(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Marchel Part 1
"Ibu pasti akan memberimu hukuman berat setelah ini. Dasar gadis kampungan," ucap Audry dengan senyum kelicikannya. Gadis itu sedang menumpahkan minyak di lantai dapur dengan tujuan mengerjai Sheila. Sementara Sheila sedang berada di taman belakang.
Setelah pulang sekolah, ibu tak henti-hentinya memberi menantunya itu tugas yang berat. Setelah membersihkan dapur, ibu menyuruhnya membersihkan kolam ikan yang terletak di taman belakang. Ibu benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang mertua yang jahat. Bahkan, Sheila belum sempat makan siang. Namun, ibu sudah memberinya tugas yang begitu banyak.
Di sisi lain, setelah menumpahkan minyak di lantai dapur, Audry bagai tanpa dosa duduk di ruang keluarga sambil membaca majalah. Hingga ibu datang dan duduk ikut duduk di sana.
"Dimana gadis kampungan itu?" tanya ibu pada Audry.
"Aku belum melihatnya sejak tadi, Bu. Mungkin di dapur," jawabnya berbohong. Padahal dia tahu Sheila masih membersihkan kolam ikan di belakang.
Ibu berdiri dari duduknya, lalu beranjak menuju dapur. Dan, saat memasuki dapur, terdengarlah suara teriakan ibu. Wanita paruh baya itu baru saja terjatuh di lantai yang licin akibat minyak yang sengaja ditumpahkan oleh Audry. Dengan wajah pura-pura tidak tahu-menahu, Audry dengan paniknya segera menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi.
Ibu sudah tersungkur di lantai dengan dahi memar karena terjatuh.
"Ya ampun, Ibu apa yang terjadi?" Audry segera mendekat dan membantu ibu berdiri.
"Ibu terpeleset, Adry. Lantainya sangat licin," ucap ibu.
Audry kemudian meneliti lantai itu, kemudian menunjuk lantai yang basah karena tumpahan minyak. "Ibu lihat itu. Bukankah Sheila baru saja membersihkan dapur? Lalu kenapa ada minyak di lantai?"
Ibu pun melirik lantai itu, dan seketika kemarahannya memuncak. "Dia pasti sengaja menumpahkan minyak di lantai," tuduh ibu membuat senyum licik di bibir Audry mengembang kembali.
"Aku rasa dia sengaja melakukannya karena sejak tadi ibu memberinya pekerjaan. Dia pasti mau membalas ibu."
"Ya, tentu saja. Tapi ibu akan memberinya hukuman yang pantas."
****
Di taman itu, Sheila masih membersihkan kolam itu saat terdengar suara teriakan ibu memanggil namanya.
"Sheila...!" panggil ibu dengan teriakan kerasnya. Buru-buru, gadis berkacamata tebal itu masuk ke dalam rumah menemui ibu yang sedang duduk di sebuah kursi dengan memegangi kepalanya yang terbentur lantai.
"Ada apa, Bu?" tanya Sheila dengan suara pelan. Seketika nyali gadis itu menciut ketika menyadari raut wajah ibu yang terlihat jelas sedang menahan amarahnya.
"Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menumpahkan minyak di lantai dapur kan?" bentak ibu.
Sheila menggeleng dengan cepat, "Tidak Bu, aku tidak melakukannya. Aku sudah membersihkan dapur tadi."
"Kalau begitu siapa yang menumpahkan minyak di dapur? kalau bukan kau?"
"Aku tidak tahu, Bu..."
Audry tersenyum sinis ke arah Sheila, seperti sedang menikmati kepuasannya karena berhasil membuat ibu semakin membenci menantunya. Sedangkan Sheila sudah tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya dapat menunduk seperti biasanya. Kelopak matanya sudah dipenuhi cairan bening. Namun, sekuat tenaga ia menahannya agar tidak menetes.
"Dasar pembohong! Sekarang aku akan memberimu hukuman yang pantas."
Dengan kasar, ibu menarik pergelangan tangan Sheila dan menyeretnya. Gadis polos itu hanya dapat pasrah, menyeret langkahnya kemana ibu akan membawanya. Seketika gadis itu merasa ketakutan saat menyadari mereka sedang menuju gudang yang terletak di sudut rumah itu.
"Ja-jangan! Ampuni aku, Bu... Aku tidak menumpahkan minyak di dapur," ucap Sheila memelas sambil berusaha melepas cengkeraman tangan ibu. Akan tetapi, ibu sama sekali tidak peduli dengan setiap ucapan Sheila. Baginya Sheila sudah melakukan kesalahan fatal.
Audry yang mengekor di belakang kedua orang itu tersenyum puas. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah di hatinya melihat Sheila yang sedang diseret oleh ibu.
Setibanya di depan pintu sebuah ruangan, ibu segera membukanya, sementara Sheila masih terus memohon.
"Jangan!... Aku mohon jangan kurung aku di gudang," lirih Sheila.
"Ini hukuman yang pantas untukmu!" ucap ibu.
Wanita paruh baya itu mendorong Sheila dengan kasarnya ke dalam ruangan gelap dan penuh debu itu. Dengan sisa tenaganya, Sheila menyeret kakinya menuju ke pintu, hendak memohon. Namun, ibu sudah menutup pintu itu dan menguncinya dari luar.
Dari dalam sana, terdengar ketukan dan suara Sheila yang terus memohon. Walaupun begitu, ibu sama sekali tidak peduli.
"Ayo Audry, kita ke kamar ibu saja," ajak ibu kemudian. Audry pun menggandeng tangan ibu menuju ke kamarnya. Namun, saat melewati ruang tengah bersamaan dengan Bibi Yum yang baru datang.
Sayup-sayup, Bibi Yum dapat mendengar suara teriakan Sheila dari arah belakang.
"Nyonya, apa yang kalian lakukan pada Sheila? Apa kalian mengurungnya di gudang? Kalau Marchel tahu dia akan marah."
Wajah ibu dan Audry pun berubah mendengar pertanyaan Bibi Yum.
"Aku sedang memberinya hukuman. Dia sengaja menumpahkan minyak di lantai dapur. Lihat akibatnya. Aku terjatuh dan memar," jawab ibu menantang.
"Ayo, Bu! Aku antar ke kamar ibu. Memar di kening ibu harus di obati," ucap Audry.
Ibu menatap Bibi Yum dengan kesal. "Jangan coba untuk membantu anak itu, atau aku akan memecatmu!" ancamnya.
Ibu dan Audry pun menuju ke dalam kamar, sementara Bibi Yum bergegas menuju gudang itu. suara teriakan memelas Sheila sudah tidak terdengar lagi. Bibi Yum kemudian mengetuk pintu dan memanggil Sheila.
"Sheila, apa kau baik-baik saja di dalam, Nak?"
Di dalam sana, sheila sedang menangis ketakutan. Gadis culun itu benar-benar takut pada kegelapan. Hanya suara isakannya yang terdengar di dalam ruangan itu.
"Bibi, aku takut!" lirih Sheila.
"Tenanglah, Nak! Bibi akan mencoba bicara dengan nyonya dan meminta mengeluarkanmu dari sana. Jangan takut!" bujuk Bibi Yum kemudian beranjak meninggalkan gudang itu, menuju kamar majikannya.
Tinggallah Sheila yang kembali menangis ketakutan di dalam ruangan gelap itu.
Kak Shanum... Seandainya Kakak masih hidup, semua ini tidak akan terjadi padaku. Kakak tidak akan membiarkan siapapun melakukan ini padaku. batin Sheila.
****
TOK TOK TOK
Terdengar suara pintu terketuk, membuat ibu dan Audry merasa kesal. Dua wanita jahat itu sudah bisa menebak siapa yang ada di luar sana. Sudah pasti Bibi Yum yang mungkin akan memohon agar Sheila dikeluarkan dari gudang gelap itu.
Audry kemudian membuka pintu. Dan, benar adanya. Bibi Yum ada di depan sana.
"Ada apa, Bibi?" tanya Audry.
"Audry, aku mau bicara dengan nyonya," ucap Bibi Yum. Audry kemudian mempersilahkan Bibi Yum masuk.
"Ada apa?" Ibu melirik Bibi Yum dengan ekor matanya.
"Nyonya, tolong jangan hukum Sheila seperti ini. Jika Marchel tahu, dia akan sangat marah," ucap Bibi Yum.
Ibu terlihat semakin kesal mendengar ucapan sang asisten rumah tangganya itu.
"Punya hak apa kau ikut campur? Aku menghukumnya karena itu dia pantas mendapatkannya. Dia hampir membuatku celaka!" bentak ibu.
"Tapi Nyonya, Sheila itu kan..." Bibi Yum menggantung ucapannya karena langsung dipotong oleh ibu.
"Jangan ikut campur dan cepat keluar! Aku mau istirahat!" ucap ibu tanpa bisa ditawar lagi.
Mendengar ucapan majikannya, Bibi Yum kemudian memilih keluar dari kamar itu. Ia tahu wanita itu tidak akan mengubah keputusannya. Bibi Yum menitikkan air matanya, mengingat Sheila yang selalu diperlakukan buruk di rumah itu. Namun, dirinya tidak dapat berbuat apa-apa. Jika nyonya sudah membenci, sanga sulit untuk meluluhkannya.
Bibi Yum pun kembali ke gudang, hendak memastikan bahwa Sheila baik-baik saja di dalam sana.
"Sheila..." panggil Bibi Yum seraya mengetuk pintu.
"Bibi, hiks ... hiks aku takut, Bibi!" jawab Sheila, sesekali terdengar suara sesegukan dari dalam sana.
"Jangan takut, Bibi akan menemanimu di sini."
"Di sini gelap, Bibi!"
Bibi Yum mengusap air matanya, "Sheila, coba duduklah, Nak! Anggap saja kau sedang berada di kamarmu. Jangan menangis, ya... Bibi akan coba menghubungi Marchel. Tunggu sebentar, bibi akan kembali."
Bibi Yum pun mencoba menghubungi Marchel, namun beberapa kali mencoba tak juga tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke gudang.
***
Malam harinya...
Marchel baru saja tiba di rumah dan langsung beranjak menuju kamarnya. Ibu dan Audry yang biasanya duduk mengobrol di ruang keluarga, malam itu tidak terlihat.
Sesampainya di kamar, Marchel langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya, beristirahat sejenak, sebelum akhirnya mandi dan berganti pakaian.
Setelahnya, Marchel duduk di sisi tempat tidur, lalu membuka laptopnya. Menatap satu persatu foto Shanum.
"Seandainya kau tidak pergi, mungkin hari ini aku tidak akan sesedih ini, Shan," gumam Marchel.
Tiba-tiba lelaki itu teringat Sheila. Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar, menuju kamar Sheila yang berada tidak jauh dari kamarnya. Laki-laki itu mengetuk pintu kamar itu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Marchel pun masuk ke dalam dan tidak menemukan sang istri di sana. Biasanya di jam seperti ini, Sheila sudah berada di kamar. Kadang belajar, dan kadang pula sudah tidur.
"Kemana Sheila?" gumamnya.
Buru-buru Marchel turun ke lantai satu mencari Sheila, namun tak menemukannya dimana-mana. Hingga Bibi Yum datang menghampirinya.
"Bibi, dimana Sheila? Dia tidak ada di kamarnya."
"Marchel cepatlah!" ucap Bibi Yum dengan raut wajah khawatir.
"Ada apa, Bibi?"
"Sheila...." Bibi Yum terdiam beberapa saat sambil melirik ke sana kemari.
"Bibi! Kenapa Bibi diam? Aku bertanya dimana istriku?" tanya Marchel ketika wanita yang telah dianggapnya bagai ibu sendiri itu terdiam.
"Sheila...Dia..."
"Kenapa dengan Sheila, Bibi? Jangan bilang Sheila tidak ada di rumah!"
"Nyonya sedang menghukum Sheila dengan... Mengurungnya di gudang. Sejak tadi aku menemaninya di depan pintu dan terus mengajaknya bicara, tapi dia tidak menyahut lagi."
"Apa?" Marchel terbelalak dengan raut wajah menggeram.
"Iya, Sheila dikurung di gudang sejak sore. Aku khawatir dia pingsan," ucap Bibi Yum.
"Tapi kenapa ibu mengurung Sheila di gudang, Bibi? Gudang itu kotor dan penuh debu."
Ragu-ragu, Bibi Yum mengatakan pada Marchel penyebab ibu mengurung Sheila di gudang. Seketika tangan Marchel terkepal dengan rahang menggeram mendengar penjelasan Bibi Yum. Raut wajahnya penuh dengan kemarahan.
****
BERSAMBUNG