Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PULAU ASA TANPA EVELINE
Menghilangnya sosok Eveline tak serta merta menyelesaikan semua permasalahan yang sempat dia timbulkan. Azkan harus mengatur ulang pembagian tugas di kantor pemerintahan karena posisi Eveline sudah kosong. Dia memilih Verina, Perempuan Pilihan ke-empat, yang ahli di bidang medis dan penelitian untuk menggantikan posisi kosong Eveline. Orang-orang yang selama ini bekerja di bawah Eveline, yang sudah terlatih kemampuannya untuk mengembangkan teknologi terbaru, tetap dipertahankan Azkan di posisi mereka. Bahkan beberapa di antaranya mendapatkan kenaikan posisi untuk memaksimalkan sistem kerja yang dibutuhkan Pulau Asa.
Mengurus perubahan manajemen dan tugas-tugas harian di kantor pemerintahan seperti itu, memakan waktu yang cukup panjang. Selama proses tersebut, Laina setia berada di sisi Azkan, memperhatikan dengan cermat bagaimana Azkan melakukan pekerjaannya sebagai pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab pada seluruh penduduk Pulau Asa. Kini, setelah ratusan tahun berlalu, jumlah penduduk di pulau ini mencapi sepuluh ribu orang. Tidak ada periode khusus dimana orang-orang itu datang atau kapan mereka akan pergi setelah membuat keputusan terakhir ketika jiwa mereka pulih sepenuhnya. Hal itu membuat jumlah penduduknya terus bertambah dan sering kali, untuk periode waktu yang lama, hanya sedikit jiwa yang mencapai kesembuhan sempurna hingga siap memulai kehidupan baru.
Laina melihat betapa kompleks kehidupan penduduk yang dijaga Azkan di sini. Mereka yang berasal dari latar belakang waktu dan budaya berbeda, menyatu dalam kehidupan sehari-hari dan saling mempengaruhi. Yang satu mengajari yang lain, kemudian bersama-sama mereka saling menyesuaikan, hingga muncul hal-hal baru yang bisa menyatukan semuanya. Di tengah itu semua, Azkan masih harus mengatur pasokan barang-barang dari dunia luar yang akan dibawa masuk ke dalam pulau. Azkan harus memastikan olahan kekayaan alam cukup untuk semuanya, dan juga hasil olahan tambang yang nantinya akan dijual ke dunia luar. Sedangkan untuk teknologi, Azkan beruntung karena bawahan Eveline, adalah orang-orang terbaik di bidang tersebut.
Dalam kekaguman dan ketidaktahuannya, Eveline mencatat banyak hal berkaitan dengan sistem manajemen kepengurusan Pulau Asa. Dia merasa harus mengambil bagian di dalam pekerjaan ini. Bukankah dia datang ke Pulau Asa sebagai salah satu Perempuan Pilihan? Jadi, dia harus mengerjakan sesuatu seperti Perempuan Pilihan lainnya. Mendampingi Azkan kembali ke kantor pemerintahan, menjadi jalan tersendiri bagi Laina untuk menemukan hal yang bisa dia kerjakan.
Dia bertemu dengan Joana, Perempuan Pilihan pertama dengan fisik berusia tiga puluh tahun, dan kulit gelap karena terbakar sinar matahari setiap hari, yang ahli mengelola kekayaan alam. Sistem pertanian, perkebunan, dan peternakan di Pulau Asa bisa terus berkembang dan menghasilkan bahan pangan terbaik, karena keahlian Joana. Dibantu dengan orang-orang yang bekerja dengannya, Joana bersama timnya berhasil menyediakan pasokan pangan melimpah untuk seluruh pulau di sepanjang tahun. Orang-orang baru yang datang dengan pengetahuan baru juga banyak membantu dalam pengembangan yang dilakukan Joana. Hari itu, di ruang kerjanya yang berada di lantai satu, Joana sedang menunjukkan cara mengembangbiakkan varietas tanaman baru kepada anggota timnya. Laina mengamati betapa semangatnya Joana dalam menjelaskan, mengajarkan, dan menunjukkan hasil percobaannya. Di kantor ini, hanya Joana yang memiliki ruang kerja di lantai satu. Alasannya, supaya dia lebih mudah meninggalkan kantor. Pekerjaannya banyak dilakukan langsung di lapangan. Kedatangannya ke kantor hanya untuk mengurus hal-hal administratif, menghadiri rapat, atau seperti sekarang ini, mengajarkan cara-cara baru.
Di lantai dua gedung pemerintahan, ada ruang kerja bagi empat Perempuan Pilihan lainnya. Riana, dengan fisik berusia dua puluh tujuh tahun, adalah Perempuan Pilihan kedua, yang ahli dalam mendirikan bangunan. Semua bangunan di pulau ini, adalah hasil rancangannya. Kecuali kastil pribadi Azkan yang sudah ada di pulau ini sejak Azkan ditempatkan di sini. Setelah Riana datang, dia mendekorasi ulang beberapa bagian kastil Azkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan Azkan.
Di sebelah ruang kerja Riana yang luas tapi minim perabotan, dengan gulungan kertas desain bangunan yang bertumpuk di mana-mana, terdapat ruang kerja milik Marqia, dengan fisik berusia empat puluh lima tahun, Perempuan Pilihan ketiga yang ahli dalam keuangan dan manajemen. Dialah yang berperan penting dalam mengatur anggaran Pulau Asa sehingga para penduduk bisa mendapatkan kehidupan yang layak melalui penjualan hasil olahan tambang milik pulau dan juga yang mengatur pengeluaran dalam pembelian barang-barang dari dunia luar. Dia yang mengatur seluruh sistem keuangan penduduk Pulau Asa, sehingga mereka bisa memiliki bank, pekerjaan, dan kemampuan untuk berinvestasi juga.
Perempuan Pilihan keempat, Verina, yang ditunjuk Azkan mengambil alih pekerjaan Eveline, menempati ruangan di sisi lain bangunan lantai dua dengan desain ruangan berwarna putih bersih. Berbagai alat penelitian dan jenis obat-obatan terbaru yang sedang diuji coba, ada di dalam ruangannya. Karena tugas barunya dari Azkan, mulai sekarang, dia akan sering berpindah tempat kerja dari lantai dua ke lantai tiga, tempat para pekerja di bidang teknologi berkantor.
Dari ruangan paling ujung lantai dua, Laina bisa mencium aroma yang menggugah nafsu makannya. Di sana, adalah dapur ajaib tempat Perempuan Pilihan kelima, Rosa, yang tubuh fisiknya berusia empat puluh tahun, menghabiskan waktu bersama orang-orangnya, untuk mengembangkan resep-resep terbaru. Kata Azkan, di kehidupannya yang lalu, Rosa adalah seorang koki terkenal. Kecintaannya pada dunia kuliner, terus dia kembangkan selama berada di Pulau Asa. Hasilnya, ada banyak toko roti, berbagai macam restoran dengan makanan dari negara berbeda-beda, hingga cafe dessert yang tak pernah kehabisan ide mengeluarkan menu makanan baru mereka. Di balik keberadaan jalanan yang menjual beragam jenis makanan dan minuman di sisi selatan pemukiman penduduk, ada tangan dingin Rosa yang menyebarkan keahliannya di setiap tempat. Laina belum pernah ke jalan yang dikhususkan sebagai tempat kuliner itu. Ketika mendengar Azkan menceritakan tentang keberadaan jalan tersebut, dia ingin sekali segera melihatnya secara langsung. Tetapi sepertinya, sekarang ini bukan waktu yang tepat, mengingat apa yang baru saja terjadi.
Di lantai tiga, terdapat sebuah auditorium yang di lantai atasnya menjadi ruang kerja Perempuan Pilihan keenam, Sophia, yang ahli di bidang seni, filsafat, dan hukum. Di auditorium miliknya itu, Sophia mengatur penampilan teater, konser musik, opera, dan berbagai macam jenis pertunjukan yang bisa dinikmati semua orang. Disamping itu, dengan kemampuannya di bidang filsafat dan hukum, ruang kerjanya yang tak terlalu besar di lantai atas auditorium, menjadi ruang konseling bagi banyak orang, termasuk salah satunya Azkan. Ketika hendak membuat aturan baru atau harus menyelesaikan permasalahan penduduk, Azkan sering datang ke ruang kerja Sophia dan berdiskusi dengannya selama berjam-jam. Dengan tubuh fisiknya yang berusia tiga puluh tujuh tahun ketika datang ke Pulau Asa, Sophia menjadi salah satu sahabat dekat Azkan. Sophia adalah satu dari segelintir orang yang bisa diajak Azkan berdiskusi, berdebat, dan mempertentangkan sudut pandang berbeda dari persoalan yang sedang dia pikirkan. Laina mencatat dalam hatinya, kalau dia harus banyak belajar dari Sophia. Sebagai pasangan Azkan, sudah seharusnya dia juga bisa menjadi rekan diskusi Azkan. Bahkan sebagai penasehat yang akan mengingatkan Azkan jika pilihan yang dibuatnya salah.
Setelah melihat auditorium yang memenuhi hampir seluruh lantai tiga, di sisinya, terdapat ruangan yang tetap sibuk meski pemimpinnya, kini tak lagi ada. Orang-orang di dalam ruangan penuh komputer canggih itu, sibuk di depan layar komputer mereka masing-masing, membuat program-program baru yang bisa membantu operasional seluruh pulau. Di sisi lain dalam ruangan itu, ada sekumpulan orang yang sedang mengutak-atik perangkat robotik mereka. Kata Azkan, mereka sedang berusaha membuat robot yang bisa mengantarkan barang belanjaan para penduduk dari toko yang mereka pilih ke rumah masing-masing. Delivery menggunakan robot. Laina terkejut dengan kemajuan teknologi yang sedang mereka tuju. Di dunia tempatnya hidup beberapa waktu yang lalu saja, manusia masih menggunakan aplikasi delivery yang pekerjanya adalah manusia lain.
Di lantai empat, di sisi yang berseberangan dengan ruang rapat tempat Laina diperkenalkan secara resmi, terdapat ruang kerja Azkan. Ini adalah kali pertama Laina memasuki ruang kerja Azkan. Dia bisa melihat bagaimana waktu yang dilalui Azkan selama delapan ratus tahun, tersimpan di dalam ruangan ini. Perabotannya, adalah perpaduan dari waktu yang berlalu. Laina merasakan satu hal, waktu yang berlalu begitu panjang, dengan orang-orang yang datang dan pergi, pastilah bukan sebuah kehidupan yang mudah. Ketika orang lainnya mengetahui dengan pasti, bahwa suatu saat nanti, waktu mereka yang berhenti berputar di pulau ini, akan kembali berputar, di sini, Azkan tidak memiliki kepastian itu. Karena dialah Sang Penjaga.
Laina menghampiri Azkan yang duduk di kursi kerjanya. “Lai, kau boleh melihat-lihat atau duduk di sofa itu kalau lelah. Aku masih harus menandatangani dokumen persetujuan ini. Tunggulah sebentar.”
Setelah sampai di ujung meja kerja Azkan, Laina membungkukkan tubuhnya, menopang wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja kerja Azkan. Dia memperhatikan bagaimana Azkan membaca dokumen-dokumen itu dan menorehkan tanda tangannya dengan elegan. Di beberapa dokumen berbeda, Azkan menempelkan stempel berwarna merah. Hari ini, setelah melihat lebih jauh seperti apa kehidupan di pulau ini, Laina merasakan beban tanggung jawab yang harus dia pikul juga. Pikirannya penuh dengan berbagai macam hal, berbagai kemungkinan, yang bisa dia lakukan untuk membantu Azkan. Sebagai salah satu Perempuan Pilihan dan juga sebagai kekasih yang mendampingi Azkan.
“Kalau kau seperti itu, aku tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannku dengan cepat karena perhatianku selalu teralihkan.” Azkan melirik Laina yang masih membungkukkan tubuhnya di atas meja kerjanya. Senyumannya mengembang dan kedua matanya berbinar. Seperti lautan luas yang memantulkan cahaya matahari.
“Hm, tapi aku senang melihatmu dari sini.” Laina memiringkan wajahnya sambil tersenyum lembut.
“Kalau begitu, aku harus menahan diri.” Azkan kembali membaca dokumennya tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.
Laina beranjak. Dia berjalan ke belakang kursi Azkan, lalu melingkarkan lengannya, memberikan pelukan dari belakang. Laina memberikan sebuah kecupan di pipi kiri Azkan, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Azkan.
“Apa yang sudah kulakukan sampai mendapatkan ciuman?” Azkan menoleh pada Laina yang bersandar di balik punggungnya.
“Karena kau sudah bekerja keras selama ini. Aku merasa bebanmu pasti sangat berat selama ini.”
“Kalau begitu, sebuah ciuman di pipi rasanya masih kurang,” Azkan melepaskan tangan Laina yang mengalung di lehernya, lalu memutar kursinya hingga berhadapan dengan Laina. Dia menarik tangan Laina, membuatnya duduk di atas pangkuannya.
“Bagaimana dengan sebuah ciuman yang sebenarnya?” Azkan menempelkan keningnya dengan Laina.
“Kau selalu bisa menemukan alasan untuk itu ya?”
“Kalau kau tidak mengijinkan, aku tidak akan memaksa. Bukankah aku pernah bilang? Aku tidak akan pernah memaksamu, Lai.” belaian lembut di wajah Laina membuat Laina merasa nyaman.
“Aku ingin membantumu. Bukan hanya karena aku salah satu Perempuan Pilihan. Tapi sebagai kekasihmu.” Azkan bisa melihat tekad Laina dari sorot matanya.
“Terima kasih, Lai.”
“Tapi aku tidak tahu apa keahlianku. Semua Perempuan Pilihan, punya keahlian yang luar biasa di satu bidang. Sedangkan aku, tidak memiliki kemampuan seperti mereka. Apa jangan-jangan Dewa salah memilihku?”
“Tidak mungkin. Dewa pasti punya alasan kenapa memilihmu. Aku yakin salah satu alasannya, adalah karena kau satu-satunya perempuan yang mampu membuatku jatuh cinta.”
“Tapi hal itu kan tidak berdampak apa pun pada pulau ini. Aku juga ingin membantu penduduk.”
“Tidak perlu terburu-buru. Para Perempuan Pilihan yang lain, juga tidak langsung menemukan posisi mereka seperti sekarang. Meskipun beberapa diantara mereka memang melanjutkan pekerjaan mereka ketika hidup, tapi banyak juga yang justru memulai hal baru di sini. Jadi, pikirkan baik-baik. Jangan tergesa-gesa. Untuk sementara, sampai kau menemukan bidangmu sendiri, jadilah wakilku. Bantu aku mengurus semua pekerjaanku. Bagaimana?”
“Baiklah.” anggukan kepala Laina membuatnya mendapat sebuah ciuman di pipi.
“Jadi, mulai besok, kita akan berangkat kerja bersama-sama.”
“Hmm,”
“Kenapa?”
“Apa ada waktu liburnya?”
“Tentu saja. Semua orang yang bekerja di pulau ini, punya hari libur mereka sendiri.”
“Kapan kau libur?”
“Dua hari terakhir dalam seminggu.”
“Ah, weekend!”
“Iya, di masamu, orang-orang menyebutnya begitu.”
“Aku juga libur?”
“Iya. Apa kau ingin melakukan sesuatu?”
“Hm'm.” anggukan semangat Laina membuat Azkan semakin penasaran tentang apa yang ada di dalam pikiran kekasihnya itu.
“Katakan padaku. Apa yang ingin kau lakukan di hari libur?”
“Ke jalanan hiburan. Kata Rosa, ada jalanan di sepanjang bagian selatan perumahan penduduk, sampai ke bagian timur di seberang taman hiburan, mall, dan perpustakaan. Rosa tadi sempat memberitahuku, kalau di sepanjang jalan itu, ada semua toko, restoran, cafe, dan penjual makanan kaki lima yang semua resepnya adalah hasil pengembangan Rosa. Aku ingin mencoba makanan di sana. Aku juga ingin ke taman hiburan. Aku ingin tahu bagaimana taman hiburan kalian di sini. Apa sama seperti yang aku tahu?”
Azkan tertawa kecil, merasakan antusiasme Laina yang seperti anak kecil. “Jadi kau suka hal-hal seperti itu ya?”
“Iya, aku juga suka pantai. Dulu, aku pernah punya impian untuk bisa punya rumah di pinggir pantai. Lalu mengelola restoranku sendiri di dekat rumah, jadi restoranku juga akan mendapatkan view pemandangan laut yang indah. Setelah bekerja, aku bisa menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai matahari terbenam, lalu kembali ke rumah.”
“Terdengar menyenangkan dan tenang.”
“Iya. Aku tidak suka tinggal di tempat yang terlalu ramai.”
“Bukankah taman hiburan dan jalanan yang ingin kau datangi itu adalah tempat yang sangat ramai?”
“Tapi kan tujuanku ke sana memang untuk bersenang-senang. Bukan untuk tinggal. Pada akhirnya, kan aku pulang ke rumah yang tenang. Kastilmu.”
“Kau suka tinggal di kastilku?”
“Iya. Kastilmu sangat nyaman, Az. Aku bisa melihat laut, lalu di sisi lain aku bisa melihat taman yang indah. Di dalam kamarku, sinar matahari yang hangat selalu memenuhi ruangan. Perpustakaan pribadimu, juga memiliki banyak sekali buku yang menarik. Aku ingin sekali bisa membaca semuanya.”
“Aku senang mendengarnya. Kukira, aku harus mengubah beberapa hal lagi di dalam kastil agar sesuai dengan seleramu.”
“Tidak perlu.”
“Bagaimana denganku?”
“Maksudnya?”
“Kau senang tinggal bersamaku? Atau aku harus mempertimbangkan sebuah rumah yang terpisah untukmu? Seperti Perempuan Pilihan lainnya? Kau bisa bebas memilih wilayah yang ingin kau jadikan tempat tinggal.”
“Tidak. Aku senang bersamamu. Seperti sekarang.” Laina meletakkan kedua tangannya di pundak Azkan.
“Kau tidak bisa mengubah kata-katamu barusan, Lai. Bahkan kalaupun kita nanti bertengkar, kau tidak boleh pergi dari kastilku. Marah saja padaku, katakan semua yang kau rasakan dan pikirkan, kita selesaikan masalahnya. Tapi jangan pergi.” Azkan meletakkan tangan kanannya di sisi wajah Laina, mengelusnya lembut dengan ibu jarinya.
Laina mengangguk, meraih tangan Azkan yang membelai wajahnya.
“Kau juga harus berjanji padaku.”
“Katakan.”
“Apa pun yang akan terjadi nanti, kau tidak akan menjauh dariku. Kau tidak akan meninggalkanku setelah kau bosan padaku.”
“Bagaimana mungkin aku bosan padamu?”
“Bisa saja. Semua orang bisa merasa bosan pada hal-hal yang sudah mereka miliki.”
“Baiklah. Aku berjanji. Kalau suatu saat nanti aku mulai bosan, aku akan memberitahumu dan kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Bagaimana?” anggukan Laina terlihat begitu serius. “Meskipun aku bisa menjamin, kalau hal itu tidak akan terjadi.”
“Tetap saja, …”
Kekhawatiran Laina akan masa depan yang tak pasti, serta rentang waktu yang entah akan sepanjang apa, ditelan oleh ciuman lembut Azkan. Dalam pangkuannya, tubuh Laina menyerah pada ciumannya yang dalam dan hangat.