Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Kentut dalam Diam, Cinta dalam Genggaman?
Sebuah suara aneh yang sangat khas dan tak bisa disangkal, membuyarkan suasana tenang. Suara kentut yang keras, diikuti dengan bau yang tak sedap, membuat Gara yang sedang berbicara dengan penuh percaya diri langsung terdiam. Anya menutup hidungnya, jelas terkejut dan terganggu oleh bau yang tiba-tiba menyeruak di udara.
Dalam hitungan detik, momen yang baru saja terasa sangat nyaman berubah menjadi sangat canggung.
Gara langsung pucat. Wajahnya memerah seketika, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah itu darinya? Atau mungkin ada orang lain yang tak sengaja lewat? Semua tampak seperti mimpi buruk yang tak terduga.
"Jangan bilang ... ini dari gue," batinnya panik, ingin menyangkal bahwa dirinya lah penebar gas beracun ini. Ia menoleh ke sekitar, berharap menemukan seseorang yang bisa dijadikan kambing hitam, mungkin ada orang lewat, atau seekor kucing yang nakal, apa saja, asal bukan dia pelakunya.
Sayangnya, tak ada siapa pun di sekitar. Cuma dia dan Anya.
Anya mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap Gara dengan pandangan penuh tanya. Ada jeda canggung yang terasa seperti selamanya. Udara di sekitar mereka seolah berhenti bergerak. Bau tak sedap semakin memenuhi udara.
Gara menelan ludah, tidak tahu harus bilang apa. Dia mempertimbangkan segala kemungkinan: apakah dia harus pura-pura tidak tahu? Menyalahkan semak-semak? Atau, lebih gila lagi, menyalahkan angin? Tapi sebelum dia bisa mengambil keputusan, Anya tiba-tiba terkekeh.
Kekehan kecil yang tertahan berubah menjadi tawa besar. Anya tertawa sampai terpaksa memegang perutnya, seakan kejadian ini adalah hal paling lucu yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Gara masih bingung antara lega atau semakin malu. "Eh, apa yang lucu?" tanyanya, mencoba mengendalikan situasi, meski jelas-jelas kalah telak.
Anya, dengan wajah merah karena tertawa, mencoba menenangkan diri. "Maaf ... tapi ini ... oh Tuhan, ini terlalu lucu!" katanya sambil berusaha mengatur napas. "Kamu tadi kelihatan ... kayak mau pingsan!"
Gara ingin tenggelam ke dalam tanah. Namun, melihat Anya yang tak berhenti tertawa, dia sadar satu hal, ini bisa jadi tidak terlalu buruk. Setidaknya, Anya tidak merasa jijik, hanya ... sangat terhibur.
"Aku ... aku kira ada kambing lewat," canda Gara, mencoba menyelamatkan harga dirinya, meski tahu usahanya sudah telanjur sia-sia. Ia ikut tertawa, walau rasanya canggung setengah mati.
Tawa mereka akhirnya meredakan suasana canggung. Di antara tawanya, Anya akhirnya berkata, "Gara, kamu lucu juga ya ... dan aku suka kalau kamu nggak berusaha terlalu keras."
Meski malu, Gara merasa ada secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, kejujuran dan ketulusan, bahkan dalam momen segawat ini, adalah kunci yang sebenarnya.
Gara merasa perlu memperbaiki situasi yang memalukan ini. Dia mengumpulkan keberanian, lalu dengan wajah canggung, berkata sambil menunduk, "Anya, gue minta maaf banget ... Kayaknya makanan yang gue makan kemarin itu kayak bom biologis. Gue nggak nyangka bakal jadi ... gas beracun begini."
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh rasa malu, tetapi niat konyolnya untuk bercanda membuat Anya terkekeh. Tawa kecilnya segera berubah menjadi tawa yang lebih besar. Meskipun ia sempat memegangi perutnya karena mual akibat gas beracun Gara, kini Anya justru terlihat terhibur.
"Gara, kamu tuh ya ... ada-ada aja," kata Anya di antara tawanya, masih terhibur oleh kekonyolan Gara. "Aku sampai mikir tadi tuh, kita lagi di peperangan gas beracun apa gimana!"
Gara menatap Anya dengan senyum malu-malu, tapi dalam hatinya merasa sedikit lega. "Gue beneran nggak bermaksud, sumpah. Tapi ternyata ... mungkin gue emang berbakat bikin orang tertawa, bahkan tanpa berusaha."
Anya mengangguk sambil tersenyum. "Iya, kamu berhasil bikin aku ketawa kok, meski perut sempat mual. Tapi... it's okay, Gara. Nggak perlu minta maaf terus. Kadang, hal-hal yang nggak terduga kayak gini malah bikin kita lebih dekat."
Mendengar itu, Gara pun tersenyum lebar. Meski caranya konyol, dia akhirnya menyadari bahwa momen ini, bagaimanapun memalukannya, telah membuat hubungannya dengan Anya sedikit lebih santai dan tulus.
Dari kejauhan, Dion memerhatikan Gara dan Anya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Tangannya terkepal kuat, menunjukkan perasaan cemburu yang mulai membara di dalam dirinya. Dia selalu merasa bahwa Anya nyaman berada di dekatnya, tapi sekarang, saat melihat Anya tertawa lepas bersama Gara, ada rasa iri yang mendalam yang tak bisa dia hindari.
"Kenapa dia selalu terlihat bahagia kalau sama Gara?" gumam Dion dalam hati, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Tawa Anya yang riang membuat perasaannya semakin berkecamuk. Meski Dion sering bersama Anya, dia belum pernah melihat tawa sekeras itu dari Anya ketika mereka berdua. Ada sesuatu yang berbeda ketika Anya bersama Gara, dan hal itu membuat Dion merasa tersaingi.
Perlahan, dia menghela napas panjang, mencoba meredam rasa cemburunya. Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa sesuatu harus dilakukan. Dion tidak bisa hanya berdiri diam dan membiarkan Gara merebut perhatian Anya begitu saja.
***
Di sudut warung kopi Mas Jon, Yoyok duduk santai dengan secangkir kopi di tangan. Suasana santai tiba-tiba berubah, ketika tanpa disadari, suara khas yang tak terduga terdengar dari arah bangkunya. Semua mata, termasuk Mas Jon dan Darto, langsung tertuju pada Yoyok yang hanya bisa terdiam sejenak.
Seketika suasana menjadi hening.
Mas Jon menatap Yoyok dengan ekspresi setengah kaget setengah geli, sedangkan Darto mulai menggigit bibir, berusaha menahan tawa. Tapi percuma, dalam hitungan detik, Darto tak bisa lagi menahan diri dan langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, Yoyok! Beneran deh, lo bikin hari gue tambah lucu!"
Yoyok, yang mencoba tetap tenang, hanya bisa tersenyum canggung. "Eh, gue nggak sengaja, sumpah! Tadi abis makan makanan yang kayaknya ... terlalu pedes."
Mas Jon, yang akhirnya ikut tertawa, menggeleng-geleng sambil berkata, "Pedes apaan, Yok? Itu mah bukan pedes, tapi suara mercon yang keluar dari dalam perut lo!" Semua yang ada di warung tak bisa menahan tawa lagi, bahkan pelanggan lain ikut terkekeh melihat kejadian itu.
Yoyok memegang perutnya, sambil memandang ke arah Darto dan Mas Jon, "Halah, daripada lo pada ketawa, mending bantuin gue nyari angin buat napas! Ini aroma kayak serangan kimia!"
Mereka semua semakin terpingkal-pingkal, terutama Darto yang sudah berurai air mata saking kerasnya tertawa. "Hahaha, jangan-jangan lo sengaja, Yok, biar bisa ngehibur orang-orang di sini!"
Mas Jon melambaikan tangan, sambil berkata, "Wah, warung gue bener-bener makin terkenal deh, gara-gara lo!"
Yoyok, yang awalnya malu, kini ikut tertawa bersama mereka. Dengan wajah masih setengah canggung, dia akhirnya tertawa juga, meski perutnya masih terasa sedikit kembung.
***
Di parkiran kampus, Gara sudah siap pulang dengan motor bebek dan helm gas melon yang menjadi ciri khasnya. Saat dia memeriksa ponselnya, tiba-tiba Dion muncul dengan ekspresi marah dan menunjuknya dengan jari telunjuk.
"Gara! Gue tahu lo yang ngatur semua ini!" teriak Dion dengan nada menuduh.
Gara terkejut dan langsung menengok. "Maksud lo apa, ya? Ngapain lo teriak-teriak kayak orang gila?" jawabnya dengan gaya santai, berusaha tidak terlihat panik.
Dion mendekat, masih dengan nada mengancam. "Lo pikir semua orang bodoh? Semua orang tahu lo ada di lapangan saat itu! Coba deh, lo jujur, apa lo yang olesin minyak pelicin itu?"
Gara menggeleng-gelengkan kepala sambil menyeringai. "Duh, bro, minyak pelicin? Biarin deh, lo percaya sama rumor konyol itu. Kalau lo nanya sama para penggembira di lapangan, mereka bakal bilang itu dari kejadian alam, bukan ulah manusia!"
Beberapa mahasiswa yang sedang berkumpul di sekitar mereka mulai tertawa mendengar jawaban Gara. Salah satu dari mereka berteriak, "Iya, Dion! Siapa tahu itu cuma efek dari keringat elu yang banjir hingga bikin lantainya licin!"
"Jangan ngeles, deh! Kemarin yang sabotase hadiah buat Anya pasti juga elu sama Yoyok, 'kan? Buktinya, lo keluar dari semak-semak yang nggak jauh dari gue!" Dion menuduh dengan nada menantang.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued