NovelToon NovelToon
Poppen

Poppen

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Wanita
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Siti Khodijah Lubis

Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.

Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reunion

Akasia menatap Adrian yang berdiri di antara penonton. Keberadaannya mudah dikenali karena terlihat berbeda sendiri. Wajah pemuda itu seperti menghayati lagu yang sedang dibawakan. Gadis itu melanjutkan lagunya.

“Ame ga sugite natsu wa, ao wo utsushita

(Hujan di musim panas, langit biru yang tergantikan)

Hitotsu ni natte...

(Menjadi satu)

Chiisaku yureta watashi no mae de

(Terombang ambing di depanku)

Nani mo iwazu ni…”

(Tanpa berkata apapun)

Suara indah Akasia bergema memanggil tepukan tangan para penonton yang terbawa suasana, sementara dua pemuda itu tergetar hatinya. Adrian berdiri di satu sisi, Hayashi di sisi lainnya. Hayashi terpanggil lantunan itu seperti nelayan yang terpanggil oleh nyanyian siren untuk mendekat. Ia terus merangsek maju menuju bagian samping panggung, tempat dimana tangga panggung berada. Ia ingin segera menemui wanita di atas panggung yang menyanyi dengan kesenduan ini.

“Karete yuku tomo ni, omae wa nani wo omou 

(Melihat temanmu mati, bagaimana perasaanmu?)

Kotoba wo motanu sono ha de nanto ai wo tsutaeru?

(Bagaimana cinta tanpa kata-kata itu tersampaikan?)

Aaaa...

Natsu no hi wa kagette, kaze ga nabiita

(Musim panas yang berawan, angin yang bertiup)

Futatsu kasanatte...

(Keduanya bertumpang tindih)

Ikita akashi wo, watashi wa utaou

Aku akan bernyanyi, sebagai bukti kehidupan

Na mo naki mono no tame…”

(Untuk mereka yang tak bernama)

^^^- Euterpe, Egoist -^^^

Ingatan Hayashi terlempar ke masa lampau mendengar lagu itu, hatinya mengharu biru. Terputar lagi masa-masa ia bersama pasukannya, hidup berlandaskan komando militer. Terlibat peperangan sebagai pion catur di negeri orang demi kepentingan negerinya. Ia merasa diingatkan kembali masa-masa dimana kematian itu hal biasa. Ia banyak kehilangan temannya dalam berbagai operasi militer yang dilakukannya. Bahkan tangannya sendiri sudah pernah membunuh banyak orang. Realita peperangan nyata pernah dialaminya, ia yang paling tahu bagaimana sakitnya terlibat dalam perang. Ia tidak punya pilihan waktu itu, meski nuraninya menjerit melihat darah yang tertumpah.

Akasia perlahan menuruni panggung. Hayashi segera menangkap tangan gadis itu dan membawanya berlari berdua.

Sementara Adrian terdiam sejenak, termenung mengumpulkan kesadaran. Penampilan Akasia tadi memukau sekaligus membuat hatinya sendu, padahal ia tidak mengerti untaian lirik lagunya. Gambaran situasi Indonesia di masa lalu tadi menyadarkannya bahwa masa itu telah lama berlalu, dan ia tidak mungkin lagi kembali kesana. Adrian menahan haru, ia berjalan lunglai ke samping panggung namun tidak menemukan Akasia disana, “Dimana Akasia, kok nggak ada disini?” Herannya.

Hayashi dan Akasia berhenti di sebuah area sepi di bawah tangga. Pria Jepang itu mengajaknya duduk di pinggir tangga yang sepi.

“Pelan-pelan dong, aku masih cidera ini!” Akasia memperingatkan sambil mengatur napasnya dan memegang bahunya.

“Gomenasai (maaf)! Hontou ni gomenasai (benar-benar minta maaf)!” Spontan Hayashi membungkuk panik, merasa bersalah. Hingga kemudian ia menyadari sesuatu, “Sebentar, siapa namamu?”

“Akasia.” Jawab gadis itu, bingung mencerna kejadian ini. Ia mengamati pemuda di depannya, seperti pernah melihat wajahnya entah dimana, “Nah kamu siapa?”

Hayashi terkejut mendengar namanya, ‘Ah, dunia ini ternyata sempit. Jadi dia Akasia yang dimaksud Selena.’ Pikirnya sambil mengulum senyum, “Saya Tomoya Hayashi, orang Jepang. Saya kagum mendengar nyanyianmu, suaramu sangat bagus, liriknya pun indah.” Pria itu memperkenalkan diri, “Saya cuma mau berkenalan, apa boleh meminta nomormu?” Ia berkata dengan hati-hati.

Akasia tersanjung mengetahui orang Jepang mengakui kemampuannya bernyanyi bahasa Jepang.

“Boleh aja, asal jangan dipakai buat iseng.” Ia mengangguk, senang menambah pertemanan dengan orang asing, “Boleh pinjam HP-mu?” Pinta Akasia sambil menengadahkan telapak tangannya.

“Ah boleh!” Hayashi memberikan ponselnya. Akasia mengetikkan nomor ponselnya, lalu menyimpannya di ponsel pemuda Jepang itu. Hayashi menatap wanita di depannya ini dengan pandangan terpukau, dari ujung kepala sampai kaki wanita ini benar-benar menyerupai Kemuning meski gaya penampilannya jauh berbeda, ‘Apa mungkin dia reinkarnasi dari Kemuning?’ Batinnya bertanya-tanya.

“Kenapa menatap saya begitu?” Akasia bisa merasakannya meski menunduk, “Nih sudah. Aku beri nama Akasia.” Ia mengembalikan lagi ponsel pemuda Jepang itu. 

“Saya merinding mendengarmu bernyanyi, itu membuat saya ingin jadi penggemarmu.” Hayashi berterus terang. 

“Apa nyanyianku sebagus itu? Nggak ada yang salah ucapan atau pelafalannya?” Akasia mengernyitkan dahi, meski dalam hati merasa tersanjung. Orang ini bisa memberinya penilaian bahasa Jepang secara objektif, jadi kenapa tidak dimanfaatkan.

“Tidak ada, semua sempurna, apalagi penjiwaannya. Kalau tidak kutahan mungkin aku sudah berurai air mata.” Hayashi menilai.

“Yang benar? Serius? Sebagus itu?” Senyum Akasia semakin lebar, “Padahal penampilan ini tanpa persiapan. Ada orang yang menjebak aku untuk tampil, dia baru kasih tahu aku dua jam sebelum ini. Niatnya pasti untuk mempermalukan aku, tapi nggak akan kubiarkan.” Gadis itu membongkar kisahnya sambil menahan kesal, “Jadi aku tampil aja sebaik-baiknya supaya ini justru jadi kesempatan baik buatku menunjukkan kemampuan, siapa tahu kelasku bisa menang.”

“Itu justru lebih mengesankan. Kamu bisa mengubah kesulitan kamu menjadi kesempatan. Subarashi (luar biasa)!” Hayashi menyuarakan kekagumannya, “Siapa yang menjebakmu?” Ia tetap bertanya meski sudah menebak jawabannya.

“Selena namanya.” Jawaban Akasia membuat Hayashi menahan tawa, ‘Benar dugaanku, dasar gadis usil!’ Batinnya berkomentar, “Kamu penggemar pertamaku loh.” Gadis itu menyampaikan.

“Benarkah?” Hayashi tersenyum, merasa spesial, “Bagaimana kamu bisa berbahasa Jepang dengan baik?” Pria Jepang itu penasaran, ikut senang melihat gadis ini antusias berbincang dengannya.

“Ah baru bisa sedikit kok. Aku cuma belajar otodidak dari menonton anime atau drama Jepang, lalu beli buku belajar bahasa Jepang. Itupun nggak sering aku pelajari, kalau lagi minat aja.” Akasia tersenyum manis, ia terus merasa disanjung oleh pemuda Jepang ini, “Kamu sendiri jauh-jauh dari Jepang untuk apa kesini?” Gadis itu penasaran.

“Tugas negara.” Jawab Hayashi spontan, “Iee...maksudnya bekerja.” Ia meralat dengan cepat.

“Ooh pekerja asing. Sugooii (hebat)!" Akasia memuji, "Pasti sulit ya membiasakan diri dengan lingkungan baru? Bahasa Indonesiamu juga bagus banget loh.”

“Ah, terima kasih.” Hayashi mengangguk malu, “Jadi boleh kan aku menghubungimu sesekali?” ia memastikan lagi, “Sekarang, apa kita teman?”

Akasia mengangguk, “Haik, tomodachi desu!” Jawabnya cengengesan. Mereka berdua tertawa kecil. 

Sebuah pesan masuk di ponsel Hayashi dan itu membuatnya teringat dengan Selena, “Aku harus kembali ke depan panggung. Mata ne!” Hayashi bangkit dan segera pamit.

“Jaa mata!” Akasia melambaikan tangan melepasnya pergi, ‘Wah, punya penggemar dari Jepang nih. Hebat juga aku!’ Batinnya kegirangan.

Baru saja Hayashi berlalu, kini Adrian berlari mendatanginya, “Kamu kenapa disini? Aku cari dari tadi, bikin khawatir!” Omelnya sambil mengatur napas, kelelahan.

“Aku barusan ketemu penggemarku.” Akasia tersenyum bangga.

“Penggemar? Siapa yang mau jadi penggemarmu?” Heran Adrian.

“Itu bagian yang paling aneh.” Akasia membuat Adrian semakin penasaran, “Dia cowok nippon, tinggi, tegap, keren deh! Bahasa Indonesianya juga lancar.” Gadis itu mendeskripsikan dengan kekaguman.

Sesaat Adrian teringat sosok Hayashi yang tadi sempat tertangkap matanya sebelum ini, ‘Apa mungkin dia? Bagaimana caranya dia bisa hidup di jaman ini?’ Ia menepis sendiri prasangkanya itu.

“Ah sudahlah. Sepertinya kamu harus cepat ganti pakaian deh, semua yang ada di badanmu hasil meminjam kan?” Adrian mengingatkan.

“O iya lupa!” Akasia segera menuju kelas tempat ia tadi bersiap dibantu Dinia, pemuda Belanda itu mengekori dari belakang.

...oOo...

“Tadi penampilanku bagus kan? Suaraku gimana?” Selena mengecek penilaian Hayashi setelah naik panggung bersama anggota ekskul Paduan Suara.

“Bagus.” Jawab Hayashi datar.

“Yang serius dong, jangan-jangan kamu nggak dengarkan ya?” Selena mendumal kesal.

“Bagaimana aku bisa membedakan mana suaramu dari sekian banyak suara bernyanyi disana. Kamu kan nyanyinya keroyokan!” Hayashi membela diri.

“Kamu nih ya! Bukannya puji kek, bikin senang kek, kagum kek gitu!” Selena memukul bahu Hayashi kesal.

“Tadi kan sudah kupuji. Baiklah, bagus sekali Ohime-sama, suara yang luar biasa! Bagai nyanyian siren di samudera yang menarik hati pendengarnya.” Hayashi melebih-lebihkan reaksinya.

“Bukannya suara siren bikin mati ya?” Gumam Selena sadar, sementara Hayashi tertawa karena ejekan tersiratnya disadari, “Terserah deh kalau mau ngejek, kayak kamu bisa nyanyi aja.” Selena cemberut.

“Omong-omong, tadi kamu menjahili Akasia lagi ya?” Hayashi menebak, dan itu tepat mengenai sasaran. Gadis itu terdiam, tidak mengelak.

“Cuma suruh dia nyanyi kok, not a big deal.” Selena menjawab cuek.

Hayashi menatap Selena lekat-lekat, “Kamu sebenarnya melakukannya karena tahu dia mampu kan? Kamu bukan mau mempermalukannya, kamu justru mendorongnya paksa karena tahu kemampuannya bisa membawa kelasmu juara, ya kan?” Tebak Hayashi yakin. 

Selena terhenyak, merasa pemuda itu bisa menyelami pikirannya, “Ya udahlah ya, apapun itu yang penting berakhir dengan baik kan? Nggak masalah dong!” Gadis itu berusaha mengusaikan pembahasan. Selena menoleh ke suatu sudut, disana teman-teman anggota ekskulnya terlihat sudah berganti pakaian, mereka terlihat nyaman mengenakan baju kasual, “Loh, udah boleh ganti baju ya? Aku ganti baju sekarang deh, gerah juga pakai seragam Padus ini.” Ia pamit untuk mencari toilet terdekat dan berlari membawa tasnya.

Hayashi masih terkenang pertemuannya dengan Akasia tadi, hingga tiba-tiba ia melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri sosok Adrian berdiri di depannya, menatapnya dengan keterkejutan yang sama dengannya.

“Adrian Van Ankeren?” Hayashi memastikan.

“Taisho Tomoya Hayashi-san?” Adrian menyusul menyebut nama panjangnya, sekaligus memvalidasi dugaan satu sama lain, “Kamu bersama Selena tadi?” Gumamnya heran.

...oOo...

Adrian duduk di warung kopi langganannya di belakang sekolah Akasia, kali ini di hadapannya duduk seorang pemuda Jepang yang dikenalinya sebagai Taisho di masa lalu.

“Kenapa kamu bisa berada di jaman ini?" Adrian mengawali pembicaraan, "Jangan bilang karena kutukan?"

"Kutukan menjadi boneka." Hayashi berkata mantap, seperti bisa menebak kesamaan situasi mereka. Mereka saling membenarkan dan menahan kekagetan.

Adrian memukul meja dan menutup wajahnya, merasa frustasi dengan kesamaan nasib ini. “Kemungkinan dari orang yang sama kan?”

“Ayah Kemuning.” Jawab Hayashi lagi-lagi membenarkan. Ia ikut frustasi, ‘Kenapa teman senasibku harus musuhku sendiri?’ Herannya sambil memegang kepalanya yang pusing mengetahui kenyataan ini.

“Lalu kamu sekarang tinggal bersama Selena?” Tebak Adrian mengingat kebersamaan Hayashi bersama Selena yang dilihatnya tadi.

“Dan kamu bersama...Akasia?” Hayashi terkejut sendiri dengan tebakannya. 

“Kamu kenal Akasia?” Adrian terheran-heran.

“Baru saja...tadi.” Hayashi menggaruk lehernya canggung.

“Aah, jadi cowok nippon tadi itu kamu!” Adrian kembali menyimpulkan.

“Apa Akasia sudah cerita?” Hayashi terkejut, tidak menyangka keduanya sangat dekat hingga kejadian barusan sudah sampai ke telinga pemuda pirang di depannya.

Ibu pemilik warung datang menginterupsi obrolan mereka dengan dua mangkuk mi rebus yang masih mengepul, “Ini makan dulu, mumpung masih panas.” Ibu itu mempersilakan dengan ramah.

Keduanya berterima kasih dengan gestur mengangguk, sementara Ibu itu menahan kegirangan karena didatangi dua pria asing yang tampan ke warungnya. Beberapa kali ia menjepretkan ponselnya untuk mengabadikan momen berharga itu. Setelah ibu itu kembali pada kesibukannya di belakang meja warung, kedua pemuda tampan itu kembali saling tatap dengan intens.

“Ingat, Akasia yang sekarang bukanlah Kemuning, dia orang yang berbeda. Biarkan dia bebas menjadi dirinya sendiri, jangan ganggu dia dan menganggapnya cerminan Kemuning dari masa lalu.” Adrian memperingatkan tegas.

“Hei aku tahu, aku lebih tahu tentang reinkarnasi daripada kau.” Jawab Hayashi pongah. “Mungkin malah kamu yang berpikiran begitu.” Curiganya.

Adrian terdiam, dalam hatinya gelagapan, “Aku cuma terjebak situasi, dia yang mengambilku dan menjadikanku manusia. Aku harus bagaimana?” Ia membela diri.

“Tenang, saat tadi aku bertemu Akasia perasaanku sudah berbeda. Yang ada hanya kekaguman dan rasa penasaran, bukan ketertarikan seperti dulu lagi.” Hayashi menyampaikan hasil pengamatannya, “Dia benar-benar orang yang berbeda.” Tambahnya lagi.

“Sepertinya kita disini bukan cuma terikat, tapi juga terlilit takdir.” Adrian menyimpulkan, “Apa kamu tahu siapa Selena di masa lalu?" Pemuda Belanda itu menyampaikan dengan seringainya, bersiap mengejutkan pemuda Jepang di depannya dengan fakta yang dia ketahui.

Dia reinkarnasi dari orang di masa lalu? Siapa? Apa aku pernah bertemu?" Hayashi memajukan tubuhnya, tertarik dengan informasi ini.

Adrian terkekeh, "Helen Van den Bosch, anak perwira tinggi Belanda di masa kita hidup dulu. Aku mengenalnya secara pribadi karena kami sebangsa dan sebaya. Kamu juga pasti pernah bertemu, mungkin cuma lupa atau tidak sadar. Karena menurut sejarah, ia dan keluarganya berakhir tragis di tangan pasukanmu." Ia mengungkap kenyataan pahit itu.

Rahang Hayashi menegang, tidak pernah memperkirakan hal ini sebelumnya. Kalau Selena tahu ini ia pasti akan langsung membencinya. Bukan cuma itu, Selena pasti ngeri begitu tahu kedua tangannya pernah melenyapkan banyak keluarga, “Kau harusnya mengajakku bekerja sama untuk mengenyahkan kutukan ini, bukan malah menambah beban pikiranku!” Protesnya.

“Aku sudah memperkirakan penawarnya.” Adrian berkata yakin, mengejutkan pria sipit di depannya.

“Apa itu?” Hayashi tidak sabar untuk mengetahuinya.

“Kuncinya ada di mantera kutukannya. Semakin kita dimanusiakan maka semakin kita utuh menjadi manusia. Maka kita harus dihargai sebagai manusia, setidaknya oleh seorang manusia di masa ini.” Adrian membongkar pengetahuannya, “Dan kamu tahu apa puncak penghargaan sebagai manusia?” Tanyanya, pemuda Jepang itu menggeleng. “Dicintai apa adanya. Jika ada seseorang mencintai kita, itulah penghargaan tertinggi terhadap manusia.”

“Dicintai?” Hayashi tertegun mendengarnya.

“Dan itu pula masalahnya. Aku mendengar dari seseorang, kalau keberadaan kita telah mengacaukan garis takdir. Maka siapapun yang terlibat dengan kita apalagi urusan asmara, maka kita juga ikut mengacaukan garis takdirnya, seperti garis jodoh, garis rejeki, garis umur.” Adrian membabarkan, “Orang-orang di masa ini adalah jodoh untuk orang-orang di masa ini. Jadi kalau kita merebutnya, tentulah takdir mereka akan berubah kacau.” 

Hayashi menghela napas, “Siapa juga yang mau mencintaiku, yang tahu keberadaanku pun cuma satu orang.” Gumamnya pesimis.

Adrian memberi isyarat dengan tatapannya, “Nah itu dia.”

“Bukankah jahat ingin dicintai tanpa niat ingin terus bersama?” Hayashi merenungkan, “Itu termasuk mempermainkan perasaan kan?”

“Itulah masalahnya.” Adrian menekankan, “Sejak kapan kamu jadi orang baik?” Ledeknya kemudian, membuat pria Jepang itu merengut meski tidak heran.

1
yumin kwan
lanjut ya....jangan digantung, ceritanya seru...
Lalisa Kimm
lanjuuuuttt
Lalisa Kimm
upppp thor yg bnykkk
Serenarara: Owwkay
Serenarara: Syudah
total 2 replies
Lalisa Kimm
cielah, jan nyombong mbak/Smile/
Lalisa Kimm
yah endri trnyata yg nolong
Lalisa Kimm
ikut sedih/Cry/
Lalisa Kimm
nahhh betul itu
Lalisa Kimm
kmu udh cinta kali/Facepalm/
O U Z A
merasa dibawa ke masa lalu, kisah cintanya londo wkwk
Serenarara: Maacih, emang niatnya gitu.
total 1 replies
Runaaa
mampir ya kak ke novelku🙏
semangat /Good/
Gorillaz my house
Bikin gak bisa berhenti
Serenarara: Yg boneng gan?
total 1 replies
Dumpmiw
Ya ampun, kaya lagi kumpul tengah lapangan pake koran /Sob/
Serenarara: Berasa nonton layar tancep.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!