NovelToon NovelToon
Antara Takdir Dan Pilihan

Antara Takdir Dan Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.

Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.

Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.

mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ketegangan di klinik bandara

Di dalam ruangan, Nathan masih duduk di samping Haifa yang belum sadar. Tangannya menggenggam tangan Haifa erat, berusaha memberikan kehangatan.

Namun, pikirannya mulai melantur. Ia menatap wajah Haifa yang begitu tenang, kemudian matanya tertuju pada bibir merahnya yang menyerupai buah ceri.

"Astaga... Jangan mikir yang nggak-nggak, Nath. Fokus, dia sakit," gumam Nathan dalam hati, mencoba mengalihkan pikirannya.

Namun, ia tak bisa menyangkal bahwa kehadiran Haifa membuat hatinya kacau.

"Duh... Cobaan apa ini," lirihnya sambil menelan saliva dengan gelisah.

Namun ketenangan Nathan seketika hancur saat pintu ruangan terbuka keras.

"Brakk!"

"Haifa!" suara berat Gus Zayn menggema di ruangan itu. Tatapannya langsung tertuju pada Nathan yang masih memegang tangan Haifa.

"Siapa lo, nyentuh-nyentuh tangan Haifa?" seru Gus Zayn dengan emosi yang terpancar jelas di wajahnya.

Nathan berdiri, menatap Gus Zayn dengan pandangan tak kalah tajam.

"Elo!?" ucap mereka hampir bersamaan, saling mengenali satu sama lain.

Gus Zayn mendekat dengan langkah cepat, langsung meraih kerah baju Nathan. "Lo ngapain megang tangan Haifa, hah?!" bentaknya, suaranya penuh amarah.

Nathan menepiskan tangan Gus Zayn dengan santai, meski dadanya terasa panas. "Tenang aja, bro. Gue di sini cuma jagain dia," jawab Nathan sambil menunjukkan ekspresi santai, meski dalam hati ia tahu amarah Zayn bukan main-main.

"Jagain? Dengan megang tangannya? Lo pikir lo siapa?!" balas Gus Zayn tajam, kembali mendekat seolah siap melayangkan pukulan.

Nathan mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan situasi. "Denger dulu, gue megang tangannya karena tangan dia dingin. Dia butuh kehangatan, bro," ucap Nathan dengan wajah penuh kemenangan, sengaja memancing emosi Zayn.

Wajah Gus Zayn memerah karena marah. "Kurang ajar lo, ya! Jangan sok akrab sama Haifa!" serunya, hampir kehilangan kendali.

Nathan tersenyum tipis, menikmati reaksi Zayn. "Santai, Zayn. Gue cuma bantu. Lo malah datang terlambat," ucapnya dengan nada mengejek.

Ketegangan di antara mereka memuncak. Namun, sebelum sesuatu yang buruk terjadi, suara pelan Haifa memecah suasana.

Haifa perlahan membuka matanya, wajahnya terlihat lemah. "Hmmm... Duh... Kepalaku," gumamnya lirih sambil memegang pelipisnya.

"Haifa!!!" seru Gus Zayn dan Nathan hampir bersamaan, wajah mereka penuh kecemasan.

Gus Zayn langsung mengambil alih situasi. "Nathan, panggilin dokter cepat!"

Nathan mendengus kesal. "Lah, kenapa gue? Lo kan baru dateng, lo aja yang panggil!" balasnya tak terima.

"Nathan!, Kalau Ummi sama Abi Haifa ada orang asing di kamar Haifa!, lo bakal habis!" kata Gus Zayn dengan nada tegas.

Nathan mendecak, tapi akhirnya menyerah. "Dokter!" teriaknya keras sambil keluar ruangan untuk mencari bantuan.

Beberapa saat kemudian, dokter datang dan langsung memeriksa Haifa dengan teliti. Gus Zayn dan Nathan berdiri di sisi tempat tidur, tatapan mereka penuh kekhawatiran.

"Bagaimana keadaan Haifa, Dok?" tanya mereka hampir bersamaan lagi. Ketegangan di antara mereka tak bisa disembunyikan.

Dokter menghela napas sebelum menjelaskan. "Nona Haifa kelelahan, dan luka di kepalanya belum sepenuhnya sembuh. Selain itu, ingatan beliau belum pulih sepenuhnya. Saat dia mencoba mengingat sesuatu, hal itu memicu panik dan membuatnya pingsan."

Belum sempat Gus Zayn merespons, ponselnya berdering. "Halo, Assalamu'alaikum, Ummi," ucapnya sambil menjawab telepon.

"Iya, Ummi. Haifa ada di klinik kesehatan bandara. Iya, Abi sama Ummi ke sini aja sekarang," lanjutnya sebelum menutup telepon.

Setelah itu, Nathan langsung bertanya kepada dokter. "Dok, apa ada kemungkinan Haifa bisa pulih dengan cepat?"

Dokter tersenyum tipis. "Penyembuhan ingatan butuh waktu, Tuan. Jangan terlalu dipaksakan, berikan dia waktu untuk beristirahat. Saya permisi dulu, ini obatnya. Pastikan diminum sesuai jadwal."

"Terima kasih, Dok," ujar Nathan sambil menerima resep obat.

Setelah dokter pergi, Nathan kembali duduk di sisi Haifa. Ia menatapnya dengan lembut. "Haifa, lo ingat gue, nggak?" tanyanya pelan.

Haifa mengerutkan kening, berusaha mengingat. "Ehmm… aku nggak tahu siapa kamu," jawabnya jujur.

Rasa kecewa melintas di wajah Nathan, tapi ia segera menutupinya dengan senyum tipis. "Nggak apa-apa, Haifa. Gue cuma teman lama. Lo nggak perlu maksa buat ingat sekarang."

Gus Zayn yang baru selesai menelepon langsung menyela dengan nada curiga. "Nathan, lo apain Haifa? Kenapa dia bisa begini?"

Nathan menoleh tajam. "Gue nggak apain-apain dia, Zayn. Gue di sini cuma jaga dia. Haifa juga bisa bilang sendiri, kan?" Nathan melirik Haifa, berharap dia bisa menjelaskan.

Haifa yang masih lemah menggeleng pelan. "Aku nggak kenapa-kenapa kok. Tapi kenapa kalian nggak akur sih? Dari tadi kalian ribut terus," tanyanya bingung, tatapannya berpindah dari Gus Zayn ke Nathan.

Gus Zayn langsung gugup, mencoba menghindari tatapan Haifa. "Itu... cuma....nggak papa kok, Haifa, cuma khawatir doang," jawabnya dengan nada canggung.

Nathan yang melihat reaksi itu langsung menyeringai. "Iya, Haifa. Kita itu nggak ribut beneran, cuma sama-sama khawatir sama lo, kan Zayn?" ucapnya sambil menatap Gus Zayn dengan senyum sinis.

Gus Zayn mendengus, tapi akhirnya mengangguk. "Iya, kita khawatir. Tapi yang paling penting sekarang, kamu istirahat dulu, Haifa."

Haifa hanya mengangguk lemah. Dia merasa ada ketegangan yang belum selesai di antara mereka, tapi tidak punya energi untuk bertanya lebih jauh.

Sementara itu, Nathan dan Gus Zayn saling melirik tajam, jelas menunjukkan bahwa konflik di antara mereka belum benar-benar usai.

......................

Setelah beberapa menit, Ummi Shofiah dan Abi Hamzah akhirnya tiba di ruangan Haifa. Wajah mereka dipenuhi kecemasan begitu melihat putri mereka terbaring di ranjang rumah sakit.

"Ifaa!!" seru Ummi Shofiah, langsung menghampiri ranjang dengan nada panik. Tangannya lembut menggenggam tangan Haifa.

"Ummi..." Haifa tersenyum lemah, mencoba menenangkan ibunya meskipun tubuhnya masih terasa lemas.

"Ifa baik-baik saja, kan?" Abi Hamzah bertanya dengan nada khawatir.

Haifa mengangguk pelan. "Iya, Bi. Ifa baik-baik saja," jawabnya lirih.

Abi Hamzah menghela napas lega, kemudian menoleh ke Gus Zayn yang berdiri di dekat Haifa. "Syukur alhamdulillah... Terima kasih, Zayn. Kamu udah banyak bantuin Ifa," ucapnya tulus.

Gus Zayn hanya tersenyum kecil. Namun, perhatian Abi Hamzah segera beralih ke seseorang yang berdiri di samping Gus Zayn.

Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Dan... kamu siapa, ya?" tanyanya perlahan.

"Saya Nathan, Om," jawab Nathan sopan, sedikit membungkuk memberi hormat.

Abi Hamzah tampak terkejut sejenak. "Oh, iya... Nathan! Kamu yang dulu kecelakaan gara-gara Haifa, kan?" ucapnya sembari menepuk bahu Nathan.

Nathan terlihat salah tingkah, hanya mengangguk pelan.

Gus Zayn, di sisi lain, menatap Nathan dengan tatapan penuh tanya. "Abi kenal sama orang ini?" tanyanya dengan nada bingung.

Abi Hamzah mengangguk. "Iya. Nathan ini dulu yang nyelametin Haifa. Dia rela menabrakkan dirinya demi menghindari Haifa yang tiba-tiba nyebrang tanpa lihat-lihat," jelasnya sambil menatap Haifa dengan pandangan penuh kasih.

Mendengar itu, Gus Zayn melirik Nathan dengan tatapan sinis. Ada ketegangan tersirat di antara keduanya. "Oh, begitu..." gumamnya datar.

"Kalian berdua saling kenal?" tanya Ummi Shofiah, menatap Gus Zayn dan Nathan bergantian.

Gus Zayn buru-buru menjawab, "Enggak, Mi. Nggak kenal."

Nathan hanya melirik Gus Zayn, tampak tak puas dengan jawaban itu, tapi ia memilih untuk menahan diri. "Iya, tante. Kami belum kenal," katanya sambil tersenyum tipis.

"Hmm... Kalau begitu, kalian temenan aja ya," ujar Abi Hamzah, tidak menyadari ketegangan di antara keduanya.

Mereka berdua saling melirik, lalu gus zayn menjawab , "Hehe... Iya, Bi," dengan nada yang sama sekali tidak meyakinkan.

Kemudian, Ummi Shofiah menatap Haifa dengan lembut. "Ifa, kita batalin aja ya ke Puncak nya? Kondisi Ifa masih belum fit," ujarnya sambil mengusap kepala putrinya.

"Tapi, Ummi... Haifa mau ke Puncak. Udah lama banget nggak ke sana," jawab Haifa memohon, matanya memancarkan keinginan yang kuat meskipun tubuhnya terlihat lemah.

Abi Hamzah ikut menenangkan. "Ifa, kondisi kamu masih lemah. Abi khawatir. Gimana kalau nanti terjadi sesuatu, misalnya panik attack? Di villa nggak ada dokter, Ifa."

Haifa memalingkan wajah, menyembunyikan rasa kecewa di hatinya. "Tapi Ifa udah lama nggak ke Puncak, Bi. Ifa kangen...," gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Ummi Shofiah dan Abi Hamzah terdiam.

Nathan yang sejak tadi memperhatikan pembicaraan itu akhirnya memberanikan diri bicara. "Maaf, Om... Tante. Kalau boleh tahu, Om mau ke Puncak Bogor?" tanyanya hati-hati.

Abi Hamzah mengangguk pelan. "Iya, Om rencananya mau ke sana untuk refreshing. Tapi, ngelihat kondisi Ifa sekarang, Om jadi nggak yakin," jawabnya dengan nada penuh keraguan.

Nathan tiba-tiba tersenyum kecil, seolah menemukan jalan keluar. "Kebetulan banget, Om. Saya juga disuruh Papa ke Bogor. Papa punya villa di sana, dan di villa itu ada klinik kesehatan kecil. Jadi kalau Haifa ke sana, Insya Allah aman," ucapnya dengan nada optimis.

Abi Hamzah tampak terkejut. "Villa di sana ada klinik kesehatan? Serius, Nathan?"

"Iya, Om. Jadi kalau terjadi sesuatu, kita bisa langsung dapat pertolongan," jawab Nathan meyakinkan.

Abi Hamzah tampak berpikir sejenak, lalu menatap Haifa yang masih memalingkan wajah. "Ifa, gimana? Kalau ke villa-nya Nathan, kamu mau?" tanyanya dengan suara lembut, mencoba membujuk.

Haifa melirik sekilas, kemudian mengangguk pelan. "Hmm..." jawabnya singkat, namun itu cukup untuk membuat suasana mencair.

Ummi Shofiah tersenyum lega dan menepuk lembut tangan Haifa. "Alhamdulillah... Kalau begitu, kita barengan aja ke villa Nathan," ujarnya.

Nathan terlihat berbinar mendengar itu. "Jadi, Nathan boleh ikut, Tante?" tanyanya penuh harap.

"Tentu boleh, Nathan. Lagipula, kan yang punya villa Papa kamu," jawab Ummi Shofiah dengan nada ramah.

Nathan segera mengeluarkan ponselnya. "Kalau gitu, aku izin ke Papa dulu, ya, Tante," ucapnya semangat.

Setelah beberapa menit berbicara di telepon, Nathan kembali dengan senyum lebar. "Papa bilang boleh, Tante. Semua sudah disiapkan," katanya penuh antusias.

Abi Hamzah tersenyum lega. "Alhamdulillah... Berarti ini rezeki buat kita. Terima kasih, Nathan," ucapnya tulus.

Nathan menoleh ke Haifa yang kini mulai tersenyum kecil, meskipun masih terlihat lemah. "Sama-sama, Om. Yang penting Haifa bisa istirahat dan tetap bahagia," ujarnya.

Melihat senyuman tipis di wajah Haifa, Ummi Shofiah menatap Abi Hamzah penuh syukur. Dalam hati mereka tahu, senyum itu adalah awal dari harapan baru untuk putri mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!