Bianca Adlova yang ingin hidup tenang tanpa ada kemunafikan.
Dia gadis cantik paripurna dengan harta yang berlimpah,namun hal itu tidak menjamin kebahagiaannya. Dia berpura-pura menjadi gadis cupu hanya ingin mendapatkan teman sejati. Tapi siapa sangka ternyata teman sejatinya itu adalah tunangannya sendiri yang dirinya tidak tau wajahnya.
Lalu bagaimana Bianca akan terus menyembunyikan identitas aslinya dari teman sekolahnya? Apakah dia akan kehilangan lagi seseorang yang berharga dalam hidupnya? ikuti kisahnya disini.
Selamat membaca🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alkeysaizz 1234, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa lo...!!?
"Bagaimana? apa kamu tertarik dengan gadis pilihan Ayah kali ini?" Jojo hanya menatap Ayahnya datar yang melayangkan beberapa pertanyaan saat ia baru pulang ke rumah dan masih berada di ambang pintu. Jojo menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan raut wajah begitu kusut.
Ayahnya langsung mendekat dan duduk di sebelah Jojo.
"Ada apa, nak? apa gadis itu menolakmu? " Jojo hanya melirik lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Lantas, kenapa dengan wajahmu ini?" tatap Ayah Jojo heran.
"Gadis itu sudah gak ada di sana, Ayah. " ucap Jojo jujur.
Kening sang Ayah mengkerut, membuat kedua ujung alisnya bertemu, bagaimana bisa gadis itu tidak ada? setelah jelas jika gadis itu tiba lebih awal dari putranya? Sang Ayah pun menatap Jojo kembali yang terlihat seperti memikirkan sesuatu.
"Jangan-jangan dia lari sebelum kau masuk ke sana? karena sempat melihat penampilanmu yang bagai preman itu?" duganya menatap penampilan Jojo yang bagai berandalan.
"Mungkin..? " jawab Jojo santai sambil terkekeh.
Sang Ayah hanya menatap sang putra malas sambil menghela nafasnya pelan.
"Baiklah, Ayah pergi dulu ke kamar. Kau juga jangan lupa istirahat yang cukup, agar tampang mu itu tak terlihat lebih tua dari Ayah. " Jojo hanya mendelikkan matanya tajam lalu menggelengkan kepalanya kemudian.
"Dasar Ayah menyebalkan.. "
**
Paginya seperti biasa Bianca sudah bersiap dan berdandan rapih, ia keluar dari kamarnya dan segera menuju meja makan. Plester di pipi dan dagunya masih melekat enggan terlepas. Para pelayan hanya menatap sekilas dan diam tanpa protes mempertanyakan.
"Mamah sama Papah belum pulang, Bi ?! " tanya Bianca kepada si kepala pelayan yang bernama Rubi.
"Belum nona. Tuan dan Nyonya mungkin akan beberapa hari lagi ada di luar kota." jawab Rubi yakin.
Bianca tak bertanya lagi, ia segera menghabiskan makanannya dan pergi keluar. Masuk ke garasi dan langsung menyalakan mesin motornya menuju sekolah.
Bianca berjalan cepat masuk ke dalam, melewati lapangan bola basket. Terlihat ada beberapa anak bermain di sana. Langkah Bianca pun terhenti lalu mengalihkan pandangannya pada tiang ring yang menggelantung. Bola basket berterbangan masuk ke dalam keranjang, saling bergantian tanpa henti.
Ada rasa rindu saat Bianca melihat semua itu, anak-anak saling berebut bola dengan bahagia dan suka cita. Begitu sama saat dirinya berada di sekolahnya yang dulu. Bola liar mendadak mengarah kepadanya, yang kemudian langsung Bianca tangkap. Otomatis semua mata mengarah kepadanya, si cupu dengan wajah yang kian tak berupa.
"Hey cupu! lempar bolanya sini cepat!" teriak salah seorang anak yang paling menonjol diantara semuanya. Dia langsung mendatangi Bianca dengan wajah yang penuh kesombongan.
"Minggir lo! menjauh dari tempat ini, mengganggu kenyamanan orang yang lagi main aja! emangnya elo bisa main? berlagak so' so'an datang kesini sambil nangkap bola basket ini, dasar cupu jelek! " Dia langsung merebut bola itu kasar sambil mengolok-olok penampilan Bianca.
"Ayo kita main.. "
Langkah anak tersebut langsung terhenti, merasa terganggu dengan ucapan Bianca yang baru saja dia dengar.
"Apa lo bilang? main sama elo? hh.. " cibir anak tersebut di iringi kekehan di ujung kalimatnya.
"Iya. Ayo kita main. " Ucap Bianca sekali lagi.
Anak itu pun menatap remeh lalu tersenyum miring, ada ide jahat terlintas di benaknya.
"Boleh, ayo. kita main! Kalau elo kalah elo harus jadi babu gue selama bersekolah di sini, gimana? apa elo setuju? "
"Kalau gue yang menang? " Anak tersebut langsung terbahak begitu juga beberapa kawannya disana yang berdiri di belakang anak tersebut.
"Udah Van. Kita layanin semua ajakannya, itung itung buat ngehibur anak di sekolah ini. " ujar Dika teman bermain nya Evan.
Anak yang bernama Evan pun akhirnya mengangguk sambil menatap ke arah Bianca yang masih berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.
"Jangan nyesel lo ya!? inget jika lo sampai kalah, elo harus jadi babu gue! " katanya sekali lagi mengingatkan.
Bianca perlahan berjalan menuju tengah lapangan, menatap ke tiang ring basket lalu tersenyum. Semua anak mulai riuh, bersorak mendukung Evan.
Permainan pun di mulai dengan bola masih berada di tangan Evan, dia menggilir bola basket tersebut kepada kawannya yang lain, mempermainkan Bianca di tengah lapangan. Gelak tawa pun terdengar saat Evan melakukan itu semua. Lalu ia memasukan bola itu ke dalam keranjang.
Slup.. masuk..
Dua poin langsung di berikan untuk Evan. Bianca perlahan tersenyum, adrenalinnya kian terpacu saat Evan mendapatkan angka.
"Jangan nyesel ya cupu.. " ledek Evan yang berbisik di telinga Bianca pelan.
Jojo menatap kerumunan orang di lapangan, begitu serius ia mulai berjalan dan menembus kerumunan orang-orang tersebut.Pasti disana ada permainan yang menarik sehingga banyak mengundang banyak perhatian orang. Pikir benak Jojo.
Evan mulai mengoper bolanya lagi kepada Dika, namun sayang Bola itu sudah berpindah tangan begitu cepat. Evan dan Dika sedikit terkejut dengan gerakan gesit Bianca barusan.
Mereka mulai mengejar Bianca yang berlari sambil memainkan bola, mencoba meraihnya namun permainan Bianca lebih cerdik dan membuat mereka bingung. Bola basket itu terlihat menempel pada telapak tangan Bianca, seolah mengerti dengan gerakan tubuh yang akan gadis itu lakukan, menggiring bola begitu cepat dan..
Slup...
Bola masuk ke keranjang lawan dengan sempurna.
Semua nampak tertegun namun beberapa saat kemudian bersorak karena Evan memiliki lawan yang seimbang.
"Cih.. Cupu sialan!! " umpat Evan kesal.
Ia mulai mengejar Bianca kembali, mencoba merebut bola yang menempel di tangannya, namun sekali lagi, Evan melihat gerakan gesit yang tak biasa dari Bianca, membuatnya terpaku dan..
Slup...
Hoaahhh...
Keadaan di lapangan semakin ramai, dengan suara sorak seluruh murid. Jojo diam memperhatikan permainan basket Bianca yang di atas anak rata-rata.
Peluh kian membasahi pakaian Bianca yang berwarna putih, bahkan tak hanya di kening, keringat itu sudah mengalir ke dagunya. Evan melirik ke arah Dika dan temannya yang lain untuk mengunci pergerakan Bianca di tengah lapangan. Mereka langsung mengepung Bianca di berbagai arah, membuatnya sulit untuk bergerak.
"Dasar curang..! " umpat Bianca membuat Evan terkekeh.
"Demi babu sekolah gue, apapun harus di lakukan!" ujarnya membuat Bianca tersenyum miring.
Senyum yang begitu mematikan dengan semangat menggelora seperti api yang meluap-luap. Bianca menghentikan pergerakannya, berdiri tegak sambil menatap ke keranjang lawan, cukup jauh bahkan tidak mungkin bisa di lakukan dalam keadaan terdesak seperti itu.
"Coba saja kalau lo mampu, cupu! " ejeknya di sela kepanikan yang ada.
Bianca perlahan mengjinjitkan kakinya, dengan mata fokus ke depan, memegang bola di atas kepalanya dan tangan yang menengkuk, siap untuk memberi dorongan kuat dari bawah agar bola itu terlempar jauh dengan sempurna.
Waktu seakan terhenti, semua mata teralih pada bola yang di lempar begitu tenang oleh Bianca dari jarak jauh, dan...
"Perfect... " lirih Bianca dengan senyum puas menghiasi wajahnya.
Hoaaahhhh...
Gemuruh di seisi sekolah kembali terjadi. Bola masuk dengan sempurna, membuat Evan dan beberapa temannya tak percaya.
"Bagaimana mungkin? dia dapat melakukan hal yang sangat sulit itu dengan sempurna.. "
pertahanan Evan ambruk, kesombongannya pun kian pudar, luntur bersama kekalahannya dari gadis cupu yang jelek paripurna.
"Terima kasih untuk permainannya, Evan. Gue harap, kedepannya lo jangan meremehkan lawan! " Bianca perlahan menyodorkan tangannya sambil menatap Evan yang terlihat bersujud merasa terpukul dengan kekalahannya. Tangan nya pun perlahan mengayun begitu ringan menyambut uluran tangan Bianca. Dia pun bangkit dan menatap Bianca lekat.
"Sorry... " lirih Evan menahan malu.
"Oke." jawab Bianca datar sambil berlaru.
Frederick menatap kejadian di lapangan saat dirinya berada di Rooftop sekolah. Tatapannya begitu sulit di artikan,begitu tajam dan dingin.
"Gue kira cupu ternyata suhu.. " ujar Dino kagum.
"Elo lihat itu kan Fred...? " tanyanya tanpa ada jawaban dari Frederick. Pemuda itu memilih pergi meninggalkan Dino di sana menuju kelasnya.
Bianca tersenyum di sepanjang lorong, merasa ada kepuasan dalam hatinya yang selama ini ia tahan. Benar. Bianca tak harus menyembunyikan jati dirinya, cukup hanya identitasnya saja.
Bianca lalu berbelok melewati sebuah gudang sebelum sampai ke kelasnya. Tiba-tiba lengannya ada yang menarik kuat, begitu kasar sehingga terpental ke dinding. Gadis itu meringis merasa sakit di bagian bahunya. Sekali lagi Bianca di buat terkejut, dengan tangan yang memepetkan tubuhnya di dinding. Bianca kemudian menatap dingin,memekatkan pandangannya kepada orang tersebut.
"Siapa..elo...?! " ucap keduanya bersamaan dengan mata saling menghunus tajam.
hapoy Reading semuanya 🥰🥰🤗