Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Merasa sudah cukup siap, aku segera bergegas keluar dari rumah tanpa mau berlama-lama di sini. Aku membawa dua koper dan satu tas ransel, berat di pundakku seolah menggambarkan beban dalam hatiku.
"Rania!" Adnan memanggilku dengan suara keras.
Langkahku semakin cepat ketika sampai di halaman depan rumah, langsung mengarah ke mobil. Hatiku berdebar saat membuka pintu bagasi dan meletakkan barang bawaanku.
"Ini harus dilakukan," bisikku di dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri.
"Mau kemana kamu, Ran?" tanya Adnan, suaranya terdengar lantang.Baru kusadari dia sudah ada di belakangku.
Mendengar teriakan Adnan, aku terkesiap dan menoleh. Wajahnya yang pucat menunjukkan kelelahan dan ketegangan.
"Aku pergi, Adnan. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi," ucapnya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi.
Adnan tampak terpukul, matanya memandang ku dengan rasa tidak percaya. "Tapi, mengapa tiba-tiba?" tanyanya, suaranya terdengar serak karena kebingungan dan rasa sakit yang mulai membuncah.
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. "Aku butuh ruang, Adnan. Butuh waktu untuk memikirkan semuanya," jawabnya, sambil memalingkan wajah agar Adnan tidak melihat air mata yang mulai menggenang di matanya.
Adnan mengambil langkah mendekat, tangannya terulur ingin meraih tangan ku. Namun, aku menghindar, langkahnya mundur beberapa tapak.
"Maaf, Adnan. Aku harus pergi sekarang," katanya, sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
"Loh, kenapa, Ran? Aku masih butuh kamu dan juga Naura!" ujar Adnan dengan nada memelas.
Aku hanya menatapnya dingin, "Kamu itu bukan butuh aku, tapi hartaku. Kamu tenang saja, Adnan, rumah ini dan mobil, tidak akan aku ambil. Jadi, kamu tidak usah takut jadi miskin lagi," sindirku dengan nada sinis.
"Sombong sekali sekarang kamu, Rania! Aku tahu gaji aku tidak sebanyak yang kamu dapatkan, tapi aku masih punya harga diri, Rania!" bantah Adnan dengan keras.
Aku hanya tersenyum sinis, merasa tak percaya dengan omongan Adnan yang terasa penuh drama,
"Terserah kamu," jawabku sambil menggelengkan kepala.
Aku melangkahkan kaki untuk meninggalkan Adnan, namun tiba-tiba tanganku diraih olehnya. "Apa kamu mau pergi dan tidur dengan pria tadi? Kamu tidak pernah aku sentuh, apa jangan-jangan pria selingkuhan kamu itu yang memuaskan kamu?" tuding Adnan penuh emosi.
Aku merasa terpukul dan bingung oleh perkataan Adnan yang begitu pedas. "Apa hak dia mencemoohku seperti ini? Bukankah dia sahabatku sendiri?" Batin ku dengan jengkel dan lara.
Akhirnya, tangan tak lagi bisa ku tahan, Plak! Tamparan itu mendarat keras di pipi Adnan. Kali ini, dia benar-benar keterlaluan.
"Jaga mulut kamu, Adnan! Aku bukan seperti Sandra yang jual diri ke suami orang," sindirku dengan wajah yang penuh emosi.
Dalam hati, aku tahu bahwa Adnan dan Sandra memang punya hubungan khusus, namun aku tak pernah menduga Adnan akan menyamakan diriku dengan Sandra. Itu benar-benar menyakitkan.
"Jangan kamu menjelek-jelekkan Sandra di depanku!" teriak Adnan.
Seruan itu tentu saja membuatku merasa kian heran, mengapa ia begitu memihak Sandra? Aku hanya tersenyum sinis, melepaskan tangan Adnan, dan berjalan menuju mobil yang sudah menungguku.
Entah apa yang Adnan katakan lagi, aku benar-benar tidak ingin mendengarnya. Aku hanya ingin meninggalkan situasi itu secepatnya, tak ingin berlama-lama meratapi kepedihan hatiku ini.
Aku benar-benar tak bisa terima dengan sikap Adnan barusan. Apa haknya dia berkata seperti itu padaku? Apakah dia melihatku sebagai perempuan yang tak berharga? Sembari menahan amarah, aku fokus menyetir menuju rumah Bibik untuk menjemput Naura.
Rasa kesal ini terus mengusik pikiranku. "Kenapa Adnan bisa bersikap begitu kejam?dia sangat merendahkan ku?"
Setibanya di rumah Bibik, aku segera menghentikan mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Tak lama, pintu rumah terbuka dan terlihat senyum ramah Bibik.
"Eh nyonya, Naura sedang makan bersama anak-anak di dalam," ucap Bibik dengan ramah.
"Terima kasih ya Bik, sudah menjaga Naura," sahutku mengungkapkan rasa terima kasih.
"Sama-sama, nyonya," jawab Bibik.
Aku merasa harus berbicara sejujurnya pada Bibik tentang keputusan yang telah kutentukan.
"Bik, mulai besok Bibik tidak perlu bekerja lagi di rumah kami," ucapku dengan nada berat hati.
Bibik sontak menautkan alisnya, namun tetap bersikap sopan. "Masuk dulu, Non. Lebih baik kita bicara di dalam agar lebih nyaman," seru Bibik.
Aku mengikuti Bibik masuk ke dalam rumah sederhananya, duduk, dan bersiap untuk mengungkapkan perasaan yang sedang menghantui pikiranku.
"Sebentar, Non," seru Bibik sambil pergi ke dalam rumah untuk mempersiapkan sesuatu.
Tak lama kemudian, Naura datang dengan wajah berseri-seri dan langsung memelukku. Hatiku terenyuh saat melihat senyumnya yang tulus, namun di sisi lain, keputusan sulit yang harus kutentukan ini membuatku semakin galau.
Aku meminta Naura untuk kembali ke dalam, agar aku bisa bicara dengan Bibik secara empat mata. Naura seperti mengetahui bahwa ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Bibik, dan ia pun kembali masuk ke dalam rumah dengan patuh.
Bibik kemudian menghampiriku sambil membawa secangkir teh hangat untukku. "Tehnya, Non," seru Bibik sambil tersenyum.
"Terima kasih ya, Bik, jadi merepotkan," seruku sambil berusaha tersenyum balik, walaupun hatiku tengah dilanda keraguan.
"Sama-sama, Non," jawab Bibik dengan senyuman yang hangat dan tulus.
Lalu ia melanjutkan, "Jadi, apa yang ingin Non katakan kepadaku?" Aku merasa bingung dan sedih, sembari mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hati yang sudah lama kubawa.
Pikiranku mulai berkecamuk, mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan apa yang tengah kualami.
"Maaf, Bibik. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, yang jelas aku tidak lagi tinggal di rumah itu. Sekarang, hanya ada Tuan Adnan di sana," jawabku dengan suara serak.
Aku merasa sangat bersalah pada Bibik yang sudah setia melayani kami selama ini. Dia terlihat bingung dan cemas tentang masa depannya.
"Tapi, Non... kalau saya tidak bekerja di rumah Non, saya bekerja di mana? Jujur, Non, saya sangat nyaman bekerja di rumah Non Rania. Saya mohon, Non, jangan berhentikan saya," ucap Bibik dengan air mata mulai menggenang di matanya.
Aku melihat ke dalam mata Bibik dan tahu bahwa dia memang benar. Dia telah bekerja bersamaku selama ini dan selalu setia dalam melayani keluarga kami.
Sungguh, aku tidak tega untuk memutuskan hubungan kerja ini begitu saja, dia seperti keluarga bagiku. Aku berpikir keras, mencoba mencari jalan keluar untuk Bibik.
Apakah mungkin dia bisa menemukan pekerjaan baru yang lebih baik untuknya? Apakah aku harus mempertimbangkan untuk membawanya bersamaku? Atau, apakah ada pilihan lain yang bisa membuat Bibik bahagia dan aman dalam hidupnya? Aku harus menemukan jawaban secepatnya, demi Bibik yang telah setia melayani kami selama ini.
***
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...