Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Bawel
Azkara meneguk salivanya tatkala Shanum lagi-lagi melontarkan pertanyaan semacam itu. Agaknya kesiapan sang istri untuk menunaikan tugasnya tidaklah main-main.
Tidak bisa dipungkiri beberapa waktu sebelumnya Azkara memang ingin, sangat-sangat ingin. Akan tetapi, detik ini setelah Shanum menawarkan diri hassratnya untuk bercinta seketika layu.
Bukan karena Shanum tidak menarik, bukan pula karena dia mengidap kelainan atau penyakit tertentu, akan tetapi Azka merasa waktunya belum tepat saja. Pikiran pria itu sama sekali tidak tenang, suara pecahan benda keras yang tadi terdengar adalah alasannya.
"Ehm lain kali saja, malam ini kita tidur dulu," jawab Askara pada akhirnya.
Setelah sempat ragu eksekusi sekarang atau tidak, pria itu memutuskan untuk menunda demi menghindari sesuatu yang tidak-tidak. Akan tidak lucu jika di tengah rutinitasnya sang papa datang dengan membawa cambuk atau yang lain untuk menghajarnya.
Dengan kata lain, setelah membuat sang papa menjadi sasaran empuk kemarahan mamanya, Azkara sama sekali tidak bisa tenang. Kembali lagi, yang rugi adalah dirinya sendiri.
"Lain kali?"
"Iya, tidak masalah, 'kan?"
"Tidak, aku yang khawatirnya ini jadi masalah untuk kamu," ungkap Shanum mengulas senyum hangat.
Jawaban Azkara sungguh melegakan, dalam hatinya justru bersyukur karena sebelum ini Shanum sudah dibuat ketar-ketir dan bergidik ngeri akan nasibnya andai benar Azka ga-gahi.
"Oh tidak, a-aku juga butuh persiapan lebih dulu." Azkara gelagapan, tatapan Shanum yang sebenarnya biasa saja tapi dia terima berbeda.
"Persiapan? Persiapan gimana?"
Azkara menarik napas dalam-dalam, dia menggigit bibir dan mengusap wajahnya perlahan. Maksud hati tidur lebih cepat agar tenang, tapi sang istri justru benyak pertanyaan sembari terus menatapnya yang membuat Azkara uring-uringan.
"Persiapan apapun, fisik maupun mental," jawab Azka berusaha menghindari tatapan Shanum.
Jawaban Azkara sangat berbanding terbalik dengan kelakuannya di kamar Shanum. Bagaimana bisa seorang Azkara yang bahkan berani mengecup bibir dan memeluk seketika cupu sampai mengatakan butuh persiapan fisik maupun mental segala.
"Tubuh kamu masih sakit sepertinya ya?"
Walau sudah tenang karena dirinya aman, bukan berarti Shanum lepas tangan. Karena ucapan Azkara memang terkesan ambigu dan agak membingungkan, Shanum khawatir memang ada sesuatu yang terjadi dengan fisik sang suami.
"Ehm, tadi juga di bus kelamaan ... tubuhku makin sakit semua," jawab Azka dan lagi-lagi berhasil membuat Shanum merasa bersalah.
"Duh, pasti karena aku ya?"
"Tidak, memang dasarnya saja pegal, bukan karena kamu," jawab Azka mulai memejamkan mata dengan harapan sang istri akan tidur segera.
"Tetap saja karena aku, aku pijat ya, Mas?" tawar Shanum sontak membuat Azkara yang pura-pura tidur membuka matanya segera.
"Pijat?"
"Iya, aku bisa sedikit-sed_"
Cup
Mata Shanum mengerjap pelan tatkala Azka lagi-lagi membuatnya kebingungan. Beberapa saat lalu dia tampak cupu, tapi kali ini justru kembali mendaratkan kecupan tepat di bibirnya.
"Kamu bawel juga ya ternyata," ucap Azka seketika membuat Shanum menunduk dan menghindari tatapan sang suami.
Merasa cara itu lebih berhasil untuk membuat Shanum berhenti berkicau, Azkara kembali mengeratkan pelukan dan mengusap puncak kepala Shamum beberapa kali.
Andai saja dia tidak membuat sang papa celaka malam ini, mungkin ceritanya akan berbeda. Akan tetapi, mengingat berbagai pertimbangan dan khawatir istrinya trauma berat, Azkara lagi-lagi harus mengubur mimpi untuk merasakan keindahan surga dunia.
.
.
Keinginan yang telah terpendam sejak kemarin terpaksa Azka pendam lagi lantaran khawatir papanya masuk ke kamar dan menghentikan kegiatan mereka.
Padahal, di sisi lain Papa Evan tengah berjuang antara hidup dan mati. Alih-alih marah ataupun berniat menghampiri Azkara ke kamarnya, saat ini satu-satunya yang Evan pikirkan ialah bagaimana cara agar kemarahan istrinya mereda.
"Ma sudaaaaah, Ma!!"
"Tidak bisa, Mama lihat Azkara sampai berdarah pasti ditonjok sekuat tenaga, 'kan?!"
"Dia pantas mendapatkannya, Papa hanya memberikan pelajaran, Sayang," jelas Papa Evan berjalan mundur demi menghindari sang istri.
Setelah sebelumnya sempat menabrak guci yang terletak di dekat pintu kamar Azkara demi menghindari teflon kematian di tangan sang istri, kini pria itu sudah terpojok di sudut ruangan.
Tidak ada lagi kesempatan untuk melarikan diri. Tenaga Mikhayla masih begitu kuat, sekuat tekadnya untuk membalaskan pukulan yang Evan berikan pada putranya.
"Pelajaran apanya pelajaran? Papa selalu begitu sama Azka ... berapa kali Mama bilang boleh menyakitinya tapi pakai otak sedikit, bibirnya sampai pecah begitu dan Papa kalau nonjok tidak kira-kira!!"
Ingin sekali Papa Evan jawab "Ngaca!!" sebenarnya. Akan tetapi, khawatir jika perang dunia itu semakin panas dan kemarahan sang istri kian menggelora, pria itu memilih mengalah.
"Fine, I'm sorry ... terakhir kali, lain kali tidak akan pernah memukul Azka lagi," ucap Papa Evan angkat tangan.
Apapun akan dia lakukan, karena memang tahta Azkara menempati posisi paling tinggi di hati Mikhayla. Untuk itu, terpaksa dia mengalah demi tercapai sebuah kata damai.
"Janji?"
"Iya, janji!!" tutur pria itu menyanggupi, baru setelah janji tersebut diikrarkan Mikhayla menurunkan teflonnya hingga Papa Evan berani mendekat.
Kendati demikian, wajah wanita itu masih tetap masam saking tak terimanya sang putra mendapat kekerasan.
"Maaf ya, Sayang, Papa khilaf."
"Iya!! Khilaf-khilaf ... beresin tuh gucinya," kesal Mama Mikhayla yang membuat Papa Evan sontak memukul angin.
Sudah pasti hal itu tidak akan dia perlihatkan pada sang istri. Ketika Mikhayla menoleh ke arahnya, Evan segera memperlihatkan senyum manis sembari membatin. "Tunggu pembalasan papa besok pagi, Azkara!!"
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num