Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlawanan Kirana
“Lina!” bentak Zidan keras saat tak sengaja mendengar ucapan anak bungsunya. Kebetulan mereka sama-sama baru saja keluar dari kamar dan ucapan itu membuatnya tercengang.
Mendengar teriakan dengan mata melotot membuat Lina takut, dia segera bersembunyi dibalik tubuhnya.
“Jangan berteriak di depan mereka, Zidan,” desisnya, tak lagi memanggil pria itu dengan sebutan ‘Mas’ seperti biasanya.
Kirana segera membawa kedua anaknya ke meja makan. Di sana ada Wina yang masih menyiapkan makanan di atas meja.
“Udah, Mbak. Ayo makan,” ajaknya yang dijawab gelengan kepala.
“Ada Bu Ajeng sama Mbak Nina. Nanti mereka marah,” sahut Wina pelan.
“Biarin, duduk Mbak.” Kirana menatap wanita itu tegas.
Segera mereka berempat duduk di meja makan yang sama. Kirana mengambilkan makanan untuk kedua anaknya dan segera makan tanpa menghiraukan yang lain.
“Mbak makan. Tunggu apalagi, biarin aja mereka.” Dia kembali berbicara ketika mendengar suara tawa yang begitu keras dari ruang tamu.
Kirana hanya makan beberapa suap saja, napsu makannya hancur melihat kedatangan tamu tak diundang.
Belum sempat kedua anaknya selesai makan, Zidan dan yang lain masuk ke ruang makan.
“Ibu sama anak sama aja. Nggak punya sopan santun,” gerutu Ajeng dengan wajah kesal.
“Makan kok nggak ngajak sih! Mbak Kirana ini harusnya menghargai tamu, kami ini keluargamu lho,” sambung Nina, segera duduk di tempat Wina tadi.
“Kami akan sopan kalau tamunya juga punya sopan santun,” sahut Kirana sinis.
Tanpa peduli ucapannya, ibu dan anak tersebut duduk dan menyantap makanan yang tersedia.
Matanya melirik wanita muda yang usianya seumuran dengan Nina. Namun yang menjadi pusat perhatian adalah perutnya yang sudah membesar, terlihat seperti hamil besar.
Zidan menarik kursi untuk wanita itu duduk.
Kebetulan meja makan di rumah ini memang besar, karena memang untuk seluruh keluarga.
“Kamu mau makan apa, Dek?” tanya Zidan penuh perhatian.
Wanita itu menatap hidangan di atas meja kemudian menggeleng.
“Aku nggak mau makan ini, Mas. Nanti nggak higienis lagi,” ucapnya dengan nada manja.
“Makan aja ini dulu, nanti kalau udah pulang ke rumah aku belikan yang kamu mau,” ucap Zidan tak kalah lembut.
“Baunya aja nggak enak, aku mual, Mas.” Belum sempat Zidan menjawab, wanita itu terdengar muntah tepat di depan kedua anaknya makan.
Segera Rina bangkit dan menuju wastafel, dia memuntahkan seluruh makanannya yang sudah ditelan. Segera dia bangkit dengan kasar dan memijat tengkuk anaknya.
Setelah memuntahkan isi perutnya, dia meminta kedua anaknya masuk ke kamar lebih dulu.
Ajeng dan Nina hanya melirik singkat tanpa mau berkomentar apa pun. Mereka sepertinya sudah terbiasa melihat kelakuan wanita ini.
“Singkirkan makanan ini, Kira. Luna mual mencium baunya,” ucap Zidan tanpa rasa bersalah.
“Maklum aja, aku sedang hamil,” sahut wanita yang diketahui bernama Luna tersebut.
Mau pamer kalau kamu hamil sama suamiku? Nggak mempan, aku udah melahirkan dua anaknya.
“Kamu harus mengerti Kirana. Nggak usah marah,” timpal ibu mertua.
Bela terus.
“Kalau dia emang mual dan mau muntah, bisa ke kamar mandi. Jangan di hadapan orang makan, nggak sopan banget. Punya aturan nggak sih?” sahutnya kesal.
“Ngerti aja, dia lagi hamil. Nggak perlu marah.”
“Dia hamil, bukan penyakitan. Pastinya dia bisa ke kamar mandi dong. Orang salah dibelain, kalau bagi kalian itu wajar aku bisa maklum, karena kalian emang nggak punya otak,” sahutnya sinis.
“Kamu nggak akan tahu rasanya, Mbak. Dia hamil anak laki-laki lho.” Nina mencoba memprovokasi.
“Apa bedanya? Nggak ada bedanya, aku udah pernah ngerasain dan udah ngeluarin dua. Kamu bahkan belum tahu rasanya.”
“Kirana!” bentak Zidan marah mendengarnya menyingung tentang kondisi sang adik.
“Nggak usah marah, aku ngomong kenyataan lho,” jawabnya dengan nada menjengkelkan.
Brak!
Wanita paruh baya itu membanting sendok yang dipegang dan menatapnya marah.
“Kamu keterlaluan!”
“Aku ngomong kenyataan, Bu. Kok marah? Makanya kalau ngomong dipikir dulu, jangan asal mangap aja. Nggak semua orang bisa terima ucapan kalian.”
Tiba-tiba disela pertengkaran mereka terdengar suara isak tangis lirih. Wanita hamil itu menangis dengan air mata yang sudah banjir membasahi pipi.
“Ayo pulang aja, Mas. Sakit hatiku,” ucapnya terbata.
“Sakit mana sama hatiku? Kamu ambil suami dan ayah anak-anakku.”
“Stop, Kirana!”
“Giliran aku ngomel, kalian nyuruh aku diem. Kalau kalian caci maki aku, boleh? Hebat banget, ya.”
Nina segera menghampiri dan mendorong tubuhnya hingga dia menabrak kulkas.
“Awas kamu, Mbak. Aku bakal bales kamu!” Setelah mengatakan itu Nina segera pergi, disusul ibunya.
Dia kembali menoleh ke arah Zidan dan istri mudanya. “Ngapain masih di sini? Cepat pergi!”
Zidan membantu wanita itu bangkit dan menuntunnya keluar ruang makan. Setelahnya pria itu kembali dan mendekatinya.
“Kita belum selesai, Kira. Aku harus bicara setelah ini,” ucap Zidan dingin dan segera berlalu begitu saja.
“Aku nggak peduli sama kamu, Zidan Pranadipa!”
Setelahnya Kirana segera membereskan meja makan dibantu dengan Wina.
“Sabar ya, Bu Kira. Aku ikut sedih lihatnya, kamu nggak pantes diperlakukan kayak gini, Bu.” ucap Wina dengan suara serak.
“Begitulah orang Mbak. Semua kebaikan atau kelebihan akan kalah hanya karena satu kekurangan.”
Wina memeluk Kirana, sebagai sesama perempuan wanita yang juga pernah merasakan hal serupa itu ikut sakit hati.
“Rina dan Lina ngapain, Mbak?”
“Udah tidur, Bu.”
Setelah selesai beres-beres, dia menghampiri kamar anaknya dan melihat keduanya benar-benar sudah terlelap.
“Kamu sakiti aku bisa tahan, tapi tidak jika itu anak-anakku, Mas. Akan kulakukan apa pun untuk mereka, bahkan jika harus melawan kalian.”
To Be Continue ....
...________...
Hai kak, jangan lupa yang baca tap love dan tinggalkan komentar ya. Semakin banyak yang baca, aku bakal semakin semangat buat up bab baru 😁
Yang baru mampir, kalian boleh mampir di karyaku yang lain yang udah tamat. Siapa tau cocok di hati 🤗
Makasih, salam sayang dari aku.