Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah agama?
Freya merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Tama, dan keputusan untuk mencarinya sudah bulat. Untung saja, Tama sempat membagikan lokasi teknisnya di sebuah klub malam. Dengan semangat, Freya segera meluncur ke sana, berharap bisa menemukan Tama dan sahabat-sahabatnya.
Sesampainya di klub, suasana riuh penuh musik dan cahaya berkelap-kelip menyambutnya. Namun, saat matanya mencari-cari, Freya segera melihat Tama terbaring tidak sadarkan diri di sudut ruangan, dikelilingi oleh Danu dan Jeffry yang juga tidak mampu bangkit. Kekhawatiran menghimpit hatinya.
Dengan sigap, Freya menghampiri mereka. "Tama! Bangun, ayo!" Suaranya sedikit menggetarkan, namun Tama tetap tak bergerak. Melihat kondisi mereka, Freya tahu harus bertindak cepat. Ia mencari seorang pengemudi taksi dan membayar dengan cepat untuk mengantarkan Danu dan Jeffry pulang ke rumah masing-masing.
Setelah memastikan kedua sahabat Tama sudah aman dalam taksi, Freya kembali ke arah Tama. Dengan hati-hati, ia membangunkan Tama dan membantunya berdiri. "Ayo, kita pulang," katanya lembut, berusaha menenangkan.
Freya memutuskan untuk membawa Tama ke apartemennya, merasa lebih baik jika ia tidak melihat kedua orang tua Tama yang pasti akan khawatir. Setelah berjuang mengangkat Tama, Freya akhirnya berhasil membaringkannya di tempat tidur. Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
Tak lama kemudian, Tama membuka matanya, terlihat bingung. Freya tersenyum, berusaha menghilangkan kecemasan. "Hey, kamu di sini. Tenang, kamu aman," katanya lembut sambil melepas sepatu Tama.
Tama mengerjap, berusaha mengingat apa yang terjadi. "Freya? Kenapa …?" Suaranya serak, dan Freya merasakan hatinya bergetar melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kamu mabuk, Tama. Aku yang membawamu pulang," jawabnya sambil mengusap keningnya dengan lembut.
Tama menatap wajah Freya dengan tatapan penuh ketulusan. Dalam keadaan setengah sadar, ia mengungkapkan perasaannya yang terpendam. "Freya, kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku ingin hidup bahagia bersamamu."
Mendengar kata-kata itu, air mata Freya menetes tanpa bisa ditahan. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya. Selama ini, dia merindukan pengakuan ini, namun tidak pernah menyangka akan mendengarnya dalam keadaan seperti ini.
"Bukan hanya kamu yang ingin bahagia, Tama. Aku juga," ucapnya dengan suara bergetar.
Tama mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan keseriusan. Kedua mata Tama juga berkaca-kaca menatap wanita yang sangat dia cintai. Sungguh, dia tidak ingin meninggalkan Freya.
Malam itu menjadi saksi dari kebangkitan cinta mereka yang terpendam. Mereka menghabiskan waktu berdua, membiarkan semua masalah yang ada menghilang sejenak, terlarut dalam kehadiran satu sama lain.
***
Keesokan paginya, Tama terbangun dengan kepala yang berat, mencoba mengingat detail malam sebelumnya. Ketika matanya terbuka, dia merasa hangat dan nyaman. Namun, saat melihat sekeliling, dia menyadari bahwa dia hanya mengenakan celana dalam, dan sebelahnya ada Freya, yang juga tidak mengenakan pakaian, hanya selimut yang menutupi lekuk tubuhnya.
Jantungnya berdegup kencang saat kenangan malam itu mulai kembali. Mereka berbagi momen intim yang penuh kasih sayang dan kehangatan. Namun, rasa cemas mulai menyelinap ke dalam pikirannya. Tama merasa bingung dan khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah ini.
Freya terlihat tenang dalam tidurnya, wajahnya berseri, dan napasnya lembut. Tama teringat betapa indahnya saat-saat mereka berbagi, namun juga teringat akan semua masalah yang harus mereka hadapi. Perlahan, ia meraih tangan Freya, menggenggamnya lembut, merasa seolah waktu berhenti.
Setelah beberapa menit, Freya mulai terbangun, merasakan sentuhan lembut di tangannya. Ketika matanya terbuka dan melihat Tama, senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Selamat pagi," katanya dengan suara serak, namun hangat.
"Pagi," jawab Tama, merasa sedikit lega melihat senyumnya. "Kita ... kemarin malam ..."
Freya tersenyum, seolah memahami apa yang Tama ingin katakan. "Iya, kita berbagi momen yang spesial," balasnya, mengingat kembali keindahan malam itu.
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap, merasakan getaran di antara mereka. Tama tahu bahwa ini adalah saat yang penting untuk berbicara tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Meskipun mereka baru saja merasakan kebahagiaan, ada banyak hal yang perlu diselesaikan. Namun, di saat itu, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka bisa menjadi kekuatan untuk melewati semua rintangan yang ada.
Dengan hati-hati, Tama mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi. "Freya, aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi ... aku ingin kamu berpikir tentang pindah keyakinan. Ini satu-satunya cara agar kita bisa bersama."
Freya terdiam, terkejut dengan permintaan itu. "Tama, itu bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Keyakinan itu bagian dari diri kita, dan pindah keyakinan artinya mengubah banyak hal."
Tama merasa perasaannya semakin berat. "Aku paham, dan aku tidak ingin memaksakan kamu. Tapi untuk bisa membangun masa depan bersama, kita perlu memiliki fondasi yang sama. Aku ingin kita bisa berkomitmen satu sama lain tanpa ada batasan."
Freya menatapnya dalam-dalam, mencari kejujuran di mata Tama. "Tapi apa kamu tahu betapa sulitnya itu untukku? Seluruh hidupku, keyakinan ini sudah menjadi bagian dari diriku. Memilih untuk pindah keyakinan bukan hanya soal mengikuti kamu, tapi juga tentang mengubah cara pandang hidupku."
Tama mengangguk, merasakan betapa beratnya situasi ini. "Aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Tapi setiap kali aku memikirkan kita, hatiku percaya bahwa cinta kita bisa mengatasi segalanya. Kita bisa belajar dan tumbuh bersama, tapi kita harus memulai dari tempat yang sama."
Freya menghela napas, merenung. "Ini bukan keputusan yang bisa dibuat dalam semalam. Aku perlu waktu untuk memikirkan semua ini, untuk mengevaluasi apa artinya bagi diriku dan kita."
Tama merasa lega mendengar Freya mau mempertimbangkan. "Aku akan menunggu. Yang terpenting, kita bisa saling mendukung dalam proses ini. Cinta kita kuat, dan aku percaya kita bisa menemukan jalan."
Mereka berdua terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja dibicarakan. Tama menyadari bahwa cinta mereka memang akan menghadapi ujian, namun ia juga tahu bahwa jika mereka saling percaya dan terbuka, mereka bisa melewati semua rintangan bersama.
Sementara itu, di rumah Tama, Arman dan Rini sedang dilanda kecemasan. Semalam Tama tidak pulang, dan meskipun mereka telah mencoba berkali-kali menghubungi ponselnya, tidak ada jawaban. Arman bolak-balik di ruang tamu, menatap jam dinding yang terus berdetak, sementara Rini duduk dengan tangan gemetar, menatap layar ponselnya dengan harapan akan ada pesan atau panggilan dari putranya.
"Kemana si Tama ini? Sudah kita hubungi dari semalam, tapi nggak ada kabar sama sekali," kata Arman dengan nada frustasi.
Rini menghela napas, mencoba menenangkan diri meskipun jelas dia sama cemasnya. "Apa mungkin dia sama temannya, Danu? Tapi tetap saja, dia harusnya memberi tahu kita. Hari ini penting, keluarga Nisa akan datang siang nanti."
Arman menatap istrinya, wajahnya penuh kekhawatiran. Hari ini seharusnya menjadi momen penting, di mana mereka akan bertemu keluarga Nisa, gadis yang ingin dijodohkan dengan Tama. Rencana pertemuan ini sudah disusun dengan rapi, dan Arman berharap bisa segera membicarakan masa depan Tama. Baginya, perjodohan ini adalah solusi terbaik untuk mengakhiri hubungan Tama dengan Freya, sesuatu yang dia anggap tidak akan membawa masa depan yang baik bagi putranya.
"Kalau begini terus, pertemuan nanti bisa kacau," Arman berkata dengan nada serius. "Tama harus ada di sini. Nggak mungkin kita biarin keluarga Nisa datang tanpa kehadirannya."
Rini mengangguk setuju, namun tidak bisa menutupi perasaan khawatirnya. "Aku juga bingung, Mas. Apa mungkin Tama sengaja menghindari pertemuan ini?"
Arman menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran itu. "Kalau memang begitu, kita harus bicara serius dengannya. Ini tentang masa depannya. Kita tidak bisa biarkan dia terus terjebak dalam hubungan yang tidak jelas dengan Freya."
Sementara mereka terus menunggu dan berusaha menghubungi Tama, kegelisahan di rumah semakin memuncak. Arman dan Rini tahu, waktu semakin dekat dan mereka harus segera mencari solusi, terutama jika Tama tidak juga muncul sebelum keluarga Nisa datang.
To be continued.....