"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Delapan
“Akh… pelan-pelan, Mba Dewi.” Anisha merasa kepalanya sakit karena ulah pengasuhnya. Dewi menyisir rambut panjang Anisha dengan kasar dan malah ada banyak rambut yang rontok.
“Maaf Nona, itu karena rambutnya kusut banget. Makanya, rambutnya dipotong saja biar mudah disisir dan Nona juga gak merasa sakit saat disisir.”
“Ta-tapi kata Mama, yambut Anis bagus kayna panjang.”
“Non, Nona gak lupa dengan yang Mba katakan tadi di kamar mandi?” Dewi memiringkan dirinya disamping wajah Anisha yang duduk di depan cermin, “Itu hanya alasan dari mama anda, supaya Nona tidak cengeng menangis. Rambut kamu terlalu panjang, dan seperti hantu. Kalau dipotong pendek segini,” Dewi menunjukan batas rambut dibawah telinga Anisha, “Segini juga sudah cantik kok.”
“Gak! Anish gak mau!! Pokoknya kata Mama, yambut Anish cantik.” Meski sedikit takut, tapi Anisha masih punya keberanian mempertahankan keinginannya.
Dewi tidak bisa menahan ekspresi wajahnya, “Ya terserah Nona Anisha saja. Nona akan tahu kalau sudah mengalaminya sendiri. Jangan sampai nanti, mama Nona capek dan kabur lagi dari rumah.”
Wajah Anisha murung, dia tidak ingin mamanya pergi dan meninggalkannya lagi.
“Nah, sudah selesai. Sekarang, ayo turun karena anda bilang mau sarapan dengan mamanya kan?”
Anisha turun sendiri dari kursi rias tanpa bantuan Dewi. Bukan tidak mau menerima bantuan, tapi Dewi sendiri membiarkannya agar ‘Mandiri’, begitu katanya.
Anisha setengah berlari menuju pintu untuk segera menemui Alisha, “Nona, jangan berlari! Karena kalau anda jatuh, saya juga yang akan disalahkan. Anda tidak mau dianggap jadi anak yang nakal kan?”
Mendengar itu, Anisha memelankan langkah kakinya.
Alisha melihat Anisha dari tangga, dibelakangnya ada Dewi.
“Anisha, puteri cantik, Mama. Kamu sudah selesai mandi, Nak?” dia ingin menjemput Anisha yang bahkan belum menuruni semua anak tangga. Dengan merentangkan kedua tangan, memeluk Anisha.
“Loh? Rambut kamu kan masih basah, kenapa diikat? Ikatnya juga seperti ini, apa kepalanya gak sakit?” Alisha melihat rambut panjang gadis kecil itu.
“Maaf Bu, karena Anisha sendiri yang memintanya. Rambut Anisha cepat kering kok.”
“Tapi tetap saja… eh? Kok ada goresan disini?” disekitar kening, leher belakang dan dibawah telinga, “Ini kayak… goresan dari sisir deh.”
‘Aduh… kenapa matanya jeli banget sih? Padahal aku sendiri aja gak menyadarinya.’
“Itu… itu karena nona gak bisa duduk dengan tenang, jadi… jadi saya menyisirnya terburu-buru.” Jawabnya memberi alasan.
‘Kenapa anak yang biasanya banyak bicara, sekarang malah sering diam?’
“Oke. Sayang, sekarang kita sarapan ya.” masih menggendong Anisha, menuju ruang makan.
Para pembantu menyiapkan sarapan untuk mereka berdua saja, “Dewi, kamu makan saja dulu. Biar aku yang mengurus Anisha.” Kata Alisha yang sudah meletakan Anisha dikursi, di sampingnya.
“Maaf Bu. Tapi saya ditugaskan Tuan Sadewa untuk mengurus keperluan bahkan makanan untuk nona Anisha. Karena kalau Anisha makan, sangat berantakan dan pergi kesana kemari.”
“Tapi kan aku ada di sini, ya gak apa-apa.”
“Tapi Bu-
“Aku juga sudah bilang pada Sadewa, dan dia tidak masalah tuh. Anisha, kamu mau kan, Mama yang nyuapin kamu makan?”
“Iya Ma! Anisha mau makan bayeng Mama.”
“Nah. Kamu dengar kan, Dewi?”
“Baik Bu. Kalau begitu, saya akan makan di dapur saja.” Dewi membalikan badan untuk pergi, Alisha yang merasa tidak suka, hanya sedikit saja, masih melihat punggung Dewi yang semakin menjauh.
Makanan sudah siap. Ada dua piring di atas meja dengan lauk yang berbeda dan porsi nasinya.
“Sayang, karena rambut kamu masih basah, Mama lepas saja ikatannya ya.”
“Iya Ma. Yasanya pegal sekali Kayena ditayik teyus.” Anisha memegang kepalanya.
“Kamu gak suka? Gak mau?”
Anisha menjawab dengan gelengan kepala.
“Kalau kamu gak suka, kenapa gak bilang sama Mba-nya?”
Anisha menunduk tanpa kata.
“Ya sudah, kita sarapan dulu ya. Biar Mama suapin kamu. Nih, gak terlalu panas sekarang.”
Sudah ada beberapa suapan masuk kedalam mulut Anisha. Dia mengunyahnya dengan baik tanpa berantakan.
‘Mananya yang berantakan? Dia makannya saja ‘Anteng’ begini.’
“Mama, yambut Anisha cantik kan?”
“Iya dong Sayang. Mama belum pernah melihat rambut panjang dan hitam yang cantik begini. Rambut kamu juga lembut. Kenapa? Kamu gak nyaman kalau rambutnya panjang?”
Lagi, Anisha menggelengkan kepalanya, “Anis kiya, Mama gak suka.”
“Kan Mama bilang berapa kali, kalau Mama suka sama rambut panjang Anisha. Tapi kalau Anisha gak suka, maunya rambut pendek, Mama gak apa-apa, selama kamu suka saja. Ini, buka lagi mulutnya, Nak.”
*
Tok! Tok! Tok!
“Pak, di luar ada nona Miranda, katanya dia ingin bertemu dengan anda.” Ucap Yusra, sekretaris Sadewa yang berusia 27 tahun.
“Aku sedang sibuk, tidak mau diganggu. Suruh dia pergi saja.” Jawabnya sambil jari-jari tangan menandatangani berkas.
“Saya sudah mengatakan seperti itu, tapi dia bersikeras ingin menemui anda. Kalau tidak, dia akan nekad masuk, atau mungkin membuat keributan.”
Sadewa melepas kacamatanya, “Itu saja kau tidak bisa mengatasinya? Apa di gedung ini tidak ada security? Panggilkan mereka, dan seret saja dia keluar.”
“Me-menyeretnya?”
“Cepat pergi dan jangan menggangguku.”
“Ba-baik Pak.” Walau ragu, Yusra harus melakukan perintah dari atasannya.
Sadewa meraih ponselnya karena ingin berbicara dengan puterinya.
“Hallo? Dengan siapa?” Dewi yang mengangkat telepon rumah.
“Dewi, dimana dan apa yang puteriku lakukan?”
“Tuan Sadewa?”
“Ck, apa kau tidak mengenal suara majikanmu sendiri? Jawab pertanyaanku itu!”
“Anu, sejak pagi, nona Anisha selalu bersama ibu Alisha. Padahal harusnya jam segini, nona Anisha tidur siang.”
“Apa dia sudah makan siang?”
“Sudah, Tuan.”
“Apa Anisha merengek, menangis atau… apa?”
“Tidak ada juga, Tuan. Tapi dia terus menempel dengan wanita itu. Karena dia terus membela nona, nona jadi tidak mau patuh pada saya.”
“Biarkan saja, yang penting ada Alisha disana.”
“Ta-tapi Tuan, wanita itu juga sepertinya mengabaikan nona. Walau nona menempel padanya dan mengajak main, sebenarnya nona lebih banyak main sendiri dan wanita itu hanya sibuk mengambil foto dan lihat-lihat video dari ponselnya. Terkadang saya kasihan juga pada nona, tapi… nona lebih memilih bersama wanita itu.”
“Kalau begitu ambil dan bawa Anisha. Bawa dia ke kamarnya, suruh tidur siang.”
“Baik Tuan.”
Klik!
Sadewa mengakhiri teleponnya.
‘Nah, kalau begini kan, anak kecil itu gak bisa menolakku. Kan bapaknya sendiri yang suruh.’
Baru saja telepon ditutup, Alisha sudah datang dan menggendong Anisha yang tertidur dalam gendongannya.
“Maaf Bu. Saya ingin membawa Anisha untuk ditidurkan.” Dewi ingin mengambil Anisha.
“Tidak, biar aku yang antar ke kamarnya. Dia juga sudah tidur, kalau dipindahkan ke kamu, dia bisa bangun.” Alisha menjauh dari Dewi.
“Tapi Bu, barusan Tuan Sadewa menyuruh saya mengambil nona dari anda.”
“Lah? Kan Anisha sedang tidur. Ini juga mau diantar ke kamarnya.”
Dewi mengikuti Alisha yang menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamar Anisha.