Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
Terlalu asyik mengobrol dengan Bayu, salah satu pengusaha yang pernah bekerja sama dengan perusahaannya, Dean akhirnya tersadar setelah mendapati Ara sudak tidak berada di sampingnya.
Ia kemudian mengedarkan pandangannya mencari ke sekeliling.
Ketemu.
Terlihat Ara berjalan memasuki rumah, Dean kemudian pamit kepada Ayahnya dan pria bernama Bayu yang masih asik mengobrol.
Dengan langkah-langkah lebarnya Dean mengejar Ara, hingga tiba-tiba Ara berpapasan dengan Evelyn, seketika tangan Ara langsung ditarik oleh perempuan berambut coklat itu.
Dean kemudian mempercepat langkahnya, ia mengikuti dari belakang, mereka menaiki tangga lalu masuk ke sebuah kamar.
Dean mendekat mengintip di celah pintu yang belum tertutup sempurna.
“tanda tangani ini!”
Dean melihat mertunya yang perempuan menyodorkan sebuah dokumen ke arah Ara. Ara terlihat kebingungan namun tangannya terulur menerima dokumen itu dari tangan sang Mama.
“apa ini?”
Dean masih memperhatikan, di dalam ruangan itu juga terdapat Papa mertuanya yang sedang duduk di sofa.
“warisan?”
Dean menajamkan pendengarannya, warisan? Apa ia tidak salah mendengar. Ia semakin tertarik mendengarkan.
“kau tidak perlu banyak tanya, tugasmu hanya menandatangani dokumen itu,”
Dean melihat Evelyn mendorong bahu Ara hingga perempuan itu terhuyung ke samping. Kening Dean berkerut, apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu?
“tapi apa maksudnya ini, warisan apa? Kenapa selama ini aku tidak tau kalau Ibu meninggalkan warisan itu?”
Warisan?
Ibu?
Dean semakin bingung, siapa Ibu yang dimaksud oleh Ara. Dean kembali memfokuskan pendengarannya.
"sedang apa kau di sini?" Sebuah suara mengagetkan Dean dari belakang.
Ia kemudian menoleh, Rio melihatnya penuh selidik. Dean hanya diam dan kembali fokus mendengarkan tanpa memperdulikan Rio di sampingnya. Rio ikut mengitip melalui celah pintu.
“kau hanya perlu menandatanganinya Diara, Papa tidak punya waktu menjelaskan sesuatu yang tidak penting, jika kau sangat ingin penjelasan tanyakan kepada Ibumu di kuburannya.”
Mendengar itu Dean dan Rio saling bertatapan. Dean merasakan kemarahan dalam tatapan Rio. Ara bukan anak kandung Sabrina. Satu fakta itu sangat mengejutkan bagi Dean.
“dimana? Dimana kuburan Ibuku?” tanya Ara dengan air mata yang sudah menetes.
Dean dan Rio masih bergeming, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“akan saya beritahu jika kamu menandatangani dokumen itu.”
Tangan Rio terlihat mengepal, ia sudah mengetahui tentang warisan itu sebelumnya, dan ia tidak menyangka orang tuanya akan melakukan hal itu kepada Ara.
“baiklah.”
“dimana aku harus tanda tangan?”
Brakk
Pintu di depannya dibuka dengan kasar oleh Rio, Dean hanya menatap dingin orang-orang di dalam ruangan itu, tangannya terkepal, entah mengapa emosi tiba-tiba juga ikut menyelimutinya. Ara terlihat terkejut.
Dean akhirnya mengerti yang sedang terjadi saat ini, wanita itu sedang dipaksa untuk menyerahkan warisan peninggalan Ibu kandungnya yang selama ini tak ia ketahui.
“apa kau bodoh?”
Dean mendekat lebih masuk ke dalam, Ara menangis mendengar kalimat Rio.
“mengapa kau ingin memberi makan keserakahan mereka? Apa tidak cukup selama ini kau dibodohi oleh mereka?” Rio mencecar keluarganya.
Dean masih memperhatikan, sepertinya mereka tidak menyadari kehadirannya di sana, hanya Ara. Ternyata bukan hanya keluarganya yang berantakan, keluarga ini juga sama berantakannya dengan keluarganya.
"Apa kalian tidak merasa malu melakukan ini?!" Rio meluapkan amarahnya kepada kedua orang tuanya yang tak bergeming.
"kenapa harus malu? Anggap saja Ara memberikannya sebagai balas budi untuk keluarga kita," bantah Evelyn. Perempuan itu melipat tangan di depan dada.
Dean menyeringai, keluarga ini sungguh luar biasa.
"balas budi? Memang apa yang sudah kalian lakukan untuk Ara? Apa aku perlu mengingatkan bahwa keluarga kita bangkit dari keterpurukan berkat bantuan dari Ibu kandung Ara, berkat warisan yang berusaha kalian rebut dari Ara!"
Rio menatap adiknya itu dengan heran, Evelyn terdiam.
"lalu apa perusahaan kita bisa selamat tanpa bantuan Ara lewat suaminya? Dan sekarang kau masih menuntut balas budi?" lanjut Rio. Laki-laki itu meremas rambutnya frustasi.
Ara masih terlihat menangis, perempuan itu duduk di lantai dengan masih sesengukan.
“aku tidak mengerti kena-“ kalimat Rio terpotong.
“lalu apa kau berfikir warisan itu akan bertahan kalau bukan karna Mama? Mama bekerja keras untuk itu, dan menurutmu Mama akan rela menyerahkan begitu saja hasil kerja keras Mama?” sela sabrina. Ia menatap tajam kepada sang putra yang selalu berpihak kepada Ara.
Rio semakin frustasi, bagaimana ia menjelaskan kepada kedua orang tuanya bahwa yang mereka lakukan itu salah. Lagi-lagi Ara diperlakukan tidak adil oleh kedua orang tuanya.
“Apa Papa merasa semua ini benar?” kini tatapan Rio mengarah kepada sang Papa, berharap pria paruh baya itu dapat bersikap adil terhadap Ara.
Subroto masih terdiam tak menanggapi ucapan Rio, ia memandang sejenak ke arah Ara yang masih menunduk dengan bahu bergetar.
“Papa rasa Ara memang tidak terlalu membutuhkan warisan itu jadi-“
“bukan masalah butuh atau tidak, tapi itu adalah hak Ara, dan Papa menyembunyikan hal itu selama ini seolah Ara bukan darah daging Papa!” potong Rio dengan penuh penekanan.
Subroto terlihat tercengang, tangannya mengepal memperlihatkan buku-buku jarinya yang memutih.
“kakak, aku tidak masalah memberikannya, aku ikhlas. Aku hanya ingin tau di mana kuburan Ibuku, cukup, itu saja,” ucap Ara sambil bangkit menyentuh tangan Rio.
Rio menarik nafas panjang mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Ia sedikit memutar badannya menghadap Ara lalu memegang kedua bahu adik kesayangannya itu, mata Ara terlihat masih basah oleh air mata.
“aku tidak mengerti apa yang kau fikirkan Ara, tapi kau sudah memberi banyak untuk mereka, lebih dari cukup. Kau harus memikirkan dirimu sendiri sekarang, kadang-kadang kau harus egois dalam hidup.” Rio menjeda.
“jika kau bilang ingin membalas budi, apa yang hendak kau balas? Membesarkanmu itu kewajiban mereka, karna itu mereka disebut orang tua.” Sambung Rio. Tatapannya kini kembali mengarah kepada Subroto yang terlihat menunduk mendengar kalimat Rio.
“jika dia ingin memberikannya, maka biarkan saja, kau tidak punya hak untuk melarang Ara, jangan terlalu munafik seolah kau tidak menginginkan apa-apa,” ucap Evelyn, yang sedari tadi merasa kakaknya terlalu berlebihan membela Ara.
Dean yang sedari tadi masih memperhatikan terlihat menyeringai, drama keluarga di depannya ini sangat menarik untuk ia saksikan. ia bersandar pada daun pintu sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Untuk sejenak emosi sempat menguasainya, namun sekarang ia bisa mengendalikan dirinya untuk tidak terpancing, ini masalah Ara bukan masalahnya, jadi dia tidak perlu ikut campur.
“karna inilah aku sangat tidak ingin kembali ke sini, semua keserakahan ini, aku benci sifat kalian yang merasa berhak memiliki segalanya, dan aku lebih benci lagi karna aku adalah bagian dari kalian. Kau tidak mengerti Evelyn, andai kau bisa membayangkan berada di posisi Ara, seluruh hidupnya dimanfaatkan oleh keluarga yang seharusnya melindunginya, bahkan setelah ia menikah pun. Dan, ohhh, apa kau tau? Hotel yang sedang kau kelola sekarang itu adalah hasil dari pernikahan Ara. Mereka menukar Ara dengan sebuah gedung hotel!” beber Rio. Ia menumpahkan segalanya, bahkan fakta tentang pernikahan Ara yang ia tau akan sangat menyakitkan jika adiknya itu tau.
Ara terlihat sangat terkejut, matanya menatap tak percaya kepada sang Papa yang menghindari tatapannya. Tak jauh berbeda dari Ara, Evelyn juga terlihat terkejut.
Dean yang juga terkejut kini melangkah mendekat menghampiri Ara, otot rahangnya mengeras. Memandang ke arah Ara yang terlihat begitu terluka mendengar kalimat Rio.
“ayo kita pulang.” Ucap Dean lalu meraih tangan Ara untuk ia genggam, tangan perempuan itu terasa dingin.
Semua orang di dalam ruangan tersebut terlihat sangat terkejut dengan kedatangan Dean kecuali Rio, Subroto juga sabrina terlihat ingin menyahut namun langsung urung melihat Dean mengangkat tangannya, seolah menyuruh mereka diam.
Tanpa mengatakan apa-pun Dean melangkah keluar dengan menggandeng tangan Ara yang terlihat pasrah saja mengikut langkah laki-laki itu. Ara hanya menunduk memperhatikan tangannya dalam genggaman Dean, terasa hangat. Lalu Ara memandang punggung besar laki-laki itu di depannya, sekarang ia sedikit paham alasan Dean membencinya.