Kisah tentang tiga anak indigo yang berjuang demi hidup mereka di dalam kiamat zombie yang tiba tiba melanda dunia. Mereka mengandalkan kemampuan indigo mereka dan para hantu yang melindungi mereka selama mereka bertahan di tempat mereka, sebuah rumah angker di tengah kota.
Tapi pada akhirnya mereka harus meninggalkan rumah angker mereka bersama para hantu yang ikut bersama mereka. Mereka berpetualang di dunia baru yang sudah berubah total dan menghadapi berbagai musuh, mulai dari arwah arwah penasaran gentayangan, zombie zombie yang siap menyantap mereka dan terakhir para penyintas jahat yang mereka temui.
Genre : horror, komedi, drama, survival, fiksi, misteri, petualangan.
Mohon tinggalkan jejak jika berkenan dan kalau suka mohon beri like, terima kasih sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Melihat pria itu melihat Dewi dengan tidak senonoh, Reno menghalangi Dewi yang berada di belakangnya, dia langsung bertanya pada pria yang berada di dalam lapangan itu.
“Siapa ?” tanya Reno.
“Wah maaf kalau saya menakuti kalian terutama gadis itu hehe, nama saya Sumarno, saya narapidana di sini, saya sudah hampir 20 tahun disini, tidak usah takut, saya hanya bertugas membersihkan lapangan,” ujar Sumarno.
“Bu...bukankah semua narapidana sudah di basmi ?” tanya Reno.
“Makanya tadi saya tanya, siapa yang bilang begitu, kita masih ada kok, tapi ya memang tidak semuanya,” jawab Sumarno dengan wajahnya yang licik.
Matanya tidak lepas dari Dewi sehingga membuat Dewi sangat tidak nyaman, dia terus bersembunyi di balik Reno.
“Aduh maaf ya mba, kita di sini ga ada wanita, tentu mba tahu kan kalau kita melihat wanita bagaimana hehe,” ujar Sumarno.
“Permisi,” ujar Reno.
Reno langsung berbalik dan mendorong Dewi yang menggendong Felis pergi, dia menoleh sekali lagi dan melihat Sumarno masih menatap dirinya sambil tersenyum licik, Reno melirik ke sebelah Sumarno, ternyata ada sebuah gentong besi yang biasa di pakai untuk membakar sampah, tertutup rapat sehingga tidak di ketahui isinya. Setelah mereka agak jauh, mereka melihat Sumarno kembali menyapu halaman.
“Mba Ajeng boong nih, katanya udah ga ada, lah itu,” ujar Reno.
“Iya, sampe takut gue, gila matanya serem banget,” tambah Dewi.
“Udah deh yu, kita balik aja ke bangsal, kayaknya di sana aman,” ujar Reno.
Ketiganya kembali berjalan menelusuri lorong untuk kembali ke bangsal, Reno menoleh dan tiba tiba berbalik melihat lapangan,
“Ada apa Ren ?” tanya Dewi.
“Ga salah nih ? kok dia ga ada ?” tanya Reno menunjuk ke lapangan.
“Hah,” Dewi menoleh, ternyata memang benar Sumarno sudah tidak ada di lapangan padahal mereka baru berjalan tidak sampai satu menit. Dewi langsung ketakutan dan merangkul lengan Reno.
“Kemana dia Ren ?” tanya Dewi.
“Justru itu....dan yang lebih aneh, gentongnya juga ga ada, masa dia bisa bawa gentong keluar dari lapangan secepat itu, ga mungkin,” jawab Reno.
“Kayaknya kita balik aja deh ke bangsal,” balas Dewi.
“Ya udah deh yu,” balas Reno.
Mereka berjalan agak cepat menuju ke bangsal, ketika sampai mereka melihat pintu bangsal tertutup dan seorang tentara berdiri tepat di depan pintu dan pintu bangsal tertutup.
“Permisi pak, kami mau masuk,” ujar Reno.
“Oh...maaf, kalian tidak bisa masuk dulu, semua sedang di bersihkan di dalam,” ujar sang tentara.
Reno melirik ke nama sang tentara yang tercantum di seragamnya, nama tentara itu adalah Danang Herdiman. Reno kembali melihat wajah sang tentara yang terlihat sedikit gelisah,
“Pak, barusan lihat ada narapidana sedang menyapu di halaman ga ?” tanya Reno.
“Hah..kamu ini bicara apa ? sudah tidak ada narapidana di penjara ini, semua sudah menjadi zombie dan sudah kita basmi, mayat mereka sudah kita bakar dan menjadi debu di belakang, silahkan kesana dan cek sendiri,” jawab sang tentara sedikit kesal.
“Tapi dia ada pak, tadi di lapangan dan bawa gentong gede,” tambah Dewi.
“Kalian tolong jangan main main ya, kita di sini sudah cape dan sudah lelah dengan ancaman yang tidak ada habisnya, jangan memperkeruh tugas kami,” ujar sang tentara yang mulai marah.
“Kalau gitu boleh tidak kita masuk, kita kan pengungsi, kita mau istirahat,” ujar Reno.
“Kalian ini benar benar maksa ya, sudah saya bilang di dalam sedang di bersihkan, tunggu disini, saya cek ke dalam sebentar,” ujar sang tentara.
Dengan wajah nampak kesal, sang tentara membuka pintu dan cepat cepat masuk ke dalam, kemudian dia mengunci pintunya dari dalam. Reno, Dewi dan Felis menunggu di balik pintu, 5 menit pun berlalu, kemudian 10 menit berlalu dan terakhir 30 menit berlalu, ketiganya mulai bertanya tanya,
“Lama amat ngecek doang,” ujar Reno.
“Parah amat ya tuh orang, ga ramah kayak mba Ajeng atau pak Faizal,” balas Dewi.
“Felis mau pulang,” celetuk Felis.
Reno dan Dewi langsung menoleh melihat Felis yang mereka gandeng, wajah Felis terlihat ketakutan dan pucat pasi. Reno dan Dewi kembali jongkok di depan Felis dan membujuknya, setelah itu,
“Kenapa Felis mau pulang ?” tanya Reno.
“Di sini berbahaya, semua mati....semua hilang...Felis takut,” jawab Felis.
“Hah...maksudnya semua mati ?” tanya Dewi.
“Kak Reno, kak Dewi, Felis dan semua orang di dalam akan mati,” jawab Felis.
Reno dan Dewi menelan saliva mereka, mereka menoleh melihat satu sama lain, tiba tiba Felis berjalan melewati mereka dan berjinjit di depan pintu, tangannya meraih gagang pintu yang tertutup rapat. “Krek,” Felis menarik gagang pintunya dan pintu terbuka sedikit, “hei...cepat baris,” terdengar teriakan di dalam. Karena penasaran, Reno dan Dewi mengintip melalui celah pintu, mata mereka langsung membulat karena di dalam ruangan terlihat banyak sekali pengungsi pria yang tergeletak di lantai bersimbah darah, sedangkan para pengungsi wanita berbaris di dinding dalam keadaan tanpa busana. Di tengah ruangan terlihat delapan orang yang memegang senapan buru dan terlihat memakai pakaian narapidana, pemimpin mereka duduk di atas gentong di dampingi tentara yang mencegah mereka masuk barusan dan ketika melihat wajah sang pemimpin, Reno dan Dewi terkesiap,
“Sumarno,” ujar keduanya.
“Nah sekarang kita mau pulang ?” tanya Felis dengan suara berat.
Reno dan Dewi menoleh, mereka langsung mendongak ke atas karena Felis yang berdiri di belakang mereka terlihat sangat besar dan wajahnya yang besar sedang melihat mereka.
“Yuk kak Reno, kek Dewi kita pulang,” Felis bicara sekali lagi.
Mulut Felis terbuka sangat lebar dengan rahang terlihat memanjang, wajahnya mendekat ke Reno dan Dewi yang berpelukan karena ketakutan, “waaaaaaaaaaaa,” Reno dan Dewi berteriak, “gulp,” Felis menelan mereka bulat bulat.
******
“Whoaaaaaah,”
Reno dan Dewi terbangun dengan kencang, mereka langsung melihat sekitar, ternyata mereka masih duduk di tempat semula di dalam bangsal, keduanya menoleh ke tengah, Felis masih tertidur di antara mereka di atas tikar dan di selimuti. Tubuh Reno dan Dewi penuh dengan keringat dingin, nafas mereka terengah engah, keduanya saling menoleh melihat satu sama lain,
“Apa...barusan kita ketiduran ?” tanya Reno.
“I..iya, kita ketiduran....tapi cuman 15 menit....lihat,” jawab Dewi sambil mempelihatkan jam tangannya.
“Mimpi itu....terasa nyata banget,” ujar Reno.
“Ya....kita pernah kan mengalami ini ?” tanya Dewi.
Reno dan Dewi menoleh sekali lagi melihat Felis yang tidur terlentang dengan lelap tanpa memperdulikan sekitar.
“Felis....mau mengatakan sesuatu sama kita,” ujar Reno.
“Iya, sama kayak waktu itu, Felis memperlihatkan masa depan,” balas Dewi.
“Apa ya maksudnya, apa masih ada narapidana di penjara ini ?” tanya Reno.
“Entah, tapi kita harus siap siap, kita tidak tahu kapan terjadinya mimpi barusan,” jawab Dewi.
“Tidak mungkin kan kita bilang sama pak Faizal soal ini,” ujar Reno.
“Ga akan ada yang percaya,” balas Dewi.
“Prang,” terdengar suara sesuatu yang pecah di kejauhan dan masih di dalam bangsal, “lepas,” terdengar suara teriakan seorang gadis Reno dan Dewi melihat para pengungsi berdiri kemudian berlarian menuju ke arah suara terdengar, tapi terlihat sekali ada beberapa orang yang menghalangi mereka.
“Gue lihat dulu Wi, lo di sini ama Felis,” ujar Reno.
“Ikut, suara teriakan barusan kayaknya gue kenal,” balas Dewi.
“Lah trus Felis ?” tanya Reno.
“Lo gendong dia, ayo cepet,” jawab Dewi.
Reno langsung menggendong Felis yang masih tidur, kemudian keduanya berlari ke arah kerumunan, ketika sudah dekat,
“Lepas ga, gue ga mau,” teriak seorang gadis.
“Jangan banyak omong, lo kalau mau di sini harus nurut ama bos,” teriak seorang pria.
“Hohoho jangan melawan, sudah ikut saja dengan kami,” ujar seorang pria paruh baya.
Mendengar percakapan di depan, Dewi menerobos maju ke depan, Reno yang bingung akhirnya mengikuti Dewi menerobos sambil menggendong Felis. Ketika sampai depan, Dewi dan Reno terkesiap karena gadis itu adalah Indah, tangannya sedang di pegang oleh seorang pria berwajah preman dan bertubuh kekar bertelanjang dada.
“Ren, lihat,” Dewi menunjuk ke belakang pria itu.
Reno menoleh, dia melihat seorang pria paruh baya yang bertubuh kurus, berkepala separuh botak dan berwajah licik dengan hidung bengkoknya,
“Sumarno,” ujar Reno.