cerita ini masih bersetting di Dunia Globus di sebuah benua besar yang bernama Fangkea .
Menceritakan tentang seorang anak manusia , dimana kedua orang tua nya di bunuh secara sadis dan kejam serta licik oleh sekelompok pendekar kultivator .
Trauma masa kecil , terbawa hingga usia remaja , yang membuahkan sebuah dendam kesumat .
Dalam pelarian nya , dia terpisah dari sang kakak sebagai pelindung satu satu nya .
Bagai manakah dia menapaki jalan nya dalam hidup sebatang kara dengan usia yang masih sangat belia .
Bisakah dia mengungkap motif pembunuhan kedua orang tua nya , serta mampu kah dia membalas dendam ? .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvinoor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jurus San I Koay Sian.
Setelah selesai memakan semua bekal Cin Hai hingga habis ludes, orang tua aneh itu bangkit berdiri menatap kearah Cin Hai sambil meracau tidak karuan, "kau berjodoh murid ku!, kau berjodoh murid ku!, kau berjodoh dengan Koay Lo Jin, perhatikan!, suhu mu ini cuma melakukan nya sekali, bila kau beruntung, kau bisa mengingat semua nya, bila tidak, maka kau rugi!" ucap nya, lalu melompat ke arah tempat yang agak lapang di pinggir anak sungai itu, lalu memperagakan sebuah jurus silat tingkat tinggi.
Setelah beberapa saat, laki laki tua aneh bergelar Koay Lo Jin (Si Tua gila) itu selesai memperagakan jurus silat nya.
"Coba! .. Coba! ... Coba!" laki laki aneh itu menyuruh Cin Hai melakukan gerakan yang dia peragakan tadi.
Cin Hai yang memiliki kecerdasan dan daya ingat luar biasa itu segera mengulangi semua gerakan yang di peragakan oleh laki laki tua tadi.
Setelah Cin Hai selesai memperagakan gerakan silat , laki laki tua tadi segera bertepuk tangan, "bagus!, bagus!, gerakan San i Koay Sian mu sempurna , terus latihan, terus latihan!" ucap laki laki tua yang aneh itu sambil melesat pergi begitu saja dari tempat itu.
Melihat laki laki tua nan aneh bergelar Koay Lo Jin itu pergi begitu saja, Cin Hai segera menjura kearah pergi nya laki laki itu.
"Terimakasih Suhu Koay Lo Jin!, terimakasih!"ucap Cin Hai sambil mengulangi gerakan jurus San i Koay Sian (Dewa Gila memindahkan gunung) itu hingga beberapa kali, Sampai ingatan nya benar benar melekat dengan jurus itu.
Koay Lo Jin ini merupakan salah seorang tokoh tua seangkatan Sin Kai Sian dan Sin Tiauw Giam Lo Ong, tetapi sangat disayangkan, otak nya menjadi gila karena keracunan saat bersemedi mengumpulkan qi murni secara tubuh terbalik.
Setelah laki laki tua bergelar Koay Lo Jin itu pergi, Cin Hai yang belum makan bermaksud pergi ke anak sungai untuk mandi.
Baru saja dia merendamkan tubuh nya di air yang segar itu, tiba tiba sekelompok ikan mas besar besar mengerubungi tubuh nya.
Dengan sebutir batu kerikil kecil yang di sambit kan ke arah ikan ikan itu, dia ekor ikan mas besar pun menggelepar mati.
Setelah selesai mandi, Cin Hai segera membakar dua ekor ikan mas besar tadi di atas api.
Akhirnya setelah beberapa saat, Cin Hai segera menikmati daging ikan bakar yang empuk sambil duduk diatas batu di pinggir anak sungai itu.
Tidaklah memerlukan waktu yang lama, dua ekor ikan mas besar itu pun ludes dilahap nya.
Cin Hai mengambil tabung kulit labu tua milik nya, lalu mengisi dengan air sungai yang jernih itu, untuk bekal nya di jalan.
Setelah merasa cukup istirahat nya, Cin Hai segera meneruskan perjalanan nya, dengan kembali melesat dari pohon ke pohon dan dari dahan ke dahan di tengah rimba belantara itu.
Menjelang sore hari, dia tiba di dekat sebuah tebing yang cukup tinggi dan curam.
Cin Hai melongo ke kanan dan ke kiri, mencari kalau kalau ada goa yang bisa tempat nya bermalam untuk malam ini.
Akhirnya setelah mencari kesana kemari beberapa waktu, dia melihat di tengah tengah tebing, ada sebuah lubang goa yang tidak terlalu besar, namun cukup tinggi dari dasar tanah.
Dengan sekali lompat saja, dia sudah mencapai mulut goa itu.
Meskipun mulut goa itu agak kecil, tetapi ruangan di dalam nya ternyata cukup besar dan nyaman untuk tempat bermalam.
Tinggal kini Cin Hai harus mencari air, atau sumber air, untuk membersihkan tubuh nya.
Dari mulut goa di atas, Cin Hai melihat kesekeliling nya, memperkirakan dimana biasa nya ada sungai kecil atau setidak nya anak sungai kecil yang biasa nya berada di daerah yang agak rendah.
Setelah memperkirakan letak anak sungai, Cin Hai pun akhirnya meluncur kearah kaki sebuah bukit yang tidak jauh dari tempat itu.
Tepat seperti perkiraan nya, di kaki dua buah bukit itu ada luncuran air mirip parit kecil berkelok kelok.
Di sebuah tampungan air mirip telaga, namun sangat kecil, cuma sebesar satu depa persegi, terlihat beberapa ekor ayam hutan sedang minum.
Cin Hai segera menyambitkan sebutir batu kerikil kecil kearah kepala seekor ayam hutan jago yang sedang minum itu.
Ayam itupun menggelepar terkena sambitan batu kerikil yang Cin Hai lemparkan tadi.
Karena dahulu dia lama hidup di hutan bersama Jiang Bi kakak nya, dia tahu bagai mana cara bertahan di dalam hutan.
Sambil membersihkan ayam hutan itu, pikiran Cin Hai tiba tiba melayang pada sang kakak yang sekarang keberadaan nya entah dimana, masih hidup atau sudah tewas di makan serigala.
"Kakak!, setelah semua ini selesai, aku akan mencari kakak!, aku amat rindu pada kakak, semoga Dewata melindungi mu kak, dan kita bisa bersatu lagi, seperti dahulu, cuma kakak lah harta ku di dunia ini kak!" ucap Cin Hai sedih.
Setelah selesai membersihkan ayam hutan itu, Cin Hai segera mengumpulkan kayu kering, untuk membuat api tempat membakar daging ayam hutan itu.
Beberapa saat berlalu, Sabil menunggu daging ayam matang, Cin Hai segera membersihkan tubuh nya di tampungan air mirip telaga mini itu.
Setelah selesai mandi, Cin Hai mengambil daging ayam hutan, mematikan api nya tadi, lalu melesat kearah lubang goa yang tadi di temukan nya.
Sesampai nya di goa yang tadi dia temukan, sore berganti senja, dan senja pun luruh berganti malam.
Kegelapan menyelimuti hutan itu, bersama suara jangkrik yang mulai berdendang riang, di tingkahi oleh suara burung hantu dan lolongan panjang serigala di kejauhan.
Di mulut goa, Cin Hai menyalakan api unggun, sekedar mengusir dingin yang mencekam.
Di iris nya daging ayam hutan tadi sedikit demi sedikit, meskipun tanpa garam, karena perut lapar, daging ayam hutan itu tetap terasa nikmat sekali.
Kebetulan bulan sedang purnama di langit, sehingga cahaya nya menerangi hingga kedalam goa itu.
Setelah selesai menikmati daging ayam hutan panggang, Cin Hai segera duduk di dekat pintu goa, menghimpun qi murni.
Cahaya bulan purnama seperti ditarik memasuki tubuh Cin Hai, mengisi segenap ruang Dantian nya.
Berkultivasi dengan menyerap energi bulan purnama memang sangat jarang dapat dilakukan orang. Adapun Cin Hai, karena sedari kecil sudah bermandikan cahaya bulan, bila malam tiba, sehingga titik Meridian nya berproses, menyesuaikan keadaan, dan akhirnya dapat menampung cahaya rembulan itu.
Sebenar nya Cin Hai dan sang kakak nya dahulu tidak mengerti, jika cahaya rembulan itu bisa ditampung di dalam Dantian nya, yang mereka lakukan dahulu itu hanyalah duduk sempurna seperti yang selalu diajarkan sang ibu.
Lama kelamaan, ada semacam rasa nikmat yang memasuki tubuh mereka, sehingga mereka melakukan hal itu terus menerus hingga sekarang.
Sambil duduk menyerap qi murni dari cahaya bulan purnama, Cin Hai terbuai dalam tidur nya.
Hingga matahari terbit di ufuk timur, barulah dia membuka mata nya, menggerakkan tangan dan kaki nya.
Sisa panggang ayam hutan masih ada, karena memang ayam hutan jago itu cukup besar juga.
Setelah cahaya matahari agak terang, Cin Hai segera melesat kearah Utara dengan berpedoman pada matahari di sebelah kanan nya.
Tubuh Cin Hai meluncur dari pohon ke pohon dan dari dahan ke dahan seperti burung Hong kecil yang lincah terbang di antara pepohonan hutan.
Apabila hari menjelang senja, kadang kadang Cin Hai harus bermalam di atas dahan pohon yang tinggi bila dia tidak menemukan goa tempat berlindung.
...****************...