Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14_Pusat Kota
Wajah datar Abi sedikit memberikan senyuman melihat Anz berwajah pucat, menunduk dan berdiri berhadapan dengan Albert.
Albert belum menyadari apa yang membuat Anz sampai begini, hanya menatap bingung Abi yang langsung ditunjuki Abi dengan dagu. “Oh, karena itu,” tersenyum geli melihat Anz yang semakin menunduk dalam. “Nanti sayang lihat punyaku saja ya,” ucap lirih Albert yang masih di dengar Abi.
Abi hanya bisa memutar bola matanya malas sedangkan Anz meresponnya dengan mencubit pinggang Albert kuat.
“Aww, ampun, sakit sayang.”
Seketika aktivitas pusat kota itu berhenti, semua mata tertuju pada Albert dan Anz. Abi dan yang lain hanya menatap bingung apa yang terjadi di sekelilingnya.
Abi berdecak kesal, menyadari sesuatu, kemudian memisahkan Albert dan Anz supaya berdiri agak berjauhan sedikit “kalian jangan dekat-dekat dulu.”
“Kenapa?” Tanya Albert dan Anz bersamaan.
“Jangan bantah.”
Mereka bersepuluh terus berkeliling kota, melihat berbagai macam aneka ragam pernak pernik dan keindahan kota dan kuliner yang begitu mengunggah selera. Anz sudah sedikit terbiasa melihat pakaian orang-orang pulau Albrataz ini, namun jika bertemu lawan jenis, Anz masih menunduk malu sedangkan rekan Anz yang lain saat melihat lawan jenis, mereka, bagaikan melihat sesuatu hal yang sangat menakjubkan, sampai kelopak mata mereka terbuka lebar, mulut yang komat-kamit tidak jelas, dan air liur mereka yang seakan-akan hampir menetes, kecuali Abi dan Albert hampir tidak ada reaksi yang mereka tunjukan ketika melihat lawan jenis, orang-orang pulau Albrataz ini.
Sebagian pedagang sudah mulai membersihkan lapak jualan mereka dan di gantikan dengan lapak penjualan orang baru.
Langit hari cerah mulai menunjukan warna langit yang berbeda “ini hampir malam, ayok kita pulang.”
Langkah mereka semua, kembali melangkah pulang ke lapas. Langit semakin mengelap, awan putih yang tadi tampak saling berjalan dan berkejaran, kini semua terlihat tampak gelap, perlahan menghilang, tidak terlihat. Kicauan burung yang seharusnya indah kini terdengar sedikit menyeramkan.
Jalanan gelap dan sunyi mereka lewati. Setiap jarak tiga puluh meter perjalanan terdapat lampu PJU kecil yang menerangi dan selebihnya terdapat obor kecil yang disusun di pinggiran jalan itu dengan jarak masing-masing lima meter.
Obor itu hanya sekedar obor bambu yang tertancap ke tanah. Angin malam berhembus ringan meniup setiap api yang tersembur dari obor tersebut. Perlahan, satu persatu, obor itu harus kehilangan cahayanya, mematikan api yang menyala dari obor itu.
Irwin mengusap tengkuk lehernya, merasakan merinding di seluruh tubuhnya. "Sley, kau jangan jauh-jauh denganku," memegangan kuat lengan Ainsley.
"Jangan berlindung padaku, go blok, aku juga takut," berucap dengan nada sedikit lemah dan matanya yang sibuk menatap dedaunan pohon yang masih bergelantungan utuh di ranting pohonnya.
Ainsley juga melakukan hal yang sama, memegang erat tangan Irwin. Pandangan mata mereka berdua tertuju pada Abi, Albert dan Anz yang berjalan paling depan, beriringan bertiga dan Anz berada di tengah. Mereka berjalan santai melihat kesana kemari, tidak mempedulikan suara-suara mencekam yang melingkari dan menakuti mereka.
Ainsley, Irwin dan lima rekan mereka yang lainnya segera berlari mendekati mereka bertiga, mereka berebutan menyentuh dan memegang salah satu di antara mereka.
Abi, Albert, dan Anz berhenti melangkah, mereka mengernyit dahinya heran "kalian kenapa?" Tanya Anz.
"Takut," jawab serentak mereka.
"Apa yang kalian takutkan?" Albert sekarang yang bertanya.
"Semuanya," jawab mereka lagi, serentak.
Abi diam tidak bertanya apa-apa namun matanya fokus ke depan, persimpangan empat. Samping persimpangan tersebut terdapat gang kecil yang berada di antara himpitan bangunan perumahan klasik. Disana terdapat beberapa berbadan besar berdiri membelakangi mereka, masing-masing di tangan mereka memegang sesuatu yang tidak terlalu jelas terlihat.
"Apa kalian melihatnya?"
Dalam kegelapan malam, disinari bulan yang tidak seberapa terang, Albert dan Anz menatap Abi tajam "gelap," ucap mereka bersamaan.
Hembusan napas panjang Abi lakukan "kalian berdua pulanglah duluan, bawa para anak-anak penakut itu bersama kalian."
"Aku ikut denganmu," ucap Anz cepat.
"Tidak bisa, mereka," melihat rekannya yang berkerumun memegang erat Albert "mereka akan mengacaukannya."
"Sayang, temanilah Abi," tersenyum "biar aku yang mengurusi dan mendisiplinkan para anak-anak penakut ini," mengusap kepala Anz sayang.
Satu kecupan singkat mendarat di pipi Albert "Love You sayang."
Albert tersenyum dan beralih pergi dengan membawa serta rekan-rekannya yang memegang tangan dan bajunya kuat.
Sedangkan di lain sisi, Abi berjalan lambat, mengendap-endap yang juga diikuti oleh Anz di belakangnya. Abi dan Anz terus berjalan mendekati segerombolan laki-laki bertubuh besar itu.
Abi dan Anz mengintip dari pepohonan kecil dari kejauhan, mereka melihat sebagian laki-laki itu duduk melingkar, mengelilingi meja dan sebagian lagi berdiri mengawasi.
Terdengar suara teriakan, tawa dari sebagian mereka dan sebagian lagi terlihat memegang kepala mereka sendiri.
"Apa yang mereka lakukan?" Tanya lirih Anz yang tidak bisa melihat jelas.
Abi segera membalikkan badan, memelototkan mata dan mengatup mulut Anz kuat dengan telapak tangannya.
Anz memberontak tidak bisa bernapas atas kelakuan Abi namun Anz hanya mampu melawan tenaga Abi lewat protes dari sorot matanya.
Suara tawa dari mereka semakin menjadi, suara ketukan meja semakin keras.
Salah satu dari mereka yang berkepala plontos berbadan paling besar diantara mereka melempar gepokan uang tebal berwarna merah di atas meja "tawaran bertambah," tertawa renyah "tambahkan uangnya. Siapa yang menang ambil semua uang ini dan ia akan berada di atas jika kalah," menaikturunkan alis menatap lawan bicaranya.
Segepok uang lagi terlempar kasar setelahnya mereka tertawa lebar bersama.
Di samping mereka yang sedang bermain batu dan melempar uang itu ada satu meja lagi. Meja itu, berbentuk segi panjang yang di atasnya terdapat kaca bening yang di atas terdapat gelas berpinggang, yang tersusun rapi dengan posisi telungkup ke bawah.
Samping kirinya terdapat susunan botol dengan berbagai desain dan isinya bagaikan air putih di dalamnya.
Terdapat empat kursi tersusun berderet di samping meja itu. Kursi tersebut berbentuk bundar dan panjang, bagian sisi atasnya bisa di putar-putar melebihi tiga ratus enam puluh derajat. Keempat kursi tersebut ada yang mendudukinya.
Salah satu dari mereka mengacungkan tangan, memperlihatkan jari telunjuknya.
Suara tuangan air terdengar "mohon maaf tuan, Anda sudah sangat banyak sekali minum."
"Bukan urusan kau, sialan," balas jawab laki-laki yang mengacungkan tangan tadi dan kembali meneguk habis minumannya.
Dibalik pohon kecil itu, Abi dan Anz masih bersembunyi dan memperhatikan. Sesekali Anz berjinjit, memaksa diri untuk melihat apa yang terjadi. Terkadang Anz juga menarik baju Abi, meminta bantuannya.