Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Ketahuan Dara
Trian duduk di meja kerja yang ada di kamarnya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk melupakan pertengkaran yang terjadi antara dia dengan Lina. Sesekali ujung jari tangannya membenarkan letak kacamata yang agak melorot.
Ia menghela napas panjang. Sama sekali ia tak bisa konsentrasi terhadap pekerjaan. Hanya Lina yang memenuhi pikirannya. Ia ingin tahu apa yang malam ini tengah Lina lakukan.
"Ayolah ... Kenapa aku tidak bisa fokus ... Besok aku harus kembali bekerja," gerutu Trian pada diri sendiri.
Ia terus berusaha memaksakan fokusnya untuk membaca dokumen-dokumen perusahaan yang belum sempat diteliti di kantor. Biasanya saat akhir pekan ia luangkan waktu untuk pekerjaan itu.
"Trian ...."
Terdengar suara seruan Dara dari arah luar. Sepertinya wanita itu baru saja pulang.
"Hah! Masalah lagi yang datang," gumam Trian. Ia tak mempedulikan panggilan Dara dan memilih melanjutkan kerja.
"Trian ... Trian ... Trian ...."
Dara terus memanggil-manggil dirinya. Ia tak peduli. Toh nanti wanita itu akan masuk kamarnya tanpa permisi.
"Trian!" teriak Dara tepat setelah membuka kamar Trian.
Trian menoleh. "Ada apa?" tanyanya.
"Dari tadi aku panggil kenapa tidak menyahut?" protes Dara. Ia berjalan mendekat ke arah Trian.
"Kamu kan sudah tahu aku dimana. Memangnya sulit mencari orang di rumah ini?" ucap Trian.
"Ya, apapun itu, seharusnya kalau ada yang memanggil cepat jawab!" kata Dara. Ia memeluk Trian dari belakang seraya bergelayut manja.
"Kamu kenapa?" tanya Trian. Ia yakin ada maksud terselubung dari sikap Dara kepadanya.
"Tidak kenapa-napa. Aku hanya ingin saja," ucap Dara seraya mencium pipi Trian.
Lama kelamaan Trian tidak nyaman dengan sikap Dara. Pikirannya sedang kacau dan tidak ingin siapapun mengganggunya.
"Cepat katakan maumu lalu keluar dari kamar ini!" perintah Trian.
"Uuh ... Galak sekali suamiku," goda Dara.
Trian yang kesal melepaskan pelukan Dara darinya. Ia kembali berkutat pada pekerjaannya yang menumpuk di meja.
"Trian ... Pinjami aku kartu kreditmu, please ...," pinta Dara dengan tutur kata yang manis.
Trian meletakkan kembali pulpennya. Ia menghela napas untuk meredakan emosinya. "Kenapa meminta kartu kreditku? Ada apa dengan milikmu?" tanyanya.
Dara tersenyum-senyum. "Kartu kreditku sudah habis limit, tidak bisa dipakai," jawabnya.
Trian memutar kursinya menghadap Dara. Ia menyilangkan kaki dan melipat tangannya di dada. Ia tatap wanita menyebalkan itu dengan tatapan tajam.
"Kalau habis, kenapa tidak minta kepada Rival? Dia punya banyak uang, kan?" sindir Trian.
"Tentu saja dia punya. Selama ini dia yang selalu membayar semuanya," kilah Dara.
"Lalu, uangmu habis untuk apa?" tanya Trian.
"Tentu saja untuk belanja. Kebutuhanku kan banyak!" Dara kembali berkilah.
Trian hanya bisa geleng-geleng kepala. Selama ini yang mengurusi kebutuhan rumah hanya dirinya. Bahkan Dara tidak pernah melakukan apa-apa selain menyiram tanaman atau membuang sampah. Pekerjaan-pekerjaan yang ringan, itu saja kalau disuruh.
Dara hanya menghamburkan uangnya untuk belanja barang mewah atau berpesta dengan teman-temannya.
"Bukannya kartu kredit yang kamu pegang juga dari Papa? Tidak masalah kan, kalau aku memakainya?" tanya Dara.
Memang, ayah mertua memberikan jatah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kartu kredit yang diberikan kepada Dara memiliki limit yang kecil, karena mereka tahu Dara sangat boros. Sehingga satu kartu kredit diberikan kepada Trian untuk membiayai kehidupan mereka.
"Jadi, kamu pulang hanya untuk mendapatkan kartu kredit?"
Dara tertawa. "Tentu saja! Apa kamu berharap aku pulang untukmu?" godanya.
Trian menyerah. Ia tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi Dara.
"Kartunya ada di laci dekat tempat tidur. Kamu ambil saja!" kata Trian. Ia kembali berbalik melihat dokumen-dokumennya.
Dara tersenyum senang. Ia berjalan ke arah yang ditunjuk Trian dan membuka lacinya. Benar saja, ada kartu kredit di dalamnya.
"Terima kasih, Sayang ...," ucapnya senang setelah menemukan barang yang dicari.
Fokusnya tiba-tiba beralih pada lipatan pakaian yang tergeletak di atas ranjang. Ada pakaian dan dalaman yang tertata rapi di sana. Ia mengernyitkan dahi. Pakaian itu seperti ia mengenalinya.
"Bukannya ini pakaian punya Lina?" tanya Dara dengan nada tinggi. Ia terkejut menyadarinya.
Trian juga tampak kaget. Ia lupa menaruh pakaian itu ke dalam lemari setelah mencucinya. Ia menepuk dahinya sendiri karena merasa lalai.
"Hayo, Trian ... Katakan padaku, apa yang kemarin kalian lakukan? Kenapa ada pakaian Lina bersama dalamannya di kamarmu?" Dara seperti mendapat bahan untuk menggoda suaminya.
"Kalian tidur bersama, ya?" tebaknya.
Trian tampak tenang. Ia tak terpancing dengan perkataan Dara.
"Memangnya kenapa kalau iya? Apa itu urusanmu?" tanya Trian dengan sikap cuek. Ia sama sekali tidak melirik ke arah Dara.
"Ya ... Aku hanya ingin tahu saja! Tapi, ya sudahlah! Itu juga bukan urusanmu!" ucap Dara.
"Kalau sudah tidak ada urusan lagi, kenapa tidak cepat pergi? Aku sedang bekerja," kata Trian. Ia ingin mengusir Dara secara halus.
"Iya, iya ... Aku mau pergi sekarang. Tapi, setidaknya kamu antar aku ke depan!" pinta Dara.
Trian tetap bergeming. Dara memanyunkan bibirnya kesal.
"Kalau kamu tidak mau, aku akan terus mengganggumu!" ancamnya.
Seketika Trian langsung bangkit dari duduknya. Dara tersenyum penuh kemenangan.
Trian lebih dulu berjalan dan Dara membuntutinya di belakang.
"Kemarin kamu atau Lina yang mulai merayu? Tega sekali kamu mengajak wanita lain tidur di rumah kita," gerutu Dara.
"Apa Lina tidak bahagia dengan suaminya?"
"Kalian melakukannya dimana saja?"
Semua pertanyaan Dara tidak Trian hiraukan. Ia tetap berjalan hingga sampai di pintu luar.
"Instingku memang selalu tepat, ya! Ternyata Lina itu tipemu," kata Dara sambil tertawa kecil.
"Apa sih yang kamu katakan? Lina hanya menumpang mandi di rumah kita, kenapa jadi heboh?" kilah Trian.
"Masa, sih?" Dara tak sepenuhnya percaya dengan ucapan suaminya.
"Katanya mau pergi. Cepat sana! Aku mau kembali bekerja!" usir Trian.
Wanita itu memang menyebalkan. Hanya menambah beban pikiran di kepalanya saja.
"Iya, iya ... Aku akan pergi!" kata Dara.
Lagi-lagi ia menghentikan langkah saat melihat ke arah rumah Lina.
"Ada apa lagi?" tanya Trian kesal. Ia berharap Dara segera pergi dari hadapannya.
"Tuh!"
Dara menunjuk ke arah rumah Lina. Di depan rumah tampak ada seorang lelaki yang sedang menggedor-gedor pintu rumah dan tampak mencurigakan.
"Siapa ya, itu? Apa pacar Lina? Apa Lina tidak ada di rumah? Kenapa pintunya tidak segera dibuka?" pikir Dara.
"Mungkin Dara sudah tidur. Atau mungkin dia sedang ada di belakang," jawab Trian.
"Ah, sudahlah! Qku mau pergi sekarang. Terima kasih kartunya, Sayang. Jaga rumah baik-baik."
Dara memeluk Trian sekali lagi. Selanjutnya, ia kembali masuk ke dalam mobilnya dan langsung tancap gas meninggalkan Trian.