Siapa sangka, Alya yang pernah memutuskan Randy 8 tahun lalu, membuat lelaki itu memiliki dendam mendalam. Hingga saat ini, Randy masih mencari Alya hanya untuk membalaskan rasa sakitnya. Sisa cinta dan dendam seakan saling bertarung di hati Randy.
Kehidupan Alya yang berubah drastis, membuatnya mau tak mau bekerja sebagai asisten rumah tangga yang tergabung di salah satu yayasan penyalur ART ternama.
Hingga takdir mempertemukan mereka kembali, Alya bekerja di rumah Randy yang kini sudah beristri. Di situ lah kesempatan Randy memperlakukan Alya dengan buruk. Bahkan, menghamilinya tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu apa alasanku dulu memutuskanmu, kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.” – Alya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
CCTV kantor yang tiba-tiba rusak beberapa hari lalu, membuat Alex terpikirkan untuk juga memeriksa CCTV rumahnya.
Sepulang kantor, ia langsung menuju ruang CCTV. Dibukanya satu per satu file rekaman yang seharusnya otomatis terekap setiap bulannya. Tapi, betapa terkejutnya ia ketika rekaman terakhir hanya sampai bulan lalu. Tak ada file rekaman bulan ini.
Ia pun langsung memanggil Sugeng dan Teguh untuk memeriksa CCTV, siapa tahu ada kerusakan.
“Tidak ada yang rusak, Pak,” ujar Sugeng setelah beberapa kali memeriksa semua kamera CCTV.
Kebingungan, Alex merasa ada yang janggal dengan semua ini. Seakan terlalu kebetulan dengan masalah yang terjadi pada kamera CCTV kantor dan rumahnya. Ia langsung menemui sang papa untuk menanyakan sesuatu.
“Pa, apa ada acara atau hal apa pun selama Alex pergi?” tanyanya lugas.
“Acara apa? Tidak ada acara apa-apa. Paling hanya undangan makan malam di rumah Randy,” jawab Om Tama datar.
Mengangkat satu alisnya ke atas, Alex mulai menduga-duga. Ia lalu kembali bertanya pada kedua satpamnya dan juga salah seorang asisten rumah tangga yang saat itu tengah mengantarkan teh untuknya. “Waktu acara makan malam, apa rumah kosong?”
Kedua satpam dan ART menggeleng dengan kompak.
“Atau ada tamu?” lanjut Alex.
Sugeng pun menceritakan bahwa saat itu asisten rumah tangga Randy memang ke rumah untuk mengantar makanan.
Semakin serius, Alex menanyakan lagi apakah mereka sempat masuk ke dalam rumah.
“Masuk, Pak. Tapi hanya masuk ke dapur menemui Minah untuk dibantu memindahkan makanan dari wadah yang dibawanya. Itu juga saya yang antarkan dan tidak saya tinggal. Setelah itu, kita keluar lagi,” jelas Teguh menoleh ke arah asisten rumah tangga di sebelahnya.
"Apa ada barang yang hilang, Pak?" sahut Sugeng yang melihat raut wajah serius dari majikannya itu.
Terdiam, Alex tak menjawabnya.
Alex yang tak tahu apa-apa tentang semua ini, sedari awal memang tak suka saat Randy diberikan jabatan di kantor sang papa. Bahkan, ia juga selalu membenci sepupunya itu karena telah dibiayai papanya hingga S2. Ia selalu curiga dan berpikiran jika Randy bisa saja mengambil alih kepemilikan perusahaan. Untuk itu, ia begitu ketat menjaga semuanya agar hal-hal buruk tidak terjadi
Setelah menyeruput teh, Om Tama menyela percakapan Alex. “Memangnya ada apa sampai kamu panik begini? Ada yang hilang? Kamu menuduh mereka yang curi? Apa yang dicuri?"
Menoleh ke arah papanya, Alex menjelaskan bahwa rekaman CCTV selama 1 bulan ini tak terekap.
“Oalah, soal itu saja sampai begitunya kamu menuduh orang. Papa kira ada barang berharga yang hilang. Lagi pula kalau ada tamu, mereka juga pasti mengawal dan menjaga rumah. Nyatanya, tak ada apa-apa ‘kan? Kamu dari dulu selalu suka overthinking.”
Memang, tak ada yang seharusnya Alex permasalahkan karena hal ini termasuk kesalahan teknis yang sangat mungkin terjadi pada sebuah alat ciptaan manusia.
Ia pun lalu meminta seluruh pekerjanya meninggalkan ruang tengah karena ingin berbicara empat mata dengan papanya.
“Dari dulu kamu terlalu antipati terhadap Randy, sehingga semua seakan kamu jaga terlalu erat. Sampai-sampai, untuk hal seperti ini saja kamu permasalahkan. Hidup itu yang santai, Lex,” ujar Om Tama menasihati anaknya.
“Bukan begitu, Pa. Alex begini karena tak ingin dia sampai menguasai apa yang menjadi milik kita. Jangankan teman, saudara juga bisa saja berkhianat. Untuk itu, Alex selalu waspada dan memilih menjaga semua ini baik-baik jangan sampai lengah,” jelas Alex.
Merasa hal itu tak mungkin Randy lakukan, Om Tama yakin betul keponakannya itu tak seperti itu. “Lagi pula, andai ketakutanmu itu benar, memang Randy bisa merebut semua ini sendirian? Dia saja tak punya siapa-siapa. Dia tak akan berani melakukannya.”
Tak membantahnya lagi, Alex terdiam.
Setelah itu, Om Tama bergegas kembali ke kamar karena ingin beristirahat dan meminta anak sulungnya itu untuk hidup lebih tenang dan fokus menghadirkan cucu untuknya.
Sementara itu, Rani yang sedari tadi berdiri mematung di pintu dapur, hanya bisa menguping pembicaraan orang-orang di ruang tengah.
Hingga saat Om Tama telah sampai di kamarnya, ia mulai memeriksa beberapa berkas-berkas yang ada di laci seluruh lemarinya. Tak ada yang hilang alias masih utuh semuanya. Seketika ia merasa lega dan bodoh telah mengikuti sikap Alex yang over protective.
“Mana mungkin dia bisa mencari Antonio yang tak tahu sekarang sudah pindah ke mana. Lagi pula, kalau pun ketemu memang mau apa? Orangnya saja sudah pensiun lama, paling sekarang juga sudah pikun dan sakit-sakitan. Belum lagi anak itu juga tak akan bisa mencari bukti apapun tentang semua ini. Kenapa juga kita harus khawatir, Lex. Selama ini saja kita sudah baik padanya, tentu dia tak akan berani macam-macam,” gumamnya lirih.
***
Mulai membaik meski belum kembali seperti semula, tapi setidaknya Alya sudah mau bicara banyak pada Gio, sebab itu lah yang terpenting.
“Mama sudah sehat?” tanya bocah polos itu.
Mengangguk sambil tersenyum, Alya meminta Gio mendekat padanya. “Maafkan Mama ya, Gio. Gio pasti sedih, ya.”
Mengutarakan kesedihannya karena melihat mamanya sakit, Gio merasa sedikit bahagia karena ada Om-nya.
“Om?” Alya menatap anaknya serius.
Mengangguk, Gio menceritakan bahwa kemarin ia baru saja pergi bermain bersama omnya itu. Ia juga pulang membawa makanan untuk mamanya, opa, oma, Mbak Nana, dan teman-teman panti. “Gio bahagia sekali. Gio jadi tidak kesepian. Ma, Gio mau punya papa.”
Ucapan Gio yang seakan menghantam dadanya hingga sesak, membuat Alya terdiam dan memalingkan wajahnya dari sang anak hingga sekian menit.
Tak lama, Nana mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar untuk memanggil Gio.
“Gio, Gio dicari teman-teman tuh, mau diajak main di halaman depan, gih, sana,” pinta Nana mengusap rambut Gio.
Gio pun turun dari kasur dan langsung berlari menghampiri teman-temannya di luar.
“Al, kamu sudah lebih baik?” tanya Nana pelan sembari duduk di atas kasur.
Terdiam, Alya seakan tak mengindahkan pertanyaan Nana.
“Al, Pak Antonio yang mengizinkan Randy mengajak keluar Gio, agar dia tak sedih melihatmu seperti ini. Al, aku juga sedih melihatmu begini. Aku ingin kamu bisa seperti semula, Gio butuh kamu. Aku tahu jadi kamu tidak lah mudah, tapi jadi Gio dan ayahnya juga sama sulitnya. Apa tidak bisa kamu memikirkan kebahagiaan Gio yang ingin sekali kamu bisa berkumpul bersama ayahnya?” Tanpa basa-basi Nana dengan lancang mengutarakan isi otaknya.
“Kamu tidak tahu apa-apa. Jangan ajari aku tentang berkorban demi Gio. Apa kamu pikir aku tidak berkorban dengan membuka hati untuk laki-laki breng*ek itu yang akhirnya malah ingin menodaiku?” Alya meninggikan suaranya.
"Dan ayah Gio yang menolongmu, demi menebus semua kesalahannya padamu, juga demi kepeduliannya padamu. Apa tidak bisa kamu menerima niat baiknya?” lanjut Nana tak gentar.
Menatap mata Nana dengan tajam, Alya seakan ingin memakannya hidup-hidup.
“Dia sudah berkeluarga. Kami tidak akan pernah bersama. Apa yang sudah dia lakukan padaku adalah kesalahan fatal yang tak akan pernah ada penyelesaiannya!" tegas Alya tak memalingkan tatapan tajamnya pada Nana 1 centimeter pun.
...****************...