NovelToon NovelToon
Menaklukan Hati Ceo

Menaklukan Hati Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: tanier alfaruq

seorang CEO cantik, seksi, dan galak, yang terjebak dalam dinamika dunia kerja dan cinta. Dia harus menghadapi tantangan dari mantan suaminya, mantan pacar Tanier, dan berbagai karakter wanita seksi lainnya yang muncul dalam hidupnya. Tanier, karyawan Lieka yang tampan, sabar, dan kocak, berjuang untuk memenangkan hati Lieka dan membantu perusahaan mereka bertahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanier alfaruq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31: Perjuangan di Antara Cinta dan Kewajiban

Pagi yang cerah menyinari kamar Tanier dan Lieka. Matahari yang hangat masuk melalui jendela, menyentuh wajah mereka dengan lembut. Tanier terbangun lebih dulu, merasakan kehangatan tubuh Lieka di sampingnya. Dia berbalik dan tersenyum melihat wajah damai wanita yang dicintainya itu.

Dalam keheningan, Tanier merasakan perasaan bahagia memenuhi hatinya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kesadaran akan tantangan yang harus mereka hadapi. Kembali ke dunia nyata, di mana segala hal tidak selalu semulus apa yang mereka harapkan.

Lieka terbangun, membuka matanya dan mendapati Tanier sedang memandangnya. “Selamat pagi,” katanya dengan senyum manis, membalas tatapan Tanier.

“Selamat pagi, ratu,” jawab Tanier, membuat Lieka tertawa kecil.

Setelah beberapa saat, mereka berdua bangkit dan bersiap-siap untuk memulai hari. Tanier membantu Lieka mengenakan jasnya, dan saat melihat dirinya di cermin, Lieka merasakan getaran aneh. Dia sudah mencintai Tanier, tetapi tantangan yang akan mereka hadapi di tempat kerja dan dunia luar masih menghantuinya.

“Bagaimana kalau kita sarapan di luar?” Tanier mengusulkan, mencoba mengalihkan perhatian Lieka dari pikiran yang mungkin mengganggunya.

“Baiklah, itu terdengar menyenangkan,” jawab Lieka. Namun, saat mereka bersiap-siap pergi, telepon Lieka berbunyi. Dia melihat nama yang muncul di layar dan merasa jantungnya berdebar. Itu adalah Sugi, mantan suaminya.

Dengan ragu, Lieka menjawab panggilan tersebut. “Halo?” suaranya terdengar tegang.

“Saya perlu berbicara denganmu, Lieka,” suara Sugi terdengar serius di ujung telepon. “Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan.”

Lieka menatap Tanier, yang menunjukkan wajah penuh kekhawatiran. Dia mengangguk pelan, memberi sinyal agar Tanier tidak terlalu khawatir. “Baiklah, di mana kita bisa bertemu?” tanyanya, berusaha menahan ketegangan di hatinya.

Setelah merencanakan pertemuan, Lieka menutup telepon dengan perasaan campur aduk. “Apa ada yang salah?” Tanier bertanya, khawatir.

“Cuma Sugi. Dia ingin berbicara. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan,” jawab Lieka, menghela napas panjang.

“Jika ada yang membuatmu merasa tidak nyaman, kita bisa menghadapi ini bersama,” kata Tanier, menekankan dukungannya.

Mereka berangkat menuju kafe terdekat, namun di sepanjang perjalanan, pikiran Lieka terus melayang pada masa lalu. Dia tidak ingin Sugi mengganggu kehidupannya lagi, apalagi hubungan mereka yang baru saja berkembang.

Saat tiba di kafe, suasana ramai dan ceria, seakan bertolak belakang dengan kekhawatiran di dalam hati Lieka. Dia dan Tanier duduk di meja, menunggu Sugi datang.

“Lieka,” Tanier meraih tangannya. “Apa pun yang terjadi, ingat bahwa aku di sini untukmu.”

Lieka tersenyum, merasakan dukungan Tanier memberinya kekuatan. Dia tidak sendirian menghadapi semua ini.

Tak lama kemudian, Sugi datang, mengenakan jas yang tampak rapi. Dia terlihat lebih dewasa dan tenang dibandingkan saat mereka berpisah. Sugi langsung mendekati meja mereka dan menyapa, “Lieka, Tanier.”

“Bisa kita mulai?” Tanya Lieka, nada suaranya tegas dan tidak ingin berlama-lama.

“Mari duduk,” Sugi mengangguk, dan mereka bertiga duduk.

“Jadi, ada apa?” Lieka bertanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

“Aku tahu kita memiliki banyak hal yang belum terselesaikan. Aku ingin memperbaiki hubungan kita, terutama untuk anak-anak,” Sugi mengawali. “Aku mengerti bahwa aku telah membuat kesalahan, dan aku ingin membicarakan tentang pembagian hak asuh.”

Mendengar itu, Lieka merasakan amarah mulai menggelegak. “Sugi, setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau ingin membicarakan hak asuh? Kenapa baru sekarang?”

“Karena aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin mengubah cara hidupku, untuk mereka,” jawab Sugi dengan tegas.

Tanier menyimak, merasa ketegangan di antara mereka semakin meningkat. Dia merasakan perlunya untuk berbicara. “Sugi, jika kamu ingin terlibat dalam kehidupan anak-anak, itu hakmu. Tapi jangan sekali pun berpikir kamu bisa mengganggu Lieka lagi,” kata Tanier, menegaskan posisinya.

Sugi menatap Tanier dengan tajam. “Kamu siapa, Tanier? Kau bukan siapa-siapa dalam hidup Lieka.”

“Saya adalah seseorang yang bersedia berdiri di sampingnya dan melindunginya. Saya tidak akan membiarkan kamu merusak apa yang sudah kami bangun,” jawab Tanier, tenang namun penuh keyakinan.

Pertarungan kata-kata antara keduanya berlangsung singkat. Lieka merasakan ketegangan dan emosi yang mendidih. “Cukup, Sugi. Kita semua tahu bahwa kamu bukan ayah yang baik untuk anak-anak kita. Keberadaan Tanier di sini justru membantu aku lebih baik. Jadi, jika kamu ingin berbicara tentang hak asuh, kita perlu menemukan jalan tengah yang terbaik untuk anak-anak,” ungkapnya.

Sugi terlihat terkejut, namun segera mengubah nada. “Baiklah, aku akan memberikan waktu untukmu. Tapi ingat, aku tidak akan mundur begitu saja. Anak-anak butuh ibu mereka,” katanya, dan Lieka merasa mendidih.

Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Sugi, Lieka dan Tanier kembali ke apartemen mereka, di mana suasana terasa lebih tenang. Tanier menghela napas panjang, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Dia bisa merasakan ketidakpastian di hati Lieka, dan itu membuatnya semakin ingin melindungi wanita yang dicintainya.

“Jadi, apa yang ada di pikiranmu?” tanya Tanier sambil mengalihkan perhatian Lieka dengan menuangkan segelas air untuknya.

Lieka duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk. “Aku hanya merasa bingung. Rasanya seperti Sugi tidak pernah pergi sama sekali. Setiap kali aku berpikir aku bisa melanjutkan hidup, dia selalu muncul kembali,” katanya, suaranya penuh emosi.

Tanier mengangguk, memahami betapa sulitnya situasi ini. “Dia mungkin merasa memiliki hak atasmu dan anak-anak kalian, tapi kamu berhak untuk bahagia, Lieka. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk diri sendiri dan anak-anak.”

Lieka menatap Tanier, dan senyumnya mulai kembali. “Terima kasih, Tanier. Dukunganmu berarti segalanya bagiku,” ujarnya, meraih tangan Tanier dan menggenggamnya.

“Selama aku ada di sini, kamu tidak perlu merasa sendirian,” Tanier berjanji, menatap dalam-dalam mata Lieka. “Aku akan selalu mendukung keputusanmu.”

Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama dengan menonton film dan berbagi cerita. Tanier berusaha membuat Lieka tertawa, dan berhasil. Beberapa kali, suara tawa mereka bergema di ruangan, membawa kehangatan yang membuat mereka merasa lebih dekat satu sama lain.

Namun, saat film berakhir, suasana kembali tegang. Lieka mengalihkan pandangannya, merenungkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tahu bahwa keputusan sulit menunggu di depan. Akankah dia harus bertarung untuk hak asuh anak-anaknya? Atau lebih baik untuk menjaga jarak dari Sugi?

“Lieka, kita harus berbicara tentang pertemuan yang akan datang. Apa yang ingin kamu katakan kepada Sugi?” tanya Tanier, memecah keheningan yang membungkam.

Lieka menghela napas, merasakan beban di pundaknya. “Aku ingin bilang padanya bahwa dia harus menghormati keputusanku. Dia sudah berbuat banyak kesalahan, dan aku tidak ingin anak-anak kami terpengaruh oleh itu,” jawabnya dengan tegas.

“Kalau begitu, kita perlu merencanakan pertemuan berikutnya dengan matang. Kita bisa melibatkan pengacara untuk menjaga segala sesuatunya tetap dalam batas yang aman,” usul Tanier, memperhatikan betapa seriusnya situasi ini.

Lieka mengangguk setuju. “Itu ide yang bagus. Aku tidak ingin terjebak dalam permainan emosional lagi. Aku butuh dukungan, dan aku tahu kamu ada di sini untukku.”

Mereka berdua melanjutkan pembicaraan hingga larut malam, saling menguatkan satu sama lain. Tanier menjelaskan bahwa mereka harus bersiap untuk kemungkinan yang terburuk, tetapi tetap optimis bahwa mereka dapat mengatasi semua rintangan bersama.

Keesokan harinya, Tanier pergi ke kantor lebih awal. Dia merasa perlu mempersiapkan segala sesuatu untuk proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Di kantor, dia tidak bisa mengabaikan betapa beberapa rekan kerjanya memandangnya dengan rasa ingin tahu. Gossip tentang hubungan Lieka dan Tanier mulai menyebar, dan beberapa orang mulai meragukan profesionalisme mereka.

Setelah beberapa jam bekerja, Tanier merasakan panggilan dari Lieka. “Tanier, kita perlu bertemu. Sugi ingin berbicara dengan pengacara kita,” suara Lieka terdengar gelisah di ujung telepon.

“Aku akan datang. Di mana kita bertemu?” tanya Tanier, segera merasakan tekanan yang kembali muncul.

“Kita bisa bertemu di kafe yang sama. Aku akan memberitahu pengacara kita juga,” jawab Lieka.

Tanier langsung berangkat menuju kafe. Setibanya di sana, dia melihat Lieka sudah duduk di meja, tampak menunggu dengan ekspresi yang tidak menentu. Di sampingnya, seorang pria berbadan tegap yang tampaknya adalah pengacara mereka.

“Ini Marco, pengacara kita,” kata Lieka memperkenalkan. “Dia akan membantu kita dalam pembicaraan ini.”

Tanier mengangguk kepada Marco, yang terlihat profesional dan percaya diri. “Senang bertemu dengan Anda. Mari kita pastikan semua berjalan lancar hari ini,” ujarnya, memulai pembicaraan.

Setelah menunggu beberapa saat, Sugi akhirnya tiba dengan membawa aura yang penuh percaya diri. Dia duduk di hadapan mereka, dan pertemuan dimulai.

“Terima kasih telah datang, Lieka, Tanier,” Sugi berkata, nada suaranya lebih tenang dibandingkan sebelumnya. “Aku pikir penting bagi kita untuk berbicara dengan jelas mengenai hak asuh anak-anak.”

Tanier dan Lieka saling bertukar pandang, keduanya tahu bahwa pertemuan ini akan menentukan arah hubungan mereka ke depan. “Kami ingin yang terbaik untuk anak-anak kami, Sugi,” kata Lieka. “Namun, aku tidak ingin ada lagi drama di antara kita. Jika kamu benar-benar ingin berusaha, aku akan mendengarkan.”

Sugi terlihat terkejut, tetapi kemudian mengangguk. “Aku mengerti. Mari kita lakukan ini dengan cara yang baik. Aku ingin terlibat dalam kehidupan mereka, dan aku berjanji akan melakukannya dengan cara yang benar.”

Pertemuan itu berlangsung panjang dan melelahkan, tetapi akhirnya mereka menemukan jalan tengah yang memuaskan semua pihak. Meskipun perasaan masih campur aduk, Tanier merasa lega bisa mendukung Lieka dalam menghadapi masa lalu yang menyakitkan.

Setelah pertemuan selesai, Lieka merasa kelegaan menyelimuti dirinya. “Aku tidak bisa melakukannya tanpa kamu, Tanier,” katanya, menatap Tanier dengan penuh rasa syukur.

“Aku di sini untukmu, dan akan selalu ada untukmu,” Tanier menjawab, lalu merangkulnya. Di saat itu, mereka berdua tahu bahwa mereka telah melalui banyak hal, tetapi cinta dan kepercayaan satu sama lain adalah kekuatan yang tidak bisa mereka abaikan.

Di luar kafe, matahari bersinar lebih cerah, dan Lieka merasa bahwa masa depan mereka, meskipun penuh tantangan, juga penuh harapan. Bersama Tanier, dia siap menghadapi segala rintangan yang mungkin datang di depan.

1
Leviathan
4 like mendarat, semangat, jgn lupa mampir juga saling bantu di chatt story ane
Tanier Alfaruq: ok siap
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!