Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Mengulang kenangan
Bukan takdirNya yang berat, tetapi hati kita yang kurang lapang dalam menerimanya. Bukan jalan-Nya yang sulit, tetapi kaki kita yang kurang kuat melewatinya. (Ustadzah Halimah Alayadrus)
Tak terasa, waktu berjalan sangat cepat hingga Nara belum sempat menarik napas. Dua bulan berlalu dan hari ini rasanya Nara ingin pergi saja dari dunia karena Nadya mengumumkan tentang kehamilannya.
"Mas? Aku ada hadiah kecil untuk kamu," ucap Nadya ketika sarapan telah selesai.
Kini, Arjuna bersama Nara dan Nadya sudah menempati rumah barunya. Jadi, ketiganya selalu melakukan apapun bersama-sama demi menjalin keakraban.
Hanya saja saat di malam hari, Arjuna tetap harus membuat jadwal seperti dulu. Bedanya, jika dulu Nara dan Nadya memiliki jatah satu minggu, kini menjadi tiga hari saja. Sedangkan satu hari yang luang, Arjuna habiskan bersama Nara dan Nadya bersamaan.
"Hadiah apa?" tanya Arjuna penasaran.
Nara hanya diam menyaksikan hadiah apa yang akan Nadya berikan. Posisi duduknya sekarang memudahkan Nara untuk menatap Nadya dan suaminya bergantian. Nadya duduk di hadapannya dengan berbatasan meja, sedangkan Arjuna berada di ujung meja.
"Buka ini." Nadya mengulurkan benda kecil yang sangat Nara kenali adalah alat tes kehamilan. Arjuna yang belum tahu, pada akhirnya menerima benda tersebut dan melihat dengan ekspresi yang... Bahkan Nara tak mampu menggambarkan ekspresi suaminya kali ini yang sangat-sangat bahagia.
"Kamu hamil, Nad?" tanya Arjuna setengah tak percaya.
"Iya, Mas. Aku hamil. Sudah hampir dua bulan aku tidak kedatangan tamu bulanan," jawab Nadya yang matanya mulai berkaca-kaca.
Lalu adegan saling memeluk satu sama lain terjadi. Nara hanya bisa menatap keduanya dengan tak berdaya. Kebahagiaan tampak terpancar dari keduanya hingga membuat setitik di hati Nara merasakan iri.
"Nanti siang kita harus periksa ke dokter agar lebih jelas ya," ucap Arjuna penuh perhatian, melupakan Nara yang sejak tadi termangu memandangi keduanya.
Memangnya apa yang Nara harapkan? Arjuna akan membagi rasa bahagianya? Nyeri sekali dada Nara saat ini bila mengingat hal itu. "Aku pergi dulu ya, Mas," pamit Nara tanpa mau mendengar jawaban dari Arjuna. Dia sudah ada janji dengan Dissa untuk mengunjungi apartemen temannya itu.
Beruntung, Nara sudah membawa tas selempangnya bersamaan dengan keluar dari kamar. Jadi, dia tidak perlu naik ke lantai dua hanya untuk mengambil tas dan ponselnya.
Setelah berada di garasi, Nara seketika kesal karena pak Satpam yang berjaga belum datang untuk membuka pintu garasi. Dengan begitu, Nara harus kembali ke dalam dan mengambil kunci.
Namun ketika kakinya akan melangkah, dia melihat Arjuna sedang berdiri di ambang pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah. Tatapan Arjuna begitu dalam hingga membuat Nara tak sanggup menatapnya.
"Pak Tono tidak datang hari ini. Kamu mau pergi kemana? Biar Mas yang antar ya?" tawar Arjuna pada akhirnya membuka suara.
Nara melengos begitu saja. Dia tidak ingin luluh hanya karena suara lembut suaminya. "Tidak perlu. Aku berencana pulang malam. Jadi, harus bawa motor sendiri," ucapnya lalu ingin melewati Arjuna yang masih berada di ambang pintu.
Namun, Arjuna mencegat dengan geser ke kiri dan ke kanan, mengikuti Nara menggeser kakinya. Suaminya itu tidak membiarkan ada celah sedikitpun untuk Nara lewat.
"Mas! Aku mau ambil kunci!" kesal Nara frustasi.
"Kuncinya sudah ada padaku. Kamu marah? Jika iya, Mas minta maaf," tanya Arjuna yang membuat Nara seketika ingin mencakar wajah tampan suaminya.
Dengkusan napas kasar pun terdengar dari Nara. "Kamu masih tanya aku marah atau tidak?"
Arjuna justru terkekeh geli. "Kelihatan kok. Nih, wajahnya jutek begini," ucapnya tanpa beban lalu mencolek hidung Nara yang segera ditepis oleh sang Empunya.
"Apaan sih," kesal Nara lalu segera menjauh dan duduk di atas motornya. Matanya enggan menatap Arjuna yang kini sedang berkacak pinggang mengamati dirinya.
"Biar Mas yang antar ya? Sekalian Mas buka pintu garasinya," tawar Arjuna tak mau menyerah.
"Nggak perlu, Mas. Aku bisa sendiri," kesal Nara geram sendiri. Gigi-giginya sampai bergemeletuk karena suaminya itu bertingkah menyebalkan.
"Tapi Mas tidak akan membuat kamu melakukan apa-apa sendiri. Biar Mas yang antar, titik."
Setelah itu, Arjuna berjalan pelan mendekati Nara, membuat Nara mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa?" tanya Nara ketika suaminya hanya terdiam dengan mata yang mengunci pandangan Nara.
Namun sedetik kemudian, Nara paham karena Arjuna tiba-tiba mencabut kunci motornya. "Mas! Jahat!" pekik Nara kesal se kesal-kesalnya.
"Kenapa sih? Mas cuma mau antar kamu. Atau sebenarnya, kamu ingin bertemu orang lain? Bukan Dissa?" Sengaja Arjuna berucap demikian untuk meluluhkan kerasnya hati Nara.
"Ya sudah. Mas saja yang antar kalau masih belum percaya," jawab Nara pada akhirnya mengalah. Arjuna pun tersenyum puas dan masuk ke ruang tengah sebentar untuk berpamitan pada Nadya yang saat ini sedang jatahnya bersama.
Nara pikir, suaminya akan mengantar menggunakan mobil. Ternyata, suaminya itu memilih motor sebagai alat kendaraan menuju apartemen Dissa. Arjuna beralasan jika suaminya itu ingin mengulang kenangan di masa lalu ketika awal-awal pernikahan.
"Nara?" panggil Arjuna ketika berhenti di traffic light.
"Kenapa?" jawab Nara ketus.
"Peluk, Mas dong. Romantis sedikit tidak masalah bukan?" goda Arjuna yang langsung mendapat pukulan di pundaknya.
Tawa renyah pun terdengar membuat Nara ikut terkekeh. Suaminya itu memang pandai membuat perasaanya menjadi lebih baik. Pada akhirnya, Nara mengulurkan tangan ke depan untuk bisa memeluk suaminya.
Kepalanya disandarkan ke punggung Arjuna dan Nara memejamkan mata. Rasanya begitu nyaman bisa memeluk suaminya seperti ini.
Motor kembali melaju membelah ruas jalan yang belum terlalu macet. Sehingga, Arjuna dengan mudah sampai di sebuah tower apartemen. "Yah. Kok cepat sekali sampainya," keluh Arjuna ketika motor telah berhenti di area parkir.
Nara terkekeh. "Kalau aku mau ajak Mas minum kopi di kafe itu, Nadya marah tidak ya karena jatahnya terpotong."
"Mas rasa tidak," jawab Arjuna cepat.
Nara langsung menyemburkan tawa. "Tidak boleh! Aku hanya bercanda. Sudah. Mas harus pulang. Nadya kan sedang berbadan dua," ucap Nara mengusir halus.
"Cium dulu. Baru Mas akan pulang," pinta Arjuna layaknya anak kecil yang meminta dibelikan sebuah mainan.
Nara memutar bola matanya malas. Namun, dia tetap mencium pipi Arjuna sekilas. Setelah itu, Nara lari begitu saja, meninggalkan Arjuna yang masih tersenyum berbunga-bunga.
"Nara ... Nara." Arjuna bergumam sambil menggelengkan kepalanya pelan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Terima kasih atas setiap dukungan yang kalian berikan selama ini🥰...
...jangan berhenti kasih like, komen, vote, saja hadiah semampu kalian ya😘...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...