Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Waktu seakan berjalan sangat cepat. Baru saja memejamkan mata, tahu-tahu sudah terdengar adzan subuh berkumandang. Itu artinya, matahari akan segera muncul dari ufuk timur.
Yura bergegas bangun untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
Usai sholat, dia duduk sejenak sampai waktu menunjukkan pukul enam pagi. Beranjak menuju kamar mandi, Yura berdiri di depan wastafle kemudian mematut diri di balik cermin.
Menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara kasar sembari memejamkan mata.
Tadi malam, Yura di minta sang mamah untuk menutup korden di kamar Juna.
Sejenak wanita itu melihat-lihat kamar dengan interior khas pria. Tepat ketika sepasang matanya menoleh ke arah nakas di samping tempat tidur, ia mendapati sebuah box jam tangan dengan stample merk ternama.
Yura ingat betul kalau itu adalah hadiah darinya untuk Juna saat Juna mengucap sumpah dokter.
Namun satu hal yang membuat Yura terperangah. Box itu kosong, padahal Juna mengatakan tidak akan sudi memakai apapun pemberian Yura, sebab Juna berfikir itu adalah sebuah sogokan supaya Juna mau menerimanya sebagai adik.
"Mas Juna pasti membuangnya" Lirih Yura dengan pandangan menatap wajahnya di depan kaca.
"Tidak tahu terimakasih, terlalu angkuh tidak mau menerima pemberian orang lain" Yura mencebik teringat ucapan Juna.
Kamu nyogok aku dengan ini? Juna tersenyum miring setelah mengatakan itu.
Sampai kapanpun benda murahan ini hanya akan menjadi pajangan. Nggak sudi aku memakai hadiah dari anak buangan sepertimu.
"Ckkkk... Anak buangan. Andai saja bisa, aku akan memilih mati bersama kedua orang tuaku"
Yura menggelengkan kepala, tak ingin berlama-lama merenungi nasibnya, dia pun bergegas masuk ke dalam bathtub, merendam tubuhnya dengan harapan bisa sedikit lebih rilex.
Selepas mandi, wanita itu membalut tubuhnya menggunakan bathrobe, membungkus rambut dengan handuk yang dililitkan di atas kepala, kemudian keluar dari kamar mandi dan langsung melangkahkan kaki menuju lemari.
Sembari meraih pakaian, pikirannya masih acak-acakan dan ruwet sebenarnya, Yura teringat nada bicara Juna yang terdengar begitu lembut.
Sungguh suaranya seakan terua terngiang di telinganya.
Mendesah pelan, Yura segera mengenakan pakaian, lalu memakai hijabnya, baru kemudian mengecek penampilannya sekali lagi melalui pantulan cermin.
Saat baru saja membuka pintu, sosok Jazil tahu-tahu ada di depan kamarnya.
"Mamah" Cicit Yura.
"Sudah siang, kamu nggak kerja, sayang?"
"Kerja, mah. Aku langsung ke lokasi tempat meeting, berangkat dari rumah jam delapan"
"Ini baru setengah delapan, sarapan dulu, yuk! Papah sudah nunggu juga" Ajak Jazil.
"Iya mah"
Karena Irfan sudah pensiun, jadi akan tetap di rumah saja sambil mengawasi ponpes yang di bangun secara join bersama ustad Zaki.
"Selamat pagi, pah" Sapa Yura, lalu menarik kursi makan.
"Selamat pagi, nak!" Sahutnya menatap bangga pada putrinya. "Mau berangkat ke kantor?"
"Iya, pah"
"Sarapan dulu!" Irfan menerima sodoran piring dari tangan sang istri.
"Papah di rumah saja?" Tanya Yura seraya menikmati sarapannya.
"Ngantar mama ke butik, nanti"
"Mau sampai sore temani mamah di butik?"
"Enggak, cuma antar doang, habis itu mau ke ponpes menemui ustad Zaki"
"Salam buat beliau ya pah, buat ummah Khadijah juga"
"Siap! Insya Allah papah sampaikan"
Yura, Jazil dan Irfan bersama-sama menikmati sarapan buatan Jazil.
Sampai sesi sarapan berakhir, Yura yang sudah berpamitan pada orang tuanya, tiba-tiba Irfan mencegahnya ketika Yura hendak beranjak dari ruang makan.
"Ada apa, pah?"
"Buat Yura" Kata Irfan menyerahkan sebuah kunci mobil.
"Apa ini pah?" Ada raut bingung di wajah Yura.
"Mobil baru dari papah buat Yura"
"M-mobil?" Yura sontak terkejut.
Irfan mengangguk di iringi senyum lebar.
"Mas Angga, mas Rezki, sama mas Juna juga dapat hadiah mobil dari papa, kenapa putri papah, enggak. Orang tua kan harus adil terhadao anak-anaknya, iya kan?"
"Tapi, pah. A-aku nggak butuh mobil. Aku bisa naik taxi"
"Mulai sekarang nggak usah naik taxi. Bawa mobil sendiri lebih efisien, mau mampir kemana aja bisa lebih gampang"
"Terus mas Juna gimana?"
"Kok mas Juna?" Sambar Jazil penuh heran.
"Mas Juna pasti nggak suka, mah"
"Nggak usah fikirkan mas Juna. Kamu berhak dapat hadiah dari papa juga"
"Tapi, mah_"
"Pah, mah, itu mobil baru? Punya siapa?" Tahu-tahu seorang wanita menyerukkan suaranya.
Tiga orang yang masih duduk di kursi makan akhirnya menoleh arah sumber suara.
"Dini!"
Wanita itu tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang wanita bernama Sindy.
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya