Shereny Claudine, seorang perempuan mandiri dan tegas, terpaksa mencari pekerjaan baru setelah putus dari kekasihnya yang berselingkuh serta kepergian ibunya. Tak ingin bergantung pada siapa pun, ia melamar sebagai pengasuh (baby sitter) untuk seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Arga. Tak disangka, ayah dari Arga adalah Elvano Kayden, pria arogan dan kaya raya yang pernah bertemu dengannya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Elvano, seorang pengusaha muda yang dingin dan perfeksionis, awalnya menolak keberadaan Shereny. Menurutnya, Shereny terlalu keras kepala dan suka membantah. Namun, Arga justru menyukai Shereny dan merasa nyaman dengannya, sesuatu yang sulit didapat dari pengasuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya, Elvano terpaksa menerima kehadiran Shereny di rumah mewahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larasati Pristi Arumdani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : Bunga di Sela Retak
Di sudut ruangan rumah sakit yang dingin dan steril, Elvano duduk dengan wajah cemas. Matanya tak lepas dari sosok kecil yang terbaring di ranjang, terhubung dengan selang infus yang menjuntai dari lengan bayi yang mungil. Khawatir dan rasa tidak berdaya menyelimuti hatinya saat melihat putrinya yang baru lahir harus menjalani perawatan medis.
Setiap detik terasa seperti satu jam. Ia mengingat kembali momen bahagia saat menyambut kelahiran bayi tersebut, penuh harapan dan impian. Namun kini, semua itu tergantikan oleh kecemasan yang mendalam. Ia berusaha menenangkan diri, berdoa agar semua ini hanya sementara dan bayinya segera pulih.
Elvano meraih tangan kecil putrinya, merasakan kehangatan meski tubuhnya terbaring lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. Ia tahu, sebagai seorang ayah, ia harus kuat untuk mendukung keluarganya. Dalam hati, ia berjanji untuk selalu ada untuk putrinya, tidak peduli seberapa sulit perjalanan ini.
Setiap suara beep dari mesin monitor menambah ketegangan di dalam dirinya. Ia berharap dan berdoa agar dokter segera memberikan kabar baik. Kekhawatiran akan masa depan bayinya terus menghantuinya, tetapi ia berusaha untuk tetap optimis, percaya bahwa cinta dan dukungannya akan membantu putrinya melewati masa sulit ini.
Shereny berdiri di depan Elvano dengan wajah marah. Zefa terbaring di ranjang, terhubung dengan selang infus, dan suasana tegang di ruangan itu membuat nafas Shereny terasa berat. Dia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
Shereny menatap Elvano dengan tatapan kecewa. ia memegang lengan Elvano dengan kuat, "Elvano, kamu ini kenapa sih? Kenapa nggak angkat telfon aku? Zefa butuh kita, dan kamu malah nggak ada saat aku telepon!"
Elvano memegang kedua bahu Shereny dan ingin memeluknya, "Sayang... sayang, aku udah di sini sekarang. Maaf banget kalau aku nggak bisa angkat telepon. Aku ada beberapa masalah di pekerjaan."
Shereny sedikit mendorong Elvano, "Itu bukan alasan! Harusnya kamu bisa cari cara buat sampai lebih cepat. Aku merasa sendirian dan takut banget saat Zefa demam tinggi!"
Elvano menghela nafas dan berusaha membujuk Shereny, "Aku tahu, dan aku sangat menyesal. Aku nggak mau kamu merasa kayak gitu. Aku sayang kalian berdua."
Shereny menjauh, "Sayang doang nggak cukup kalau kamu nggak ada saat kami butuh! Aku rasa kayak berjuang sendirian di sini. Kenapa kamu nggak paham betapa pentingnya kehadiranmu?"
Elvano mengusap airmata Shereny, "Aku janji akan lebih baik ke depannya. Tolong, jangan marah lagi ya."
Shereny menepis tangan Elvano dengan kesal, "Dengan kata-kata manis yang nggak ada artinya? Aku butuh tindakan, Elvano! Zefa butuh ayahnya, dan aku butuh suamiku! Apa jangan-jangan kamu selalu begini ?"
Shereny menatap Elvano dengan mata berkaca-kaca, rasa kecewa dan sakit hati terlihat jelas di wajahnya. Dia merasa terjebak dalam perasaan campur aduk, antara cinta dan kemarahan.
Elvano sebenarnya terkejut dengan ucapan istrinya, "Sayang please... Aku akan berusaha yang terbaik buat perbaiki semuanya. Aku di sini sekarang, dan aku akan tetap di sampingmu."
Shereny menghela nafas dan terduduk lemas. Ia memijat keningnya, "Semoga kamu beneran serius. Aku nggak mau ngerasain ini lagi."
Setelah itu, Shereny memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Kekhawatiran dan rasa sakit di hatinya masih membara, tapi dia berharap Elvano akan sadar betapa pentingnya kehadirannya di saat-saat sulit seperti ini.
...****************...
"Aku benci sikap friendly mu Al." Ucap Kayyisa dengan kesal. Ia masuk ke dalam apartemennya dan melepas jaket dengan hati yang penuh rasa cemburu. Alfaro berusaha untuk tetap tenang dalam menangani Kayyisa. Karena jika ia salah menjawab, ia akan habis seperti di terkam singa.
"Iya sayang, aku paham kok. Aku akan coba perlahan untuk menguranginya ya." Bujuk Alfaro dengan langkah yang terus mengikuti Kayyisa. Kayyisa menuang teh chamomilenya dan menghela nafas. "Memang kamu tau aku cemburu sama siapa?" Tanya Kayyisa dengan nada judesnya.
Alfaro terdiam sejenak dan berusaha untuk mencari tahu jawaban yang benar atas pertanyaan Kayyisa.
"Kamu nggak tahu?" Tanya Kayyisa sambil menyilangkan tangan. Tatapan mata yang cantik seketika berubah menjadi tajam. Alfaro berkeringat dingin "A... aku tidak tahu. Karena hari ini aku hanya mengajari Shinta, teman satu kuliahku dulu di Amerika." Jawab Alfaro denga wajah bingung. Kayyisa menganggu dan tersenyum kecil "Tidak semua perempuan bisa di beri sikap ramah yang berlebihan Alfaro." Kayyisa melewatkan Alfaro dan duduk di sofa sambil membawa tehnya.
"Kamu cemburu sama Shinta, sayang?" Tanya Alfaro heran. "Tolong dong sayang, Shinta cuma teman aku."
"Kamu suka sama dia?" Tanya Kayyisa dengan tatapan mata yang sangat tajam namun nada bicaranya tetap santai.
"Kamu ngomong apa sih sayang?" Tanya Alfaro dengan lelah.
"Kamu tau? Mantan aku yang brengsek kemarin? Itu dia juga mengaku cuma teman." Kayyisa merubah arah duduknya menghadap Alfaro.
"Aku bukan mantanmu Kayyisa!" Suara Alfaro mulai menegas.
"YA TUNJUKKAN KALAU KAMU TIDAK SEPERTI DIA!" Kayyisa mulai membentak dan ia tidak tahan untuk mengeluarkan air matanya. Kayyisa pergi ke kamarnya.
"Kayyisa! Dengarkan aku bicara dulu. Kenapa sih sikap kamu kayak gini? Nggak baik!" Alfaro mengejar Kayyisa dan menahannya.
"Memang! Memang aku nggak baik Alfaro! Aku nggak pantas dicintai dengan baik oleh laki-laki. Entah apa yang aku lakukan di masa lalu, sampai aku harus mendapatkan perlakuan yang sama hah? Kamu yang meyakinkan aku bahwa kamu akan berbeda dengan mantanku. Tapi kamu tidak bisa memberi batasan kepada wanita lain!" Kayyisa menangis dan mendorong Alfaro.
"Yisa, sayang. Aku memperlakukan mereka layaknya teman. Kita tidak bisa menahan perasaan orang lain, karena itu bukanlah kehendak kita. Kamu cantik dan pintar, mau kamu sejudes apapun kalau ada laki-laki yang suka, apa kamu bisa menahan perasaan dia?"
Kayyisa menggelengkan kepalanya karena ia lelah dengan Alfaro yang tak paham dengan apa yang ia maksud. "Tapi aku tidak pernah se-ramah itu." Kayyisa menutup pintu kamarnya dan membuat Alfaro berdiri terpaku di depan pintu kamarnya.
Kayyisa terus menangis di kamarnya dan terus menyalahkan dirinya. Ia berucap di dalam hati "Cinta yang adil adalah seperti dua sayap pada burung; keduanya harus seimbang agar bisa terbang tinggi. Cinta yang adil adalah seperti matahari dan bulan. Mereka bergantian memberi cahaya, tanpa satu pun yang mengalahkan yang lain. Kita perlu memberikan dan menerima."
Alfaro membuka pintu kamar Kayyisa dan memeluk Kayyisa dari belakang. Kayyisa tetap fokus menatap jendela dengan pemandangan cahaya kota yang menawan. "Maafkan aku sayang, maaf jika perkataanku melukai hati kamu. Maaf jika sikapku mengecewakan kamu. Aku cinta sama kamu Yisa." Alfaro mencium bahu Kayyisa.