itu terlalu sempit, untuk orang dewasa seperti dirinya.
Barang itu adalah satu-satunya benda paling besar, yang dia bawa dari rumah keluarga besar Deril. Sebuah tempat tidur bayi yang sengaja di beli, untuk anaknya saat lahir nanti. Namun, anak itu tidak akan pernah memakainya sampai kapan pun juga.
“Nak, kamu pasti tidur nyenyak di sana ... jangan benci Ibumu ini, ya?” Shima menangis sesenggukan.
“Tapi, kamu pantas membenci Ibu yang gak bisa menjagamu dan mempertahankan kamu hingga kamu bisa melihat dunia! Tapi, tenang saja, sebentar lagi Ibu akan menemanimu di surga.”
Shima membunyikan mainan berbentuk benda-benda langit yang tergantung di atasnya. Mainan itu bisa berputar. Lalu, terdengar alunan lagu anak-anak yang lembut.
Pada saat ini, Shima seperti bayi, yang bisa tidur setelah musik mainannya berhenti.
Pada keesokan paginya, Shima pergi mencari alamat rumah Erin -- bibinya. Wanita itu dahulu tinggal serumah dengannya di kediaman keluarga Wisra. Dia akan meminta bantuan pada bibinya itu untuk biaya perawatan ayahnya.
Saat masih muda, ibu dan ayahnya selalu sibuk bekerja dan membangun bisnis mereka hingga besar. Erin saat itu menjadi pengasuhnya.
Namun, dia melakukan itu atas kemauannya sendiri. Sebagai kompensasinya, biaya sekolahnya ditanggung oleh ayah dan ibu Shima. Bahkan, bibinya itu bisa lulus perguruan tinggi negeri, berkat bantuan Wisra.
Setelah lulus dan Erin sempat bekerja tapi hanya sebentar, wanita itu kemudian menikah dan pergi ke rumah suaminya. Saat semuanya terjadi, Shima masih sekolah dan dia juga tidak tahu, siapa yang menjadi suami bibinya itu.
Sebelum pergi ke luar negeri mengikuti suaminya, Erin sempat bertengkar hebat dengan Martha – ibu Shima, sebelum meninggal dunia. Shima tidak tahu apa masalah mereka, tapi sejak saat itu, mereka tidak pernah berjumpa.
Shima mendengar bibinya itu pulang ke kota Surala dua tahun yang lalu. Kepulangan Erin, hampir bersamaan dengan kemunculan Karina. Walaupun, kebetulan itu sedikit aneh, tapi itulah takdir, kebetulan juga perusahaan ayahnya terbakar dan Wisra pun bangkrut.
aku cuma bisa 1 bab sehari😭