Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Nekad
Dalton bersandar malas di dinding elevator, memainkan ponselnya tanpa minat. Saat Ruby berbicara, ia hanya mendengus pelan, sesekali meliriknya dengan mata bosan.
"Keluarga Dagger?" Dalton mendecak sambil memasukkan ponsel ke saku. "Aku sama sekali tidak pernah mendengar nama keluarga itu. Lagipula, kenapa aku harus terlibat dalam hal menjengkelkan seperti ini? Ada atau tidak adanya keluarga Dagger tidak akan berpengaruh apa pun pada hidupku."
Ruby memutar bola matanya, lalu bersedekap. "Sampai kapan kau akan terus bermain-main, Dalton? Ingatlah, sebentar lagi Phoenix Vanguard akan menjadi milikmu seutuhnya. Kau harus membiasakan diri dengan ini. Perusahaan itu adalah salah satu aset besar keluarga kita, meski sayangnya, saat ini masih berada di bawah kendali paman bodoh kita."
Dalton hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Saat pintu elevator terbuka, mereka melangkah keluar menuju lantai tempat Sophia berada. Beberapa staf kantor menunduk sopan, namun Dalton hanya melirik mereka dengan tatapan jemu.
Ruby terus berbicara. "Kita bisa mencari-cari kesalahan di Phoenix Vanguard untuk disampaikan pada kakek saat pertemuan, Dalton. Aku yakin sesempurna apa pun perusahaan ini, pasti ada celah untuk bisa mengorek kebusukannya. Dan dari masalah keluarga Dagger inilah kita mulai."
Dalton menggaruk rambutnya yang tidak gatal, pandangannya berkeliaran tanpa fokus. Semua yang dilihatnya di lantai itu tampak membosankan—meja, kursi, dokumen, dan orang-orang yang menurutnya hanya sekadar robot yang bekerja tanpa gairah. Namun, langkahnya terhenti ketika ia menangkap sosok seorang wanita cantik melintas di lorong samping bersama seorang pegawai.
"Siapa wanita itu?" tanyanya dengan nada serius untuk pertama kalinya, matanya memindai Evelyn dari kepala hingga kaki. "Aku harus tidur dengannya malam ini."
Ruby yang semula tidak peduli akhirnya menghentikan langkah, mengikuti pandangan Dalton. "Ada apa?" Ia menatap Evelyn dengan curiga. "Siapa dia? Aku tidak pernah melihatnya di sini."
Evelyn dan Grace keluar dari lorong, langkah mereka terhenti saat menyadari Dalton dan Ruby memperhatikan mereka. Grace segera membungkuk sopan.
"Tuan Dalton, Nona Ruby. Apa Anda ingin bertemu dengan Nona Sophia?" tanya Grace.
Dalton mengabaikan pertanyaan itu. "Siapa wanita cantik di sampingmu?" tanyanya dengan nada yang menggoda, tatapannya kembali mengamati Evelyn dengan intens.
Evelyn merasa tidak nyaman dengan tatapan Dalton, yang tampak seperti pemangsa mengincar mangsanya. Ia mundur selangkah, bersembunyi di balik Grace.
Evelyn melirik Grace dengan tatapan terkejut. Apa mungkin ia tidak salah mendengar? Apa benar dia seorang tamu kehormatan? Ini pasti ada sesuatu yang salah. Grace sama sekali tidak menjelaskan hal ini padanya sebelumnya.
"Dia adalah Nona Evelyn, tamu kehormatan yang berkunjung ke gedung ini. Aku diperintahkan untuk mengajaknya berkeliling," jelas Grace dengan tenang.
"Grace," panggil Evelyn dengan suara kecil.
"Tamu kehormatan?" Ruby mencibir. "Aku belum pernah melihat wajahmu di sini, dan kenapa kau bisa disebut tamu kehormatan? Dari mana kau berasal?"
"Aku dari keluarga Voss," jawab Evelyn sedikit gugup. la berusaha memberi senyum terbaiknya meski agak tidak nyaman dengan tatapan Dalton dan Ruby.
"Keluarga Voss?" Ruby tertawa sinis, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku tidak pernah mendengar nama keluargamu. Itu berarti kau bukan dari keluarga yang setara dengan keluarga Ashcroft."
"Keluarga Ashcroft?" Evelyn terkejut ketika mengetahui hal itu. Keluarga Voss sangat jauh berada di bawah keluarga Ashcroft. Untuk pertama kalinya, ia bisa bertemu dengan mereka.
"Bagaimana mungkin kau bisa menjadi tamu kehormatan di sini? Kau benar-benar mencurigakan. Siapa kau sebenarnya?" Ruby menatap ketus. "Jika ada kunjungan dari tamu kehormatan, aku dan Dalton pasti akan diberitahu lebih dulu."
Evelyn melirik Grace, berusaha tenang sebelum menjawab. Saat bibirnya baru saja terbuka, tiba-tiba saja Ruby berbicara dengan nada menghina.
"Siapa kau sebenarnya? Jangan-jangan kau simpanan paman bodohku."
"Simpanan?" Evelyn maju selangkah, meski senyum masih menghiasi wajahnya, sorot matanya berubah tegas. "Maaf, Nona, tapi saya sama sekali tidak bertindak seperti yang Anda tuduhkan. Kehadiran saya di sini atas arahan Grace."
Ruby mendengus, tatapannya tidak melunak sedikit pun. "Aku sudah sering mendengar alasan seperti itu dari wanita-wanita yang hanya mengincar harta. Kau pasti simpanan paman bodohku."
Evelyn mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi. "Nona, saya hanya menemani teman saya. Soal status saya sebagai tamu kehormatan, saya sama sekali tidak tahu. Anda bisa bertanya langsung kepada Grace."
Berani sekali kau menatapku dengan tatapan seperti itu." Ruby memelotot tajam. "Aku bisa melakukan apa pun padamu dengan tindakan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Ruby menyipitkan mata, hendak membalas, tetapi Dalton maju, mendekati Evelyn dengan senyuman penuh maksud. "Hentikan, Ruby," ujarnya lembut. "Sebagai tamu kehormatan, bukankah kita harus menyambutnya dengan baik?"
Ruby mendengus kesal. "Dia sudah berani melawan, Dalton. Mana mungkin aku akan bersikap ramah."
Dalton tidak mendengarkan Ruby lagi. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Evelyn, berbisik pelan, "Kau benar-benar cantik, Nona. Katakan saja apa yang kau inginkan. Aku akan memberikannya padamu tepat di atas ranjang bercinta kita malam ini."
Evelyn menatap Dalton dengan pandangan tajam, sorot matanya penuh ketegasan dan kemarahan. "Tolong perhatikan ucapan Anda, Tuan," ucapnya dingin namun tegas. Ia mengambil langkah maju, mendorong bahu Dalton dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya terhuyung kecil. "Maaf, aku harus pergi sekarang juga."
Tanpa menunggu jawaban, Evelyn melangkah cepat melewati Dalton dan Ruby. Dagunya terangkat tinggi, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. "Maaf saja, aku bukan wanita murahan," gumamnya.
Ruby yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa mendengus kesal. "Dasar sombong!" geramnya, tinjunya mengepal. "Aku pasti akan membalasmu suatu saat nanti!"
Dalton, sebaliknya, tertawa lebar, menyentuh bahunya yang didorong Evelyn dengan wajah penuh ketertarikan. "Wanita itu menarik. Semakin sulit, semakin aku menginginkannya. Dia pasti jadi selimut tidurku malam ini."
Ruby memutar bola matanya dengan jijik. "Kau benar-benar menjijikkan, Dalton." Ia menatap tajam Dalton.
Di sisi lain, Grace yang masih berdiri terpaku, dengan cepat memanggil Evelyn. "Nona Evelyn, tunggu!" Ia melangkah terburu-buru untuk mengejar, tetapi sebelum sempat melangkah jauh, Ruby menangkap pergelangan tangannya dengan cengkeraman kuat.
"Siapa yang memerintahkanmu untuk mengajak wanita sombong itu berkeliling? Cepat katakan!" suara Ruby menggelegar, penuh kemarahan.
Grace menggigit bibirnya, menunduk takut. "Aku hanya menjalankan perintah dari atasanku, Nona," jawabnya dengan suara kecil.
Ruby melepaskan cengkeramannya dengan kasar, bahkan menepuk-nepuk tangannya seperti baru saja menyentuh sesuatu yang menjijikkan. Tatapannya beralih ke arah ruangan Sophia, penuh kemarahan dan rasa tidak percaya. "Ini pasti ulah Sophia," gumamnya, menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kenapa dalam beberapa hari terakhir, gedung ini menjadi sangat aneh? Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran wanita itu atau paman bodoh itu?"
Dalton menginterupsi kemarahan Ruby dengan menunjuk Grace. "Kau," ujarnya dengan nada perintah yang dingin, "bawa wanita bernama Evelyn ke ruanganku secepat mungkin. Kau tidak akan suka jika aku sampai menunggu terlalu lama."
Grace, yang tampak ketakutan, segera berlari mengejar Evelyn. Saat ia berlari, tangannya sibuk mengetik pesan singkat kepada Sophia, memberi tahu tentang kejadian yang baru saja terjadi.
Govin yang berada di samping Xander segera mengeluarkan ponselnya saat notifikasi pesan masuk terdengar. Ia membaca pesan dari Sophia dengan wajah terkejut. "Tuan Xander," katanya dengan suara serius, "sepertinya ada hal penting yang harus saya tunjukkan kepada Anda."
Tanpa membuang waktu, Govin memijat remote, mengganti tayangan pada layar besar di ruangan itu menampilkan sebuah lorong di mana Evelyn, Dalton, Ruby, dan Grace berada. Govin menunjuk ke layar. "Tuan Dalton dan Nona Ruby sedang berada di gedung ini."
"Apa yang mereka lakukan pada Evelyn?" ucapnya dengan nada rendah namun penuh ancaman. "Perbesar suara tayangan sekarang juga, Govin. Aku ingin mendengar setiap kata mereka."
Govin mematuhi perintahnya. Seketika, suara percakapan Ruby yang menghina Evelyn dan Dalton yang mencoba menggoda wanita itu memenuhi ruangan. Wajah Xander berubah gelap, rahangnya mengeras, dan tangan kanannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Aku tidak akan membiarkan mereka bertindak sesukanya," Xander berkata tajam, tiba-tiba menggebrak meja di depannya dengan kekuatan penuh hingga terdengar suara dentuman keras.
"Tuan Xander," ujar Govin dengan hati-hati, "Tuan Dalton dikenal sebagai pria yang tidak segan menggunakan cara apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia sangat licik dan berbahaya."
Xander tidak menjawab. Ia berdiri dari kursinya dan menatap layar dengan mata penuh kemarahan. "Sediakan kendaraan tercepat menuju Skyline," perintahnya dingin. "Aku yang akan mengantar Evelyn pulang ke rumah dengan selamat."
Govin segera bertindak. "Kita bisa menggunakan jet pribadi, Tuan. Saya akan segera menyiapkannya. Tapi sesuai dengan perjanjian, Tuan harus kembali ke rumah tepat pukul empat sore."
Xander melirik arlojinya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah satu siang. "Baiklah, aku mengerti," jawabnya singkat.
"Aku akan menyerahkan Tuan Dalton dan Nona Ruby pada Sophia. Sophia tahu apa yang harus dirinya lakukan." Govin mengutak-atik ponsel beberapa saat. "Tuan, jet pribadi kita sudah mendarat di atap gedung," lapornya.
"Bagaimana dengan Evelyn?" tanya Xander tanpa mengalihkan pandangannya dari layar, yang masih menampilkan Dalton dengan sikap kurang ajarnya. Kedua tangannya kembali mengepal erat, hampir menghantam meja sekali lagi.
Govin meraih lengan Xander dengan sigap. "Tuan, tenanglah. Grace sedang membawa Nona Evelyn ke lantai paling atas. Kita bisa pergi kapan saja."
"Kita berangkat sekarang," ujar Xander tegas. Ia bergegas keluar ruangan, diikuti oleh Govin dan tiga pengawal yang berjalan cepat di belakangnya.
Dalam waktu singkat, mereka tiba di atap gedung, tempat jet pribadi sudah siap berangkat. Evelyn yang baru saja tiba bersama Grace tampak terkejut saat melihat Xander muncul dengan langkah tergesa-gesa.
"Xander?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan. "Apa yang kau lakukan di sini?"