NovelToon NovelToon
Secret Admirer

Secret Admirer

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Persahabatan
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Macet

Ketika Laura mendapatkan surat cinta, dia dengan tekad bulat akan menyusuri jejak sang pengagum!

....

Laura ingin rasanya memiliki seorang pacar, seperti remaja di sekitarnya. Sayangnya, orang-orang selalu menghindar, ketika bersitatap dengannya. Jadi, surat cinta itu membawanya pada ambisi yang kuat! Mampukah Laura menemukan si pengagum dan mendapatkan akhir bahagia yang ia impikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Macet, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Pengadu

Pengadu

Sepertinya hari ini adalah hari sialku, udara menjadi aneh ketika memasuki rongga pernapasan. Sudah tercemar. Terik matahari begitu menyengat, terpaksa aku bersandar di bus. Beberapa saat yang lalu, bus tiba-tiba mogok di tengah jalan, jika saja jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah sudah pasti aku akan berjalan kaki.

"Sudah beres tidak, Paman?" tanya seorang gadis di sampingku. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di angin kosong, asap motor yang baru lewat membuat polusi.

"Sebentar, ya, Dek!" .

Aku memutar bola mata malas, dan memandang jalanan dengan nanar. Apakah aku harus menghentikan angkutan umum yang lain? Tidak, itu tidak akan berhasil, karena setiap angkutan umum yang kulihat sudah berisikan penumpang. Otomatis pasti sempit dan gerah.

Sebuah motor berhenti di depanku, si pengemudi membuka helm dan aku langsung tersenyum. Walaupun Zen adalah musuhku, aku harus tetap menerima tawaranny untuk naik. Aku terlebih dahulu pamit pada si paman karena sudah menadapat tumpangan. Kemudian aku naik ke jok motor dan menepuk pundak Zen.

"Siapa yang menyuruhmu untuk naik?" Seketika aku menjadi kesal, kupukul pundak Zen pelan dan memberenggut kesal. Aku memegang jaket Zen erat, untuk membantuku turun, jika memang tidak ingin aku menumpang katakan saja! Tidak perlu berhenti tepat di depanku. Aku kan jadi salah paham.

Sebelum aku benat-benar mengambil langkah turun, tanganku ditahan oleh Zen, aku menghunuskan tatapan tajam pada pundak Zen. Kuanggap itu wajahnya dan berharap tatapanku dapat mencabik-cabik wajahnya itu!

"Karena kau sudah naik, tidak perlu turun lagi, membuat pakaianku kusut saja!" tukas Zen. Aku memutar bola mata malas dan otomatis memegang ujung jok karena Zen tiba-tiba melajukan motornya. Dia ini bermaksud membuatku serangan jantung karena kaget?

"Jika membawa motor itu yang benar! Ini bukan sirkuit balap liar!" teriakku. Tidak ada tanggapan dari Zen, antara dia tidak mendengar atau tidak peduli. Karena masih kesal aku mencubit-cubit pinggang Zen dan berteriak sesuka hati tepat di telinganya. Siapa suruh dia melajukan motornya secepat ini!

"Normal dikit bisa tidak?!"

"Ini sudah lebih dari kata normal." kata Zen kemudian menarik tanganku memeluk pinggangnya. Iya memeluk pinggangnya!

"Modus!" pekikku. Zen memelankan laju motornya dan aku bernafas lega, tetapi tidak untuk waktu lama karena aku memekik lagi. Biarkan sajalah mengusik pengendara lain, salahkah saja Zen yang membawa motor seperti simulasi percobaan untuk mati.

Kegilaan Zen baru berhenti ketika kami sampai di rumah. Aku turun dari jok motor dengan kepala yang sangat pusing, cara jalanku juga sudah tertatih-tatih. Kemudian aku masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Zen. Pasti lelaki itu ingin cari perhatian pada Ibuku, kurang ajar sekali! Aku yang merasakan dampaknya, bisa jadi dia yang dikhawatirkan.

"Ibu!" teriakku cukup kencang dan langsung menggaruk kepala yang tak gatal. Lagi-lagi merasa malu ketika melihat tatapan tajam dan atensi ibu Zen yang juga ada di sana. Zen mendahuluiku dan mendelik sinis.

"Tumben kalian pulang bersama, biasanya jarang kalau pulang sekolah," kata Ibu Zen. "Jika kalian pulang bersama tanpa diminta pasti telah terjadi sesuatu hal yang tidak biasa."

"Bus yang kunaiki mogok di jalan, kebetulan saja Zen lewat dari sana dan aku menumpang untuk pulang bersamanya." jelasku supaya mereka tidak salah paham. Aku berjalan mendekat dan menyalim dua paruh baya tersebut.

"Kebetulan atau kebetulan? Coba kau tanyakan pada Zen, apakah dia kebetulan lewat dari sana?" tanya Ibu Zen. Aku melirik pada Zen yang acuh tak acuh dengan tatapan datar.

"Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Ibu. Aku tersenyum dan mengangguk, walaupun kenyataannya sedikit sedih mengingat Wafi bersama perempuan lain.

"Dia sudah pasti senang karena ditembak seorang laki-laki," kata Zen. "Mungkin saja, otak kecilnya sudah memikirkan jawaban untuk hal itu. Tante tolong ingatkan anak perempuan tante, bahwasanya dia masih bersekolah dan belum pantas untuk berpacaran."

Aku melotot tajam pada Zen yang memiliki mulut lemas, tidak bisa menjaga rahasia. Bulu kudukku meremang merasakan situasi yang menjadi suram, aku menoleh pada Ibu yang berwajah masam.

"Benar itu Laura?" selidik Ibu. Aku mengangguk karena tahu tidak akan menang jika berbohong. Kulihat Zen yang tersenyum, merasa bangga karena kali ini menang.

"Siapa orangnya?" tanya Ibu. Aku hendak menjawab tetapi Zen terlebih dahulu buka suara.

"Namanya Wafi, dia itu teman Laura dan sudah pernah datang ke sini," kata Zen. "Laki-laki itu juga memiliki mantan, sudah pasti tidak cocok untuk Laura yang jomblo dari lahir. Yang jomblo harus dengan yang jomblo."

Ternyata perbuatan manis Zen sewaktu di motor tadi hanya sebatas pemanis sebelum menyudutkanku habis-habisan. Kini, Ibu sudah menatapku sangat tajam.

"Jangan terima ajakan dia untuk berpacaran, kau masih anak SMA, fokuslah dengan sekolahmu. Lagi pula laki-laki itu sepertinya tidak begitu baik, dengar kataku, lelaki yang sudah punya mantan lebih dari dua jangan dipacari. Bisa saja kamu hanya sebatas pelampiasan," terang Ibu. "Benar kata Zen, yang jomblo lebih baik dengan yang jomblo."

Aku mendengus kesal, berkata, "Tetapi Bu, Zeb itu hanya memiliki satu mantan. Dia juga teman baikku, Ibu tidak berhak menilainya tidak sebaik itu. Jika tidak ada dia, siapa yang mau menjadi teman laki-lakiku?"

"Jangan membantah Laura! Kau tidak tahu saja sikap aslinya, mungkin saja dia memiliki lebih dari satu mantan. Memang kau mau jadi yang kesekian? Lebih baik kau bersama Zen saja, sudah baik, pintar, jomblo dan dekat lagi dengan kita." kata Ibu. Dia kemudian melontarkan banyak kata-kata pujian untuk Zen.

Ibu, sebenarnya anakmu itu aku atau Zen sih? Setiap kami bersama, yang kaulihat adalah dia! Dan juga mustahil jika kami bersama, jangan lupakan bahwa kami adalah musuh. Aneh saja jika musuh bisa berpacaran.

"Sudah-sudah, janga lagi menyudutkan Laura, dia tampak sedih karena kau tidak membelanya. Sekali-kali tidak usah memuji Zen karena dia belum layak untuk dipuji berlebihan," kata Ibu Zen. Aku tersenyum dan merasa bangga pada pemikirannya. "Tetapi jika kau ingin menjodohkan mereka berdua, bisa saja. Karena lebih baik Laura bersama orang yang dia kenal daripada si Wafi itu!"

"Tidak!"

"Tidak!"

Aku dan Zen saling bertatapan dan membuang muka, betapa malunya karena berkata secara bersamaan. Aku berdehem memberi kode pada Zen, semoga saja dia paham dan menolak usulan itu.

"Kurasa tidak perlu Ibu, aku juga tidak berniat dijodohkan dengan gadis tengil sepertinya. Sudah cerewet, manja dan menyebalkan!" tukas Zen.

Aku protes, "Enak saja! Kau pikir aku juga mau dijodohkan denganmu?! Laki-laki yang mengusikku setiap waktu? Jika memang aku tidak bisa bersama dengan Wafi, aku juga tidak mau bersamamu!" Zen terdiam dan aku menyungging senyum.

1
tishabhista
lanjutttt...
Pena Macet: ceritanya udah tamat kak/Smile/
total 1 replies
Mona
lanjut kakkkk
Mona
Asekk dapat surat cinta 🔥
Khana Imoet
absen dl kk
Shinn Asuka
Tidak bisa menunggu untuk membaca karya baru dari author yang brilian ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!