NovelToon NovelToon
Waiting For You 2

Waiting For You 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Keluarga
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Uppa24

novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kita perlu bicara!!

Namun Elena tidak tahu bahwa, di tempat lain, Aidan juga telah membuat langkahnya sendiri. Ia tidak hanya ingin memastikan kebenaran tentang Elena, tetapi juga berniat menghadapi wanita itu langsung.

Pertemuan mereka tampaknya semakin dekat. Rahasia yang selama ini tersembunyi mulai menguak, membuka jalan bagi konflik yang tak terelakkan. Di tengah itu semua, Alvio—yang seharusnya masih kecil—terus menjadi saksi bisu dari drama yang mulai mengguncang dunianya.

...~||~...

Malam itu, Elena termenung di ruang bacanya, ditemani temaram lampu yang redup. Hawa dingin menerpa kulitnya, namun pikirannya terlalu sibuk untuk merasa terganggu. Surat dari Aidan yang masih tersimpan dalam laci mejanya seolah menekan dirinya, mengingatkannya bahwa waktu untuk menjaga rahasia ini semakin tipis.

Dia memandang layar laptop yang memuat diagram rumit aliran keuangan perusahaan El Bara, berusaha mengalihkan fokusnya pada pekerjaan. Namun, tiap angka di sana hanya membuat ingatannya kembali kepada masa lalu. Ia memikirkan betapa berat langkah yang telah ia pilih—meninggalkan semuanya, termasuk Aidan.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk:

_"Kita harus bicara. Aku akan menunggumu di Danau Biru esok malam."_

Elena tahu pesan itu dari Aidan meskipun ia tidak meninggalkan namanya. Jemarinya terhenti, dan perasaan bercampur aduk—antara takut, marah, dan kerinduan—mengalir seperti ombak di hatinya.

Keesokan harinya, Aidan berdiri di tepi Danau Biru, tangannya dimasukkan ke dalam saku jasnya. Udara dingin malam itu menyelimuti suasana, tetapi ia tetap diam di tempatnya, menatap air yang memantulkan sinar rembulan. Langkah pelan terdengar dari belakang, membuat Aidan menoleh.

Elena berdiri di sana, mengenakan mantel panjang berwarna hitam. Wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan sesuatu yang Aidan kenal dengan baik—sebuah dinding perlindungan diri.

"Kau datang," kata Aidan pelan.

Elena tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat namun tetap menjaga jarak. "Apa yang kau inginkan, Aidan bastoro?" tanyanya langsung.

Aidan menghela napas. "Aku ingin jawaban, Syafira."

Nama itu menggemakan sesuatu di udara malam yang dingin. Mata Elena sedikit menyipit, tapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut. Ia telah menyiapkan dirinya untuk saat ini.

"Syafira sudah mati, Aidan bastoro," jawabnya dengan tegas. "Perempuan itu tidak lagi ada."

"Jangan coba lari dariku lagi," sergah Aidan, nadanya lebih tajam. "Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Wajahmu mungkin berubah, tetapi aku tak bisa lupa caramu berbicara, caramu memandang dunia."

Elena mendesah, tangannya terkulai lemah sejenak sebelum ia mengangkat wajah dengan penuh keberanian. "Baik, katakan padaku. Jika memang aku Syafira, lalu apa yang akan kau lakukan? Kau ingin aku kembali? Kau ingin mengklaim masa lalu yang tak pernah kau jaga?!"

Aidan tersentak. Kata-kata Elena menohok sesuatu yang dalam di dirinya—sebuah kesalahan yang selama ini ia abaikan.

"Aku tahu aku membuat kesalahan, Syafira. Tetapi itu tidak berarti kau bisa melarikan diri seperti ini, meninggalkan segalanya, termasuk aku."

Elena tertawa kecil, tapi bukan karena ia merasa lucu. "Meninggalkanmu? Aidan, aku tidak hanya meninggalkanmu. Aku meninggalkan mimpi, harapan, dan kehidupan yang aku tahu. Kau tidak tahu betapa sulitnya semua itu!"

"Kau pikir aku tidak merasakan apa-apa?!" balas Aidan dengan suara lebih tinggi. "Aku mencarimu, Syafira. Bertahun-tahun aku mencoba mencari jejakmu, tetapi kau menghilang seperti bayangan!"

Keheningan meliputi mereka untuk beberapa saat. Elena memalingkan wajah, menatap danau yang tenang di bawah sinar bulan.

"Aku tidak kembali untukmu, Aidan," ucapnya pelan. "Aku kembali untuk anakku. Aku tidak pernah ingin kau tahu tentang dia. Dia bukan bagian dari dunia lamaku—atau duniamu."

Aidan memejamkan mata, berusaha memproses kata-kata itu. "Anak kita?" tanyanya akhirnya, suaranya bergetar.

Elena menoleh, menatapnya dengan tatapan dingin namun terluka. "Anakku, Aidan. Kau kehilangan hak atas dirinya saat kau membiarkan aku terpuruk sendiri di masa lalu."

Kata-kata Elena menusuk dalam, tapi Aidan tahu ia tidak punya hak untuk membantahnya. Di satu sisi, ia tidak mampu menyangkal bahwa dirinya telah membuat kesalahan. Tapi ia juga tahu bahwa kehadiran Alvio mengubah segalanya.

"Aku ingin bertemu dengannya," Aidan berkata, mencoba terdengar setenang mungkin.

"Tidak," balas Elena tegas. "Kau tidak akan menyentuh kehidupannya, Aidan. Dia tidak membutuhkanmu."

"Dia berhak tahu siapa aku," balas Aidan keras.

"Dan kau berhak tahu rasa sakit apa yang kau tinggalkan padaku?" sahut Elena tanpa ragu. "Hidupku—hidup kami—sudah cukup rumit tanpamu ." Seketika elena meninggalkan Aidan sendiri

Malam itu, Elena kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Alvio telah tidur, tetapi pikirannya tetap tidak bisa tenang. Ia memandang wajah kecil putranya yang damai di bawah sinar lampu tidur, mencoba menenangkan hati yang berkecamuk.

"Aku melakukan ini untukmu, Vio," bisiknya. "Dunia ini terlalu berbahaya untuk membiarkanmu terluka karena masa lalu."

Namun, di sisi lain kota, Aidan tidak mampu memejamkan mata. Pikiran tentang Elena dan kemungkinan seorang anak dari hubungan mereka terus menghantui. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak bisa menyerah begitu saja.

Di tengah konflik itu, bayangan masa depan mulai tampak, penuh ketegangan dan rahasia yang perlahan mencuat ke permukaan. Dan di antara mereka berdua, Alvio tetap menjadi pusat dari semuanya—seorang anak yang tanpa sadar sedang menjadi alasan terkuat bagi kedua orang tuanya untuk terus bertarung, baik dengan masa lalu maupun dengan diri mereka sendiri.

~||~

Pagi berikutnya, Elena duduk di meja makan sambil menikmati secangkir kopi hangat. Pancaran sinar matahari menerobos melalui tirai, memberikan suasana damai di ruangannya. Namun, perasaan gelisah tidak juga menghilang. Ia merasa seperti berjalan di atas tali yang tipis, di mana satu langkah salah bisa mengungkapkan segalanya.

Alvio berlari ke arahnya, rambutnya masih berantakan setelah bangun tidur. "Ibu!" serunya dengan senyum lebar, membuat hati Elena menghangat sejenak.

Elena menunduk untuk merangkul putranya. "Selamat pagi, sayang," katanya lembut sambil mengecup kening Alvio. "Bagaimana tidurnya? Mimpi indah?"

Alvio mengangguk antusias. "Iya, Bu! Tapi aku juga bermimpi ada pria asing yang ingin bicara sama kita."

Perkataan polos itu membuat senyum Elena memudar sejenak. Ia tidak bisa mengabaikan firasatnya bahwa "pria asing" yang dimaksud Alvio tidak lain adalah Aidan. Ia menahan napas, lalu mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya? Apa yang pria itu katakan padamu di mimpi?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

"Dia bilang dia ingin melindungi kita," jawab Alvio serius, meskipun matanya yang ceria mengisyaratkan bahwa ia tidak benar-benar memahami maksud dari kata-kata itu. "Katanya aku harus percaya padanya."

Elena terdiam sesaat. Ini pasti kebetulan, pikirnya. Tetapi bagaimana jika alam bawah sadar Alvio mencoba memperingatkan sesuatu yang lebih besar?

"Ibu yang akan selalu melindungimu, sayang," jawab Elena akhirnya. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

Di tempat lain, Aidan berada di ruangannya, memandang layar ponsel dengan ekspresi serius. Ia sedang membaca ulang laporan yang berhasil dikumpulkan oleh penyelidiknya. Potongan informasi tentang Elena—sekarang dikenal sebagai Elena El Bara—bertaburan di layar, tetapi masih ada banyak celah yang belum bisa ia isi apa lagi idèntitas elena yang begitu terjaga karna merupakan keluarga tertinggi di peringkat.

Ia mengepalkan tangannya. Mencari tahu kebenaran di balik rahasia ini seperti menggali lubang di pasir. Namun, Aidan tahu satu hal: ia tidak bisa menyerah. Jika Elena benar adalah Syafira, maka dia layak mendapatkan penjelasan. Dan jika Alvio benar adalah anaknya, maka dia harus mengambil peran dalam kehidupan bocah itu, apa pun risikonya.

Tanpa berpikir panjang, ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang ia tahu bisa membantunya: teman masa kecil sekaligus penasihat hukum keluarganya, Andra.

"Andra," katanya ketika panggilan diangkat, "Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki Elena El Bara lebih jauh. Dia memiliki anak yang aku curigai... mungkin ada hubungannya denganku."

Di seberang telepon, Andra menghela napas panjang. "Aidan, kau sadar kan betapa berbahayanya bermain-main dengan keluarga El Bara? Mereka bukan sekadar keluarga kaya biasa. Mereka punya kekuatan lebih besar dari apa yang bisa kau bayangkan."

"Itu risiko yang harus kuambil," jawab Aidan dengan tegas. "Aku harus tahu kebenarannya."

~||~

Malam harinya, Elena sedang menemani Alvio membaca buku di ruang bacanya. Wajah kecil putranya bersinar dengan semangat setiap kali ia melihat gambar-gambar menarik dalam buku itu, membuat Elena untuk sesaat melupakan beban berat yang ia rasakan. Namun, suara ketukan di pintu utama rumahnya mengembalikan realitas yang sulit ia hindari.

"Siapa itu malam-malam begini?" gumam Elena pelan, berjalan menuju pintu.

Ia membuka pintu dengan hati-hati, dan sosok Aidan berdiri di hadapannya, dengan wajah yang sarat tekad.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Elena, matanya menyipit.

"Kita perlu bicara, Elena," kata Aidan tanpa basa-basi.

"Aku sudah mengatakan segalanya tadi malam," jawab Elena dingin. "Tidak ada lagi yang perlu dibahas."

"Kalau begitu, izinkan aku berbicara dengan putraku," balas Aidan, suaranya tegas namun tidak keras.

Elena terdiam, tangannya mengepal erat di pinggir pintu. "Dia bukan putramu," katanya akhirnya, nadanya lebih rendah. "Dia adalah milikku. Hidupnya adalah milikku untuk melindungi dan ayahnya sudah meninggal ."

"Kau pikir aku akan percaya begitu saja bahwa aku bukan ayahnya dan kau pikir aku tidak ingin melindunginya juga?" Aidan membalas, langkahnya maju setengah, meskipun ia tidak memasuki rumah tanpa izin. "Aku hanya ingin dia tahu siapa aku. Aku tidak akan mencuri dia darimu, Elena. Aku hanya ingin berada di sisinya—di sisi kalian berdua."

Kata-kata itu menyentuh sisi hati Elena yang rapuh, tetapi ia dengan cepat meneguhkan dirinya.

"Aku tidak bisa membiarkanmu masuk ke dalam hidupnya, Aidan. Dunia ini sudah cukup sulit bagi kami. Kau tidak tahu apa yang harus kuhadapi untuk melindungi Alvio."

Aidan menggelengkan kepala. "Tidak peduli apa yang kau katakan, aku akan mencari jalan. Bukan karena aku ingin menghancurkan dunia kalian, tetapi karena aku tidak bisa lagi membiarkan dia hidup tanpa mengetahui siapa aku."

Elena menutup pintu dengan perlahan tetapi tegas. Air matanya yang tertahan akhirnya mengalir saat ia berdiri di sana, menyandarkan punggungnya ke daun pintu.

Di balik pintu, Aidan tidak pergi. Ia tahu langkah ini hanya awal dari perjuangan panjang. Ia akan menemukan cara untuk memperbaiki segalanya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi bayangan masa lalu yang lebih kelam daripada yang ia bayangkan.

Di dalam rumah, Alvio berdiri di ambang pintu ruang baca, menatap ibunya yang menangis. Meski ia masih kecil, ia tahu bahwa perasaan besar sedang terjadi di antara dua orang dewasa itu. Dengan langkah kecil, ia mendekati ibunya dan memeluknya tanpa berkata apa-apa.

Elena merangkul putranya erat-erat, menyadari bahwa selama ini Alvio adalah alasan terbesar baginya untuk terus maju.

"Aku janji, Vio... Ibu akan tetap menjaga dunia kita tetap aman," bisik Elena. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa dunia itu sedang retak, sedikit demi sedikit, di hadapan matanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!